Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

Impor Menggila Ditengah Wabah, Rakyat Semakin Gigit Jari

2735
×

Impor Menggila Ditengah Wabah, Rakyat Semakin Gigit Jari

Sebarkan artikel ini
Hamsina Halisi Alfatih

Nampaknya pemerintah semakin getol membuka kran impor ditengah pandemi covid-19. Disamping sulitnya perekonomian saat ini, pemerintah justru semakin mencekik rakyat lewat kebijakan yang tak rasional. Dilansir dari Okezone.com (15/04/20), Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat barang asal China yang masuk ke RI mengalami kenaikan. Impor asal Negeri Tirai Bambu yang paling banyak masuk ke Indonesia selama bulan Maret 2020 yaitu mesin dan peralatan elektronik, senilai USD698,1 juta.

Tak hanya itu BPS pun mencatat adanya impor buah-buahan asal China juga meningkat 191,41% menjadi USD 47,5 juta. Impor berbagai produk kimia asal China juga naik 58,47% menjadi USD70,2 juta. Kemudian Impor berbagai makanan olahan meningkat 204,55%. Sedangkan untuk industri kain tekstil asal China juga mengalami peningkatan sebesar 151,72%.

Dimasa pandemi, dimana kondisi perekonomian yang semakin parah bahkan mendekati “krisis ekonomi” nampaknya rakyat semakim harus gigit jari atas setiap kebijakan pemerintah. Hal yang semakin memperburuk keadaan rakyat ditengah pandemi virus corona saat ini banyaknya pengangguran, PHK, kelaparan, kemiskinan dan lainnya adalah gambaran buruknya sistem kapitalisme. Bagaimana tidak, disaat rakyat sangat bergantung terhadap hasil SDA negeri ini justru pemerintah semakin getol membuka kran impor.

Lonjakan impor yang terjadi saat wabah disinyalir karena:
Pertama, pemerintah mengklaim adanya penurunan produksi lokal. Kedua, adanya pelonggaran syarat impor. Melihat kenyataan ini, tentu kita bisa menilai penyebab adanya impor menggila saat wabah hanyalah bagian dari kebijakan pemerintah untuk menguntungakan para kapitalis. Padahal disisi lain, peningkatan produksi lokal dinegeri ini sangatlah signifikan jika dilihat dari Sumber Daya Alamnya.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor sayur-sayuran sepanjang tahun 2019 meningkat dari tahun 2018, menjadi 770 juta dollar AS atau setara 11,3 triliun ( asumsi kurs RP 14.700 per dollar AS). Merespon hal tersebut, Direktrur Jenderal Pajak Hortikultura kementerian Pertanian (Kementan) Prihasto setyanto mengatakan, angka tersebut di dominasi oleh komoditas sayur-sayuran yang pasokanya memang masih perlu dibantu oleh impor, seperti bawang putih dan kentang industri, (Kompas.com, 25/05/2020).

Sementara Direktur jenderal Perdagangan Luar Negeri Indrasari Wishnu Wardana mencatat, impor bawang putih yang sudah masuk ke tanah air tanpa Persetujuan Impor (PI) mencapai 28 ribu ton. Menurutnya dalam rapat kerja Komisi VI DPR, Jakarta, Kamis (23/4), “Jumlah bawang putih yang masuk mencapai 48 ribu ton. Dari jumlah itu, 20 ribu ton memakai PI, sementara 28 ribu ton masuk tanpa PI”.

Bagaimana bisa dalam menyikapi lonjakan impor, Kementerian perdagangan dan pertanian justru berbeda sikap dalam menanggapi soal impor di masa wabah. Ini menegaskan bahwa tidak ada kebijakan yang terintegrasi untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat. Karenanya rencana swasembada/kemandirian produksi pangan tidak sejalan dengan peluang cukai yang ingin didapat oleh kementerian perdagangan dan kepentingan pebisnis yang mendorong pelonggaran syarat impor.

Padahal, 2014 silam saat pencalonan presiden Joko Widodo yang kini tengah menjalani pemerintahan periode kedua dalam kampanyenya pernah berkomitmen untuk menghentikan impor pangan. Dilansir dari CNBCindindonesia, (14/01/20) presiden Jokowi menuturkan bahwa Indonesia punya modal untuk menuju kedaulatan pangan. Jokowi menambahkan, pengurangan bahkan penghentian impor akan membuat petani dalam negeri lebih bersemangat. Hasil akhirnya adalah produksi dalam negeri meningkat.

Namun pada kenyataannya, hampir enam tahun masa jabatannya kran impor pangan semakin membludak. Bahkan, rakyat terutama para petani yang bergantung pada hasil produksi justru harus kalah saing dengan produksi luar negeri. Lantas cita-cita untuk mewujudkan swasembada pangan itu seperti apa? Apakah dengan mengorbankan rakyat ataukah dengan menguntungkan para kapitalis?.

Dari sinilah kita bisa menilai bahwa kapitalisme-liberalisme hanyalah sistem yang membawa kehancuran bagi umat. Disisi lain, negara begitu abai dalam pengurusan umat, padahal dalam mewujudkan swasembada pangan seharusnya negara menghentikan impor dan tidak gegabah dalam menentukan kebijakan.
Didalam islam sendiri, ekspor maupun impor merupakan aktifitas perdagangan yang diperbolehkan. Sebab, aktifitas perdagangan internasional merupakan aspek muamalah yang amatlah penting bagi kemajuan suatu negara. Namun islam sangat melarang jika aktifitas ekspor maupun impor tersebut merugikan rakyat dan membawa rakyat dalam kesengsaran.

Maka dalam hal ini, seorang pemimpin negara haruslah mengambil peran penting dalam mengurus umat. Seorang pemimpin maupun jajarannya tidak boleh mengeluarkan kebijakan zholim yang menguntungkan pihak luar. .
Sebagaimana dalam riwayat hadist rasullullah ,bahwa fungsi pemerintah adalah laksana penggembala. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda:
“Imam (kepala negara) laksana penggembala dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari).

Hadist ini menginsyaratkan bahwa penguasa memiliki tanggung jawab besar dalam implementasinya mengurusi rakyat termasuk persoalan kebijakan impor, yang harus sesuai koridor syara’ dan tetap menguntungkan rakyat. Dari sinilah kita bisa menilai bahwa islam sangat memperhatikan terkait masalah kesejahteraan umat. Tak hanya itu, islam tidak akan membiarkan produk-produk kafir mendominasi negeri kaum muslim jika hal itu tidak dibutuhkan.
Wallahu A’lam Bishshowab

Oleh: Hamsina Halisi Alfatih