Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

Kado Pahit 2020: Masyarakat Siap-siap Gigit Jari

878
×

Kado Pahit 2020: Masyarakat Siap-siap Gigit Jari

Sebarkan artikel ini
Kado Pahit 2020: Masyarakat Siap-siap Gigit Jari
Hamsina Halisi Alfatih

Tahun 2019 telah usai, masih banyak sebenarnya ‘Pekerjaan Rumah’ yang harus di benah dan diselesaikan oleh pemerintah. Namun siapa sangka justru penyambutan tahun baru 2020, masyarakat harus rela kembali gigit jari dengan beragam naiknya layanan publik.

Beragam layanan publik yang hendak dinaikkan oleh pemerintah diantaranya, tarif sejumlah ruas tol, Kenaikan harga rokok, tarif parkir kendaraan bermotor dan mobil, kenaikan BPJS, dan kenaikan tarif DAMRI berkisar Rp 10.000-15.000 untuk setiap rute. (CNBCindonesia.com, 19/12/19)

Disisi lain, pemerintah tengah mengkaji rencana pengupahan baru berbasis produktivitas. Diwacanakan sistem pengupahan tidak lagi hitungan bulan, namun dirubah menjadi per jam. Sistem pengupahan yang berlaku di Indonesia saat ini adalah upah bulanan. (CNBCindonesia.com, 28/12/19)

Sementara itu, pemerintah justru akan mempermudah perizinan TKA (tenaga kerja asing) untuk masuk ke dalam negeri. Yakni melalui RUU Omnibus Law soal Cipta Lapangan Kerja. (CNBCindonesia.com, 29/12/19)

Menyikapi polemik diantara ragamnya layanan publik yang dinaikan pemerintah pada tahun 2020, hal ini justru semakin menambah suramnya sistem pemerintahan yang tengah dijalankan oleh rezim sekuler saat ini. Bagaimana tidak, disaat pemenuhan hajat hidup orang banyak harus dipenuhi dan dipermudah justru rezim sekuler ini menghadirkan solusi yang semakin menambah penderitaan rakyat.

Lain pihak, rezim sekuler yang dijalankan justru beromantis ria dengan kaum kapitalis, korporasi asing dalam menggerut aset-aset negara. Seperti yang dikutip dari laman CNBCindonesia, 30/12/19, ejumlah tol di Indonesia sudah dan dalam proses penjualan ke investor swasta. Setidaknya, belakangan dua investor asing tengah deal-dealan dengan sejumlah konsorsium Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) BUMN maupun swasta.

Hal ini menjadi salah satu bukti nyata betapa pemerintah lebih mengenyangkan para kapitalis asing maupun swasta dalam menggerut berbagai fasilitas layanan publik. Kegagalan rezim sekuler yang tak mampu mensejahtrakan masyarakat tak hanya itu saja. Pemenuhan jaminan kehidupan dalam sektor ekonomi pun terbilang gagal. Melimpahnya Sumber Daya Alam ( SDA) dinegeri ini pun justru lebih dikerahkan kepada tenaga kerja asing. Padahal, di Indonesia sendiri memiliki Sumber Daya Manusia yang mampu mengelola berbagai sumber daya alam tersebut.

Walhasil, tenaga kerja di Indonesia tergeserkan oleh Tenaga Kerja Asing ( TKA) yang dijamin dengan upah yang jauh diatas rata-rata dibanding tenaga kerja di Indonesia sendiri. Inilah tabiat negara pengekor kapitalisme yang hanya lebih memakmurkan para kapital daripada memakmurkan rakyatnya sendiri. Rakyat seolah dijadikan tumbal rezim hanya untuk memuluskan kepentingan para elit politik.

Lantas bagaimana perspektif islam melihat kondisi umat saat ini? Di dalam islam sendiri, memakmurkan dan mensejahtrakan umat adalah tujuan yang utama. Dan hal tersebut merupakan tanggung jawab seorang kholifah.

Ada jargon sekaligus doktrin mendasar digulirkan oleh para ulama Islam klasik yang cukup dikenal berbunyi, “Sayyid al-qawm khâdimuhum,” (pemimpin suatu masyarakat adalah pelayan bagi mereka). Kepemimpinan termanifestasikan dalam tindakan pelayanan bagi rakyat yang dipimpinnya. Tanpa ada pelayanan maka tak ada kepemimpinan.

Para ulama memberi rambu-rambu dalam memberikan pelayanan sang pemimpin/pemerintah harus memberikan kebijakan yang berorientasi pada kebaikan dan kemaslahatan bagi rakyatnya. Dikatakan dalam kaidah fikih, “Tasharruf al-imâm ‘alâ al-ra’îyyah manûthun bi al-mashlahah” (kebijakan pemimpin harus selaras dengan kemaslahatan). Dengan kata lain kebijakan yang pro rakyat.

Demi tercapainya kebaikan dan kemaslahatan bagi rakyat itu juga harus melalui sistem, peraturan dan mekanisme yang tertata dengan rapi. Sahabat Ali ibn Abi Tahlib berkata, “Al-haqqu bila nizhâm, yaghlibuhu al-bâthil bi al-nizhâm,” (kebenaran yang tidak sistematis akan dikalahkan oleh kebathilan yang sistematis). Tujuan dan perantara yang menghantarkan tercapainya tujuan itu memang harus seirama.

Menurut Imam al-Mawardi al-Bashri al-Syafi’i dalam kitabnya, “Adab al-Dunya wa al-Dîn”, terdapat ada dua hal, yaitu agama dan dunia, yang keduanya memiliki etika (adab) dan prinsip dasarnya sendir-sendiri dalam mengelolanya. Pelayanan publik termasuk dalam pengaturan duniawi. Ada enam prinsip dasar dalam pengelolaan dunia, yaitu adanya agama/ideologi yang dianut, pemerintah yang kuat, keadilan dan keamanan yang merata/universal, kemakmuran ekonomi, dan cita-cita bersama yang luas (tidak sempit dan mempersempit).

Pemimpin sebagai pelayan tentu bertanggung jawab menciptakan pemerintahan yang kuat (bukan dalam arti otoriter), mewujudkan keadilan dan keamanan yang merata serta kemakmuran ekonomi. Dan hal ini telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dan para sahabatnya yang hidupnya sederhana dan selalu mementingkan dan memprioritaskan kepentingan rakyat/umat daripada kepentingan pribadi dan keluarganya. Contoh yang kongkrit ketika Umar ibn al-Khattab menghapus khumus (seperlima) harta rampasan perang untuk para pejabat dan para tentara lalu dikumpulkan ke dalam Bayt al-Mal, sebuah lembaga keuangan negara, untuk merealisasikan kebijakan yang maslahat bagi rakyat.

Kebijakan Umar ini sesuai dengan tujuan universal syariat yaitu kemaslahatan karenanya ia berani meski harus menabrak makna literalis al-Qur`an tapi substansinya senafas dengan semangat al-Qur`an. Kemudiam, ada Umar ibn Abdul Aziz yang mampu memberikan pelayanan kepada rakyatnya. Saking makmurnya sehingga tidak ada rakyatnya yang terlantar, dan kesulitan menyalurkan harta zakat lantaran sudah sedikit sekali yang berhak (mustahiq) menerima zakat.

Pun demikian tentang pengupahan, Islam member perspektif mengenai ketenagakerjaan, setidaknya ada empat prinsip untuk memuliakan hak-hak pekerja, termasuk sistem pengupahannya.

Upah atau gaji adalah hak pemenuhan ekonomi bagi pekerja yang menjadi kewajiban dan tidak boleh diabaikan oleh para majikan atau pihak yang mempekerjakan. Sebegitu pentingnya masalah upah pekerja ini, Islam memberi pedoman kepada para pihak yang mempekerjakan orang lain bahwa prinsip pemberian upah harus mencakup dua hal, yaitu adil dan mencukupi.

Prinsip tersebut terangkum dalam sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Al-Baihaqi, “Berikanlah gaji kepada pekerja sebelum kering keringatnya, dan beritahukan ketentuan gajinya, terhadap apa yang dikerjakan.”

Inilah ketika islam memuliakan para buruh atau para pekerja, dengan memberikan upah secara adil dan mencukupi maka hal ini mampu memberikan kesejahtraan kepada keluarganya. Demikian pula masalah pelayanan publik dalam islam, yang hanya diperuntukan semata-mata demi kemaslahatan umat. Dan hal ini merupakan tanggung jawab seorang pemimpin atau kholifah. Karenanya mengharapkan hidup dalam kesejahteraan hanya akan benar-benar dirasakan ketika umat telah berada dalam kepemimpinan Islam.

Oleh: Hamsina Halisi Alfatih

error: Jangan copy kerjamu bos