Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

Menyoal Ajaran Kepemimpinan

1347
×

Menyoal Ajaran Kepemimpinan

Sebarkan artikel ini
Menyoal Ajaran Kepemimpinan
KISMANTO

Telaah Penyataan Istighfar versus Julman

 Sebagai mahasiswa yang sedang belajar, terasa perlu bagi saya menulis tulisan ini. Sebagai generasi muda yang berharap menjadi generasi penerus dari generasi sebelumnya, terkhusus kepemimpinan di daerah saya, Buton Utara tercinta.

Sebagai referensi yang sedang belajar, saya mencoba mengambil sebagian pendapat para ahli tentang kepemimpinan, antara lain :  

George R Terry (dikutip Sutarto, 1998 : 17) Kepemimpinan adalah hubungan yang ada dalam diri seseorang atau pemimpin, mempengaruhi orang lain untuk bekerja secara sadar dalam hubungan tugas untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Gareth Jones and Jennifer George (2003:440). Menurutnya, Kepemimpinan adalah proses dimana seorang individu mempunyai pengaruh terhadap orang lain dan mengilhami, memberi semangat, memotivasi dan mengarahkan kegiatan-kegiatan mereka guna membantu tercapai tujuan kelompok atau organisasi”  

Stephen P. Robbins (2003:40), Kepemimpinan adalah “Kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah tercapainya tujuan”.  

definisi dari Ricky W. Griffin (2003:68), “Pemimpin adalah individu yang mampun mempengaruhi perilaku orang lain tanpa harus mengandalkan kekerasan; pemimpin adalah individu yang diterima oleh orang lain sebagai pemimpin”.  

Bangunan teori-teori kemimpinan, yang terangkum menurut pakar :

1. Teori-teori Kepemimpinan (Leadership Theory)

2. Teori Orang Hebat (Great Man Theory)

3. Teori Sifat Kepribadian (Trait Theory)

4. Teori Perilaku (Behavioural Theory)

5. Teori Kontingensi (Contingency Theory)

 Coba kita fokus ke pendapat pakar ini Menurut penelitian dari McCall dan Lombardo (1983), terdapat empat sifat kepribadian utama yang menjadi penentu keberhasilan atau kegagalan seorang pemimpin.

– Stabilitas dan ketenangan emosional : Tenang, percaya diri dan dapat diprediksi terutama pada saat mengalami tekanan.

– Mengakui Kesalahan : Tidak menutupi kesalahan yang telah dibuat tetapi mengakui kesalahan tersebut.

– Keterampilan Interpersonal yang baik : mampu berkomunikasi dan menyakinkan orang lain tanpa menggunakan taktik yang negatif dan paksaan.

– Pengetahuan yang luas (Intelektual) : Mampu memahami berbagai bidang daripada hanya memahami bidang-bidang tertentu ataupun pengetahuan tertentu saja.

Memetik point pendapat polemik antara Istighfar dan Julman, serasa tak etislah jika ilmu di atas tersebut saya memposisikan diri “mengajar mereka”, sebagai mahasiswa yang sedang belajar. Bahwa Istighfar menulis di media menganggap Abu Hasan “galau”, karena gagal memaknai kapasitas dan kapabilitasnya sebagai pemimpin, baik sebagai Kepala Daerah maupun Sebagai Personal. Disisi lain, Julman menilai ada kegagalan penilaian Istighfar dalam memahami kepemimpinan, dengan menyebutkan “istighfar perlu belajar metode kepemimpinan”. 

Entah saya harus tersenyum sipu atau harus memanggil senior ini mengajarkan kami apa itu kepemimpinan, atau jika perlu Abu Hasan yang mendudukkan ini kepada kita semua akan makna kepemimpinan secara ilmiah.

Ada nilai obyektif dan sepertinya sangat signifikan menerjemahkan realitas polemik ini, bahwa sebagai generasi penerus, seharusnya hal ini dapat mengedukasi kami tanpa menjustifikasi momentum pilkada yang sangat jauh dari esensi saya sebagai mahasiswa. Namun dilematis nya adalah suguhan polemik ini, mengusik paradigma berfikir saya sebagai mahasiswa akan makna kepemimpinan ini.

Nah, kembali merujuk referensi sebelumnya, terdapat 3 hal yang pokok bagi saya menilai mereka.

Pertama, ternyata polemik yang ada sesungguhnya merujuk pada teori perilaku pemimpin (Beheveourial Theory), yang kurang lebih mereka cendrung mencerminkan perilaku yang berangkat sebagai seorang politikus, dimana karakter politikus tidak lain adalah “kepentingan kekuasaan” yang dikemas dari latar belakang partai. Kenapa, karena tahun ini adalah momentum pilkada dan kejadian polemik ini pun mereka adalah bagian integral dari gerbong masing-masing. Uniknya adalah pemantik polemik ini karena pernyataan Abu Hasan di media dan di-posting di media sosial, yang notabenenya adalah ruang publik “tanpa tuan”. 

Kedua, sangat berlaku pendapat McCall dan Lambardo (1983) di atas, yang menyimpulkan 4 (empat) point penting, dimana salah satunya pada point : “stabilitas dan ketenangan emosional” mutlak menjadi variabel sorang pemimpin, kemampuan akan memiliki ketenangan, percaya diri dan dapat diprediksi terutama pada saat mengalami tekanan. Sepertinya diantara mereka abu hasan, istighfar dan julman) tak mampu memposisikan variabel ini, sebutlah mengemas polemik ke arah yang lebih arif dan bijaksana sehingga menjadi rujukan saya secara khusus dan mahasiswa secara universal. Dengan kata lain, momentum pilkada yang Terpolemikkan ini dapat mengedukasi kami, dan pada akhirnya kami tercerahkan secara intelektual dan memberikan kontribusi formalitas. Dan pada akhirnya menggiring kami akan orientasi generasi penerus dalam frame pelanjut kepemimpinan. 

Bukan sebaliknya, justru suguhan perdebatan dan perbedaan yang cendrung kontra produktif dan bermuara pada destruktif keilmuan yang tidak intelektual. Yaitu momentum pilkada itu sendiri, yang ujung-ujungnya adalah “kepentingan kekuasaan” itu sendiri.

Ketiga, netralitas sosok Kepala Daerah, yaitu Abu Hasan yang laksana dua sisi mata uang. Bahwa polemik Istighfar dan Julman yang terpicu dari pernyataan Abu Hasan di media, sebaiknya Abu Hasan sebagai Kepala Daerah, pemimpin saya, pemimpin kita semua di Buton Utara memegang kaidah ilmu dan pengetahuan secara utuh tanpa memposisikan diri secara parsial dalam memaknai kepemimpinan itu sendiri. 

Kajilah secara logika, etika dan estetika sehingga aktualisasinya dapat menyatukan prinsip-prinsip keilmuan secara ilmiah. Bukan malah menterjemahkan realitas publik pada instrumen komunikasi yang sebenarnya punya bias di banyak interaksinya. Hal ini sejalan yang dikatakan oleh Ali Bin Abu Talib dan Imam Syafii, semasa saya ikut menimbah wawasan kepemimpinan. Meraka Mengatakan: “menguji kepribadian manusia, ujilah dia dengan harta dan kekuasaan” dan “pemimpin sejati adalah mereka yang lebih mengutamakan yang dipimpin daripada dirinya sebagai pemimpin”.  Bagi saya, sebaiknya beginilah pemimpin kita sejatinya, mungkin sempurna itu jauh, setidaknya ini dapat digelindingkan Abu Hasan, terkhusus kepada saya sebagai pribadi yang sedang belajar.

Terasa makin panjang, biar nyaman mari kita seruput kopi bersama dan lanjut membacanya.

Belajar kepemimpinan polemik antara Istighfar dan Julman yang awalnya atas pernyataan Abu Hasan di media yang di-posting di media sosial sebagai obyek tulisan saya ini, sebaiknya jangan dinilai sebagai opini negatif, maklum saya adalah mahasiswa yang sedang belajar. (Mencoba Mengulang Wacana Yang Konstruktif) sebagai opini subyektif dalam rangka proses intelektual semata. 

Akhirnya, saya berkesimpulan bahwa kepemimpinan sebagai sesuatu yang melekat di setiap pribadi, membutuhkan perjalanan sebagai proses keilmuan, bukan sebatas anugrah Tuhan, anugrah Politik, Anugrah Kontestasi atau apalah namanya. Bagi saya, kompleksitas cara pandang yang mereka maksud membutuhkan pengejawantahan konkrit dengan kapasitas masing-masing yang lebih bermanfaat. Bukan menebar “pesona” rangkaian kata menanti simpatik, bukan pula panggung pencitraan media, bukan juga sebagai topeng kepentingan dan lain sebagainya.

Cobalah wujudkan kepada saya dan kami mahasiswa kepada kerja, karya nyata dan kegiatan-kegiatan yang merefleksikan esensi pemimpin. Sebutlah kepada kami mahasiswa, membuka ruang pendidikan dan pelatihan yang bertemakan “kepemimpinan”. Bagi Istighfar dan Julman, cobalah dekati dan ajak Abu Hasan, sembari mengajak kami mahasiswa atau Abu Hasan berinisiatif kepada mereka lalu mengajak kami, sebagai generasi penerus mengkonkritkan “makna kepemimpinan”.

Dengan demikian, keintelektualan itu bermanfaat bagi kami, karena saya tidak melihat polemik ini adalah dari bias pemimpin yang mendewasakan. Yang akhirnya kalimat : teror, hujat, provokasi, galau dan belajar itu, menjadi paduan indah dalam rumpun “Lipu Tinadeakono Sara”.

KISMANTO (PEMERHATI MUDA BUTON UTARA)

error: Jangan copy kerjamu bos