Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

Protes Ulama: Ekonomi di Angkat Ibadah di Hambat

1046
×

Protes Ulama: Ekonomi di Angkat Ibadah di Hambat

Sebarkan artikel ini
Ariyani

Pemberlakuan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dibuat pemerintah tidak membuat masyarakat lantas menjadi patuh, tetapi sebaliknya, justru abai terhadap kesehatan mereka bahkan bebas keluar rumah tanpa merasa khawatir ditengah pandemi Covid 19. Hal ini diakibatkan dari tidak adanya ketegasan pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan.

Diskriminasi kebijakan yang dibuat pemerintah telah membuat masyarakat frustasi. Karena disisi lain mal, supermarket, pusat perbelanjaan tidak dibatasi bahkan sarana umum bandara masih terlihat masyarakat yang mengantri semakin membludak. Sementara disisi lain, masjid dibatasi dan tidak bisa diakses dengan mudah, pemerintah beralasan kerumunan jamaah bisa menyebabkan tingginya tingkat penyebaran virus Corona. Sekretaris Jendral Majelis Ulama Indonesia (Sekjen MUI) Anwar Abbas kemudian melontarkan komentar dan mempersoalkan sikap pemerintah yang tetap melarang masyarakat berkumpul di masjid. Anwar mempertanyakan, mengapa pemerintah tidak tegas terhadap kerumunan yang terjadi di bandara.

“Tapi yang menjadi pertanyaan, mengapa pemerintah hanya tegas melarang orang untuk berkumpul di masjid. Tapi tidak tegas dan tidak keras dalam menghadapi orang-orang yang berkumpul di pasar, di mal-mal, di bandara, di kantor-kantor dan di pabrik-pabrik serta di tempat-tempat lainnya,” kata Anwar Abbas dalam keterangan tertulis, Minggu (17/5/2020 lalu).

Anwar menilai kebijakan pemerintah mengenai pengecualian perjalanan transportasi ditengah pandemi virus Corona (COVID-19) ini sebagai sebuah ironi. Karena, kata Anwar, kebijakan ini bertentangan dengan sikap pemerintah Indonesia yang bersikeras ingin memutus rantai penyebaran virus Corona. Ada ironi atau hal-hal yang sangat sulit kita terima dengan akal sehat karena adanya pertentangan sikap dalam hal usaha kita untuk memutus mata rantai penyebaran virus Corona,” ungkap Anwar.

“Di satu sisi kita tegas dalam menghadapi masalah, tapi di sisi lain kita longgar, sehingga usaha kita untuk membendung dan menghentikan secepatnya penyebaran virus Corona tersebut menjadi terkendala karena adanya ambivalensi sikap dari pemerintah yang tegas dengan rumah ibadah tapi tidak tegas dengan lainnya,” sambungnya.

Anwar mengakui pemerintah telah menjunjung tinggi fatwa MUI yang menghimbau umat untuk beribadah di rumah. Bahkan, himbauan ini masif dilakukan dibeberapa masjid. Namun, ia heran karena tidak ada petugas yang melarang masyarakat berkumpul di ruang publik, seperti misalnya bandara. Inilah yang disebut Anwar sebagai ironi.

“Bahkan dibeberapa daerah, para petugas dengan memakai pengeras suara mengingatkan masyarakat untuk tidak berkumpul di masjid untuk melaksanakan shalat Jumat dan shalat jamaah serta tarawih di mesjid karena berbahaya. Tetapi, di wilayah dan daerah yang sama tidak ada petugas yang dengan pengeras suara mengimbau masyarakat di pasar, di mal, di jalan, di bandara, di kantor dan di pabrik-pabrik dan lain-lain, untuk mengingatkan mereka supaya menjauhi berkumpul-kumpul karena berbahaya,” sesalnya.

Kebijakan yang diambil pemerintah saat ini membuat masyarakat akhirnya dilema, ingin menaati aturan pemerintah untuk tetap di rumah, tetapi kebutuhan atau hak dasar dalam masa wabah tidak dipenuhi bahkan kebijkannya hanya memihak pada kepentingan korporasi. Sebagaimana jika dilihat pemerintah lebih dekat dengan para investor asing dan mengabaikan kepentingan rakyat serta menghambat kepentingan ibadah umat. Ekonomi diangkat tetapi ibadah dihambat, yang seharusnya tempat sarana umum pun harus dalam pemberlakuan yang sama.

Upaya pelonggaran PSBB dengan semakin dibukanya pusat perbelanjaan secara besar merupakan upaya pemulihan kondisi sosial ekonomi. Sayangnya, hal ini dilakukan tanpa diiringi pemastian bahwa virus tidak lagi menyebar dan mereka yang terinfeksi sudah diisolasi. Faktanya, untuk memastikan siapa saja yang terinfeksi (melalui tes massal dan PCR) saja belum dilakukan.

Alasan kekurangan alat selalu mengemuka. Mestinya disadari, kebijakan sejenis ini tidak mengantarkan pada solusi tetapi malah melahirkan persoalan baru, yaitu gejolak rakyat. Pun akan banyak orang tidak berdosa menjadi korban, masyarakat dibiarkan untuk berjuang menghadapi wabah sementara pemerintah minim perlindungan dalam memberi rasa aman pada rakyatnya.
Konsistensi pemerintah dalam mengadopsi sistem Kapitalisme-Demokrasi yang melahirkan pemimpin yang tidak tegas terkesan plin-plan, ‘mencla-mencle’ bahkan terkesan pe-ragu hingga membuat masyarakat semakin tidak mendapatkan haknya dan beribadah pun tak leluasa.
Nampak bahwa rezim Kapitalis-Sekuler hari ini memposisikan kedudukan ulama dihadapan negara hanya sekedar formalitas belaka. Jika dibutuhkan maka dimintai fatwanya untuk legalitas kebijakan negara, tetapi jika tidak dibutuhkan maka pendapatnya diabaikan.

Negara juga terkesan tak bersungguh-sungguh mendengarkan pendapat para ulama dan menerima masukannya, apalagi menjalankannya. Bahkan sebagai ulama yang kritis menyampaikan nasehat dalam rangka amar makruf nahi mungkar, malah dianggap menentang pemerintah. Tentu ini membodohi dan sangat menyakitkan umat Islam.dan ini yang membuat ulama harus bersuara lebih lantang untuk mengangkat setiap jenis aspirasi umat yang menjerit akibat kebijakan zalim rezim Kapitalis. Juga mengangkat kritik bahwa wabah Covid-19 selayaknya menyadarkan agar kembali pada solusi syariah.

Keberadaan ulama yang berada di barisan terdepan dalam membina umat akan menjadi penerang dan penunjuk arah, dan Rasulullah Saw. mengibaratkan mereka laksana bintang dalam sabdanya:
Sesungguhnya perumpamaan ulama di muka bumi laksana bintang -bintang yang ada di langit yang menerangi gelapnya bumi dan laut. Maka apabila hilang bintang gemintang itu hampir hampir tersesatlah yang tertunjuki itu. (HR Ahmad)
Dan ulama adalah sosok yang harus dihormati dan dimuliakan. Perkataannya adalah nasihat yang seharusnya didengar, karena ia adalah guru bagi para penguasa sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Ghazali, Sultan atau penguasa tugasnya mengurusi rakyat. Sementara sultan sendiri untuk mengurusi rakyat membutuhkan sebuah undang-undang.

Sedangkan ahli fikih atau ulama ialah orang yang tahu tentang undang-undang siyasah. Jadi, ahli fikih atau ulama itu posisinya adalah gurunya sultan atau penguasa dan tugas guru ialah menjelaskan atau meluruskan murid jika sang murid berjalan tidak sesuai materi undang-undang. Selain itu, seharusnya masyarakat juga turut bahu-membahu terus dalam menjalankan protokol kesehatan dan membantu menyalurkan donasi bagi mereka yang membutuhkan.
Sungguh ironi, di negeri berpenduduk Muslim terbesar ini suara ulama (protes) ulama hanya dianggap angin lalu oleh para penguasa. Hanya dalam system Islam sebagaimana ulama adalah bagian dari pemerintahan yang memberikan masukan dan menasehati penguasa. Allahu A’lam Bisshawab.

Oleh : Aryani (Umma Aqila Safhira)

error: Jangan copy kerjamu bos