Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

MUI dan Demam Salam Lintas Agama

816
×

MUI dan Demam Salam Lintas Agama

Sebarkan artikel ini
MUI dan Demam Salam Lintas Agama
Depy SW.

Tren  Salam Lintas Agama

Pejabat publik negeri dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, saat ini sedang menggandrungi salam lintas agama. Beberapa pejabat publik tampak fasih melafazkan salam yang dianggap cerminan Bhineka Tunggal Ika itu.

Sebagaimana yang dilakukan capres-cawapres 2019-2024 usai mengambil nomor urut  capres-cawapres. Kedua kandidat memberikan salam lintas agama. Diawali salam Umat Islam dilanjutkan salam ala umat Nasrani, Hindu, Budha bahkan aliran kepercayaan.

Merespon fenomena ini, Dewan Pimpinan MUI Jatim pun mengeluarkan surat imbauan. Surat tersebut merujuk pada Rapat Kerja Nasional MUI 11-13 Oktober 2019 di Nusa Tenggara Barat. Isinya tentang imbauan untuk tidak menggunakan salam lintas agama.Terutama untuk umat Islam.

Pro kontra mewarnai lahirnya surat keputusan bernomor 110/MUI/JTM/2019 tersebut. Sebagaimana pernyataan salah seorang pejabat publik. Dikutip dari Akurat.co (11/11/2019), “Saya tidak masalah dengan ucapan salam, yang terpenting tidak mempengaruhi keyakinan kita masing-masing,” ungkap Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo saat ditemui di kawasan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Senin (11/11/2019). Beberapa pejabat publik juga mengucapkan hal senada.

Sementara, Direktur Eksekutif INSISTS, DR. Henri Shalahuddin mendukung imbauan MUI Jawa Timur. “Imbauan MUI agar umat Islam tidak mengucap salam semua agama adalah tepat, berkarakter dan lebih berasa fungsi “ngemong”-nya,” Ujar Henri dalam keterangannya diterima Hidayatullah.com  Jakarta, Rabu (13/11/2019)

MUI Pusat juga mengaminkan sikap tersebut. “Bagus. Karena di dalam setiap doa itu dalam Islam ada dimensi teologis dan dimensi ibadahnya. Adanya fatwa dari MUI Jatim ini menjadi penting karena, dengan adanya fatwa tersebut, maka umat tidak bingung sehingga mereka bisa tertuntun secara agama dalam bersikap dan dalam membangun hubungan baik dengan umat dari agama lain,” kata Sekjen MUI Anwar Abbas (10/11/2019). (m.detik.com. 10/11/2019)   

Badai Sekulerisasi

Fenomena demam salam lintas agama adalah imbas dari badai sekulerisme yang melanda negeri ini. Meskipun berjuluk negeri Muslim terbesar di dunia, namun sekulerisme masih kental dalam kehidupan. Petunjuk Allaah Ta’ala dan Tuntunan Baginda Nabi dianggap tak layak untuk menata sistem kehidupan di negeri ini. Agama hanya digunakan dalam ranah privat.

Sederet aturan maupun kebijakan negeri ini mensetting pola pikir sekulerisme. Undang-undang Ormas misalnya. Undang-undang ini siap menumbangkan ormas apapun yang menyerukan “paham lain”.

Substansi Pasal 59 ayat (4) huruf c sangat multi tafsir dengan tambahan frasa “paham lain” yang bertujuan mengganti atau mengubah Pancasila dan UUD 1945. Ide khilafah ditafsirkan sebagai paham lain yang bertentangan dengan  Pancasila dan UUD 1945. Padahal khilafah adalah ajaran Islam.

Pelarangan cadar dan celana cingkrang, penderasan isu radikalisme, pembatasan konten ceramah, menjadikan kaum muslimin asing dengan ajarannya sendiri. Sementara ajaran Islam sangat luas. Tidak terbatas ritual saja, namun juga mencakup sistem kenegaraan.

Di sisi lain isu toleransi terus digaungkan. Dianggap tidak toleran seseorang yang menginginkan penerapan Islam secara sistematis. Atau seseorang yang hanya mengucapkan Assalamu’alaykum saja ketika berbicara di depan audiens dengan keyakinan yang berbeda.

Ulama Pewaris Nabi

Sikap kritis MUI Jawa Timur ini, seharusnya patut diapresiasi. MUI adalah wadah berkumpulnya para Ulama. Sedangkan ulama adalah pewaris nabi. Ulama adalah penerus perjuangan Rasulullaah shalallaahu ‘alayhi wa salam dalam mendakwahkan Islam. Penuntun umat agar umat berjalan sesuai dengan syari’ah.

Rasulullah shalallaahu ‘alayhi wa salam mengistilahkan para ulama dalam sebuah sabdanya, sebagai kunci-kunci untuk membuka segala kebaikan dan sebagai penutup segala bentuk kejahatan.

Imbuan MUI tentang salam lintas agama adalah dalam rangka menjaga aqidah umat. Hal ini didasarkan pada realita bahwa salam agama tertentu mengandung doa kepada “Tuhan” mereka. Sementara Rasulullah shalallaahu ‘alayhi wa salam bersabda ‘Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka.’ (HR. Abu Dawud)

Umat Islam memiliki salam tersendiri. Seperti yang dicontohkan Rasulullaah shalallaahu ‘alayhi wa salam. Assalamu’alaykum wa rohmatullahi wa barokatuhu yang berarti semoga keselamatan, keberkahan, dan kasih sayang (rahmat) dari Allah Ta’ala menyertai Anda/kalian.  Seorang muslim, seharusnya menggunakan salam tersebut. Bukan salam yang lain. Meski salam tersebut sedang tren. Wallahu a’lam.

DEPY SW