Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

Indonesia, Negeri Terjajah Rasa Merdeka

5742
×

Indonesia, Negeri Terjajah Rasa Merdeka

Sebarkan artikel ini
Indonesia, Negeri Terjajah Rasa Merdeka
RISNAWATI


17 Agustus adalah hari yang sakral bagi penduduk Indonesia karena merupakan hari kemerdekaan Indonesia. Tinggal menghitung hari di bulan Agustus ini menjelang HUT RI ke-74. Kemeriahan tentunya sudah terasa di beberapa daerah. Mulai pemasangan bendera Merah-Putih hingga ragam perlombaan seru yang selalu diadakan dalam kegiatan Agustusan (News.detik,com,5/8/2019)

Kapitalisme Melahirkan Kemerdekaan Ilusi

Bulan Agustus merupakan moment bersejarah bagi negeri ini, sudah 74 tahun bangsa Indonesia memperingati HUT Kemerdekaannya. Tujuh puluh empat tahun tentu bukan waktu yang pendek. Selama 74 tahun itulah bangsa ini diklaim telah merdeka.
Jika standarnya adalah kemerdekaan dari penjajahan fisik (militer), tentu saja bangsa ini memang telah lama merdeka. Namun, jika ukurannya adalah kemerdekaan dari segala bentuk penjajahan termasuk dari penjajahan non-fisik (non-militer), sesungguhnya bangsa ini belum merdeka. Kita justru masih dijajah di semua aspek: politik, hukum, pendidikan, sosial, budaya, dan lain-lain. Bahkan yang paling mendasar, kita sebetulnya dijajah secara ideologi. Sebab, Pancasila sejauh ini hanyalah simbol. Ideologi yang sebenarnya berlaku di negeri ini adalah Sekularisme yang merupakan ibu kandung Kapitalisme dan Liberalisme yang justru menjadi sumber penjajahan negeri ini. Ironisnya, kenyataan ini berlangsung bahkan sejak Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1945. Betulkah bangsa ini masih terjajah?

Perlu diketahui bahwa awalnya demokrasi diharapkan sebagai peredam putaran roda penindasan dan kediktatoran penguasa. Demokrasi berusaha menjadi pemain tunggal dengan menggeser semua ide-ide pesaing dan mengklaim diri: jika bukan demokrasi maka pastilah gibasan otoritarianisme yang akan mengoyak kebebasan sosial. Demokrasi pun menjelma menjadi penjara-penjara sosial baru dengan mengurung rakyat dalam kemiskinan, kebodohan, dan segudang tipu-tipu penguasa dzalim lainnya. Para pahlawan yang dulunya mati-matian menghamburkan peluru mendepak penjajah, hanya agar bisa mendengar rakyat berteriak “Merdeka!” dan melihat gurat-gurat senyum lepas rakyat menapak di negeri sendiri. Sekarang mungkin jika mereka masih hidup, mereka akan menangis dan geram bukan main melihat penjajah masih mencengkram negeri ini. Penjajahan yang dilakukan bukan lagi dengan menempelkan senjata ke kepala orang pribumi, tetapi sekarang malah mempersenjatai dan menyokong dengan dolar anak-anak negeri untuk mengeksploitasi kekayaan negeri dan memperbudak saudaranya sendiri.  Di antara modus penghambaan kepada sesama manusia itu adalah melalui aturan hukum dan perundang-undangan buatan manusia, sesuai doktrin demokrasi. Apalagi aturan hukum dan perundang-undangan itu diimpor dari pihak asing/penjajah, seperti yang terjadi pada banyak bangsa terjajah, termasuk yang terjadi pada negeri ini.

Indonesia adalah contoh nyata negeri yang masih terjajah. Dari sisi pembuatan aturan dan kebijakan, banyak sekali UU di negeri ini yang didektekan oleh pihak asing. Di antaranya melalui LoI dengan IMF. Banyak utang yang sesungguhnya menjadi alat penjajahan, dialirkan ke Indonesia oleh berbagai lembaga donor baik IMF, Bank Dunia, ADB, Usaid dan sebagainya. Perubahan konstitusi negeri ini pun tak lepas dari peran dan campur tangan asing. Banyak dari UU itu disponsori bahkan draft (rancangan)-nya dibuat oleh pihak asing, di antaranya melalui program utang, bantuan teknis, dan lainnya. Akibatnya, lahir banyak UU dan kebijakan Pemerintah yang bercorak neoliberal, yang lebih menguntungkan asing dan swasta serta merugikan rakyat banyak. UU bercorak liberal itu hakikatnya melegalkan penjajahan baru (neoimperialisme) atas negeri ini. Karena itu meski sudah 74 tahun “merdeka”, negeri ini masih banyak bergantung pada AS dan China. Bahan pangan baik makanan pokok, garam, gandum, kedelai, susu, dan lain-lain banyak impor. Akibat ketergantungan itu, ditambah permainan para pelaku pasar yang berwatak kapitalis, gejolak harga-harga menjadi fakta keseharian, dan tingginya hutang negara. Di sisi lain, juga lahir banyak kebijakan neoliberal yang meminimalkan peran negara dalam mengurus rakyat. Bahkan tanggung jawab negara dialihkan ke pundak rakyat. Tanggung jawab pelayanan kesehatan rakyat, misalnya, dialihkan dari negara ke pundak rakyat melalui asuransi sosial kesehatan (BPJS). Berbagai sektor juga diliberalisasi. Subsidi BBM dicabut sehingga harganya sering naik. Subsidi listrik juga dicabut sehingga harganya pun dibiarkan naik terus, biaya pendidikan mahal, Impor tenaga asing begitu menguat, biaya produksi petani terus naik, pajak makin bertambah macamnya dan meningkat besarannya. Masih banyak kebijakan neoliberal lainnya. Akibatnya, beban rakyat makin berat. Semua itu hanyalah bukti nyata, kemerdekaan yang dirasakan oleh penduduk negeri ini masih bersifat semu (palsu).

Walhasil, kemerdekaan dalam demokrasi hanya untuk kepentingan kapital dan pemilik modal; kemerdekaan untuk mengeksploitasi kekayaan demi kemakmuran kantong sendiri. Jadilah kemerdekaan hanya indah di sampul depan demokrasi dan angan-angan kosong hasil kamuflase para penjajah dan anteknya.

Islam, Melahirkan Kemerdekaan Nyata

Secara historis, umat Islam dulu (dalam naungan Khilafah Islamiyah) adalah umat yang begitu besar dan sangat kuat, disegani lawan maupun kawan. Namun, pada akhirnya, kekuasan Islam mulai mengalami kelemahan baik dari sisi internal maupun eksternal. Negeri-negeri kaum Muslim pun mulai terpecah-belah dan terus dibayangi oleh penjajahan dan hegemoni kaum kafir. Namun, pada saat itu para penjajah kafir menyadari betul bahwa kaum Muslim tidak bisa dikalahkan begitu saja selama ruh jihad dan keinginan untuk bersatu dan hidup di bawah naungan Daulah Khilafah masih tetap ada dalam benak pemikiran kaum Muslim. Karena itu, pada abad ke 18-19-an, kafir Barat yang dipimpin Inggris menyebarkan paham nasionalisme, patriotisme dan opini “kemerdekaan adalah hak segala bangsa” dan mengubah bentuk penjajahan fisik yang selama ini mereka lakukan terhadap negeri-negeri kuam Muslim dengan melakukan apa yang diebut dengan “politik balas budi” dan mendirikan apa yang disebut commonwealth (negara persemakmuran). Akhirnya, hampir seluruh negeri-negeri kaum Muslim yang berada di bawah satu kepemimpinan Khilafah Ustmaniyah menginginkan untuk memerdekaan diri.

Misi mewujudkan kemerdekaan hakiki untuk seluruh umat manusia itu juga terungkap kuat dalam dialog Jenderal Rustum dengan Mughirah bin Syu’bah yang diutus oleh Panglima Saad bin Abi Waqash. Pernyataan misi itu diulang lagi dalam dialog Jenderal Rustum (Persia) dengan Rab’iy bin ‘Amir (utusan Panglima Saad bin Abi Waqash) yang diutus setelah Mughirah bin Syu’bah pada Perang Qadisiyah untuk membebaskan Persia. Jenderal Rustum bertanya kepada Rab’iy bin ‘Amir, “Apa yang kalian bawa?” Rab’iy bin menjawab: “Allah telah mengutus kami. Demi Allah, Allah telah mendatangkan kami agar kami mengeluarkan siapa saja yang mau dari penghambaan kepada hamba (manusia) menuju penghambaan hanya kepada Allah, dari kesempitan dunia menuju kelapangannya dan dari kezaliman agama-agama (selain Islam) menuju keadilan Islam….” (Ibnu Jarir ath-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Muluk, ii/401, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut).

Inilah pelontar semangat pembebasan yang membawa setiap jihad dan futuhat menjadi rahmat bagi setiap jengkal tanah yang ditapaki Islam. Tidak ada iming-iming gold, glory, dan gospel dalam kepala para mujahidin. Hanya kemuliaan di sisi Allah dan kemerdekan dari siksa-Nyalah yang menguatkan derap langkah mereka.
Dari sinilah dapat dipahami bahwa kemerdekaan yang diraih oleh negeri-negeri kaum Muslim baik di Asia maupun Afrika, sesungguhnya adalah bukan murni hasil jerih payah mereka, melainkan lebih tepat dikatakan hasil pemberian kaum kafir Barat. Kaum kafir Barat sesunguhnya punya keingginan terselebung dari semua itu untuk tetap menancapkan hegemoninya dengan melakukan bentuk penjajahan gaya baru. Terbukti, hampir seluruh negeri kaum Muslim, termasuk Indonesia, masih dalam kondisi terjajah dengan mengambil ideologi Kapitalisme-sekular untuk mengatur negara mereka masing-masing. Padahal sesungguhnya dengan ideologi inilah, semua kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah baik dari sisi ekonomi, pemerintahan, pendidikan, militer, maupun politik luar negeri akan selalu didikte dan sarat dengan kepentingan dan kemauan pihak asing yang sesungguhnya mereka adalah penjajah. Karena itu, semua kebijakan yang diambil tidak mampu memberikan kemakmuran, keadilan, kesejahteraan dan keamanan yang merupakan cita-cita luhur dari sebuah negara yang merdeka.

Dengan demikian, saat ini kita belum dikatakan merdeka jika ideologi Kapitalime-sekular masih bercokol di setiap negeri kaum Muslim. Karena itu pula, kita harus merdeka sesuai dengan pandangan Islam yang hakiki, Islam menjamin kemerdekaan individu dengan menetapkan aturan yang tidak mencederai fitrah manusia. Dengan mengikatkan diri pada syariah Islam yang asalnya dari Allah SWT sebagai pencipta manusia, alam semesta dan kehidupan, maka manusia akan terbentengi dari penyaluran naluri dan pemenuhan kebutuhan jasmani yang menyimpang, karena akal manusia yang terbatas cenderung menyorotkan aturan yang terkontaminasi oleh kepentingan dan terjajah oleh hawa nafsunya sendiri.

Di sinilah Islam datang untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penghambaan kecuali penghambaan hanya kepada Allah SWT. Islam datang untuk membebaskan manusia dari kesempitan dunia akibat penerapan aturan buatan manusia menuju kelapangan dunia. Islam juga datang untuk membebaskan manusia dari kezaliman agama-agama dan sistem-sistem selain Islam menuju keadilan Islam. Hal itu diwujudkan oleh Islam dengan membawa ajaran tauhid yang meniscayakan bahwa pengaturan kehidupan manusia haruslah dengan hukum dan perundang-undangan yang bersumber dari wahyu yang diturunkan oleh Allah SWT. Semua itu akan menjadi nyata di tengah kehidupan dan bisa dirasakan oleh masyarakat ketika ajaran tauhid, hukum dan perundang-undangan yang dibawa oleh Islam itu diambil dan diterapkan untuk mengatur semua urusan kehidupan. Tanpa itu maka kemerdekaan hakiki, kelapangan dunia dan keadilan Islam itu tidak akan terwujud. Selama aturan, hukum dan sistem buatan manusia yang bersumber dari akal dan hawa nafsunya terus diterapkan dan dipertahankan maka selama itu pula akan terus terjadi penjajahan, kesempitan dunia dan kezaliman. Allah SWT berfirman: Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku maka sungguh bagi dia kehidupan yang sempit dan kami akan mengumpulkan dirinya pada hari kiamat dalam keadaan buta  (TQS Thaha: 124)

Karena itulah Allah memerintahkan kita semua untuk menerapkan syariah islam dalam seluruh aspek kehidupan. Melalui kepemimpinan islam yang harus sejalan dengan perintah Allah SWT, sistem kepemimpinan inilah yang benar-benar mampu mewujudkan kemerdekaan yang hakiki bagi umat manusia dan mewujudkan tujuan kemerdekaan, kehidupan yang adil aman sentosa sejahtera dalam naungan ridha Allah SWT. Karena itu, saatnya membebaskan Indonesia dan negeri-negeri muslim lainnya dengan menerapkan Islam secara kaffah. Maka, tidak ada pilihan lain untuk meraih kemerdekaan hakiki selain penghambaan secara totalitas kepada Allah

RISNAWATI (PENULIS BUKU JURUS JITU MARKETING DAKWAH)

Terima kasih

error: Jangan copy kerjamu bos