Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

Menyoal Defisit BPJS

804
×

Menyoal Defisit BPJS

Sebarkan artikel ini
Menyoal Defisit BPJS
UMMU SYAQIEB

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mencatat sedikitnya 792.854 peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) turun kelas hingga 8 Januari 2020. Penurunan kelas peserta menyusul iuran JKN-KIS yang dinaikkan per Januari 2020 (republika.co.id, 08/01/2020).

Hal ini sesungguhnya bisa diprediksi sejak awal. Bagaimana tidak? Harga berbagai kebutuhan pokok terus mengalami kenaikan, membuat beban hidup kian berat. Masih ditambah lagi beberapa tarif iuran seperti tarif listrik, tol dan BPJS juga mengalami kenaikan. Seolah menjadi kado pahit bagi masyarakat di awal tahun 2020. Sehingga amat wajar, di tengah keterhimpitan ekonomi, sebagian masyarakat mengambil jalan yang dirasa paling memungkinkan untuk dilakukan, yakni turun kelas BPJS.

Di sisi lain, banyaknya masyarakat yang turun kelas, diprediksi oleh beberapa pihak akan memperbesar defisit BPJS di tahun 2020 ini. Apalagi setelah kenaikan tarif BPJS, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan tidak akan menyuntikkan dana tambahan lagi untuk BPJS Kesehatan pada tahun ini seperti yang sudah dilakukan tahun lalu. Tentu saja beberapa kondisi ini menjadi lampu kuning bagi lembaga penyelenggaraan jaminan sosial tersebut.

Sistem jaminan sosial yang diterapkan saat ini memang sangat rawan dengan defisit, karena biaya penyelenggaraan dibebankan kepada setiap peserta (masyarakat) dengan sistem subsidi silang. Sedangkan pada realitanya, masyarakat dihadapkan pada beban hidup yang makin sulit dari waktu ke waktu. Maka, yang alamiah terjadi adalah tunggakan iuran oleh masyarakat dan berujung pada defisit keuangan lembaga penyelenggara jaminan.

Masyarakat takkan mampu dibebankan biaya kesehatan secara terus menerus. Kondisi yang demikian juga menyalahi Undang-undang Dasar 1945, dasar dan sumber hukum yang dipegang erat oleh negara ini. Beberapa pasal dalam UUD 1945 secara lugas mengamanatkan penyelenggaraan kesehatan masyarakat menjadi kewajiban penuh negara, bukan masyarakat.

Konsep jaminan kesehatan yang diterapkan hari ini merupakan jaminan kesehatan ala Kapitalisme, dimana negara berlepas diri dari tanggung jawab, memindahkannya pada pundak masyarakat, dan menyerahkan pengurusan kepada mekanisme pihak swasta (korporasi, investor dan industrialisasi kesehatan).

Padahal, terdapat konsep pembiayaan kesehatan yang anti defisit, dan hal tersebut hanya terdapat dalam Islam. Islam memandang kesehatan merupakan kebutuhan dasar bagi setiap warga negara, yang harus dipenuhi oleh negara. Karenanya, hanya negaralah yang menanggung biaya kesehatan secara, bukan masyarakat.

Bagaimana model pembiayaannya? Dalam negara Islam, terdapat lembaga keuangan yang disebut Baitul Mal. Lembaga keuangan negara ini memiliki sumber-sumber pendapatan tetap sesuai ketentuan syara, salah satu diantaranya harta milik umum berupa sumber kekayaan alam dan energi. Selain itu, baitul Mal juga memiliki pos-pos pengeluaran yang telah ditetapkan dalam rangka menyelenggarakan fungsi negara, salah satunya pembiayaan kesehatan masyarakat.

Andaipun Baitul Mal sedang mengalami kekosongan, untuk pembiayaan kesehatan, negara akan menarik pajak sementara dari masyarakat yang kaya saja, sesuai jumlah yang dibutuhkan. Tidak dibebankan pada masyarakat yang tidak mampu, karena konsep pembiayaan muthlak yang menjadi tanggung jawab negara.

Jika menilik potensi kekayaan alam yang dimiliki Indonesia, dengan pengelolaan yang benar dan amanah dan dijalankan sesuai dengan konsep Islam di atas, pembiayaan kesehatan yang anti defisit tentu menjadi hal yang tidak sulit untuk dicapai. Namun apalah daya, negara kita masih dicengkeram sistem kapitalisme-sekular, yang menjadi sistem pengurusan masyarakat hari ini, termasuk dalam tata kelola jaminan kesehatan. [**]

UMMU SYAQIEB