Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Berita Utama

Korban Nyawa Komersialisasi Tes Corona

657
×

Korban Nyawa Komersialisasi Tes Corona

Sebarkan artikel ini
Dwi Moga Fitrianingsi

Uji tes Covid-19 baik melalui rapid maupun swab test dituding telah “dikomersialisasikan”. Tingginya biaya tes disebut telah menelan korban di masyarakat. Ervina Yana, seorang ibu di Makassar, Sulawesi Selatan, dilaporkan kehilangan anak di dalam kandungannya setelah tidak mampu membayar biaya swab test sebesar Rp2,4 juta. Padahal kondisinya saat itu membutuhkan tindakan cepat untuk dilakukan operasi kehamilan. Sebelumnya, Ervina ditolak tiga rumah sakit karena biaya rapid dan swab testnya tidak ada yang menanggung. Sehingga di RS terakhir, anak dalam kandungannya meninggal,” kata pendamping Ervina dan juga aktivis perempuan, Alita Karen, Rabu (17/6).

Selain itu Ervina juga merupakan peserta BPJS penerima bantuan iuran (PBI) dan rutin melakukan pemeriksaan di puskesmas memutuskan operasi kehamilan ke sebuah rumah sakit swasta.”Ia harus segera dioperasi karena punya riwayat diabetes mellitus dan bayinya cukup besar sehingga riskan melalui persalinan normal,”. (bbc.com, 18/06/2020).
Tudingan Komersialisasi Tes Covid-19
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menjelaskan tingginya harga tes Covid-19 dikarenakan pemerintah belum menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET).

Tulus menyingkapkan bahwa seharusnya pemerintah dalam hal ini Kemenkes, segera menetapkan HET rapid test. Sehingga konsumen tidak menjadi obyek pemerasan dari oknum dan lembaga kesehatan tertentu dengan mahalnya rapid test, masyarakat sebagai konsumen perlu kepastian harga. Selain mengatur HET pemerintah juga perlu mengatur tata niaganya, (today.line.me, 21/06/2020).

Senada dengan Ketua Harian YLKI, Pengamat kebijakan publik dari dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menyebut saat ini terjadi ‘komersialisasi’ tes virus corona yang dilakukan rumah sakit swasta akibat dari lemahnya peran pemerintah dalam mengatur dan mengawasi uji tes ini. “Banyak RS saat ini yang memanfaatkan seperti aji mumpung dengan memberikan tarif yang mahal dan mencari keuntungan sebesar-besarnya. Itu akibat dari tidak ada aturan dan kontrol dari pemerintah,” kata Trubus.

Untuk itu, menurut Trubus terdapat dua solusi yang perlu dilakukan pemerintah dalam menyelesaikan masalah ‘komersialisasi’ tes virus corona ini. Pertama, pemerintah menanggung semua biaya uji tes ini, baik rapid maupun swab test berdasarkan keputusan pemerintah tentang penetapan kedaruratan virus corona dan penetapan Covid-19 sebagai bencana nasional nonalam dan diperkuat dalam penetapan Perppu No.1 Tahun 2020 menjadi Undang-Undang yang salah satu isinya tentang pembiayaan penanganan pandemi Covid-19.”Artinya, pemerintah bertanggung jawab dalam pembiayaan Covid, termasuk uji tes virus corona. Sehingga masyarakat yang mau tes tidak perlu bayar,” katanya.

Kedua, jika anggaran negara terbatas, pemerintah harus mengeluarkan aturan khusus yang mengatur pelaksanaan tes Covid-19, baik untuk rumah sakit swasta maupun mengatur pemerintah. “Karena hingga sekarang tidak ada aturan khusus tentang ini. Pemerintah harus turun tangan menetapkan harga standar yang terjangkau.” Namun Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) membantah bahwa rumah sakit swasta melakukan “aji untung” dalam biaya tes rapid dan swab.

Ketua Umum ARSSI, Susi Setiawaty, menjelaskan bahwa tudingan “mahalnya” tes virus corona disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, pihak rumah sakit harus membeli sendiri alat dan perlengkapan tes. Kedua, biaya untuk membayar tenaga kesehatan yang terlibat dalam tes tersebut, dari dokter, petugas laboratorium, hingga petugas medis yang membaca hasil tes tersebut, (bbc.com, 18/06/2020).

Islam Solusi

Dengan adanya kasus ini semakin membuka mata kita bahwa pelayanan kesehatan saat ini telah menjadi objek bisnis. Inilah fakta standar sistem kapitalis yang sangat dominan dalam menilai segala sesuatu dengan materi dan menempatkan negara hanya sebagai regulator, bukan sebagai penanggung jawab (raa’in). Berbeda halnya dengan sistem Islam, dimana dalam Khilafah, Negara hadir sebagai penanggung jawab langsung terhadap pemenuhan kebutuhan pelayanan kesehatan secara gratis dan berkualitas bagi setiap individu dan publik. Karena dalam Khilafah, kesehatan menjadi kebutuhan dasar bagi seluruh rakyat nya. Rasulullah SAW telah menegaskan bahwa, yang artinya, “Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari).

Dalam hal anggaran kesehatan, Negara harus menerapkan anggaran mutlak berbasis baitul mal, berapapun biaya yang dibutuhkan harus dipenuhi. Sumber-sumber pemasukan baitul dan pintu-pintu pengeluarannya sepenuhnya berlandaskan ketentuan Allah Subhanahu wa ta’ala, agar negara memiliki finansial memadai untuk pelaksanaan berbagai fungsi pentingnya, termasuk pembiayaan kesehatan anti defisit.

Salah satu sumber pemasukan baitul mal adalah harta milik umum berupa sumber daya alam dan energi dengan jumlah berlimpah. Namun dalam sistem demokrasi dan kapitalis saat ini hal itu sulit diwujudkan karena dalam pengelolaannya masih diserahkan kepada korporasi yang dimiliki oleh negara kafir penjajah seperti Amerika, Inggris, dan Jepang. Anggaran bersifat mutlak, berarti ada atau tidak ada kekayaan negara untuk pembiayaan pelayanan kesehatan wajib diadakan negara, (An Nabhani, T. An Nidzomul Iqtishody fil Islam, 236;245). Bila dari pemasukan rutin tersebut di atas tidak terpenuhi, Islam memiliki konsep antisipasi berupa pajak temporer yang dipungut negara dari orang-orang kaya sejumlah kebutuhan anggaran mutlak.

Dalam sejarahnya, ruang pelayanan kesehatan meraih puncaknya, terbukti dari paparan sejarawan berkebangsaan Amerika, Will Durant, rumah sakit Al Manshuri (683 H/1284 M) Kairo, sebagai berikut, “…Pengobatan diberikan secara gratis bagi pria dan wanita, kaya dan miskin, budak dan merdeka; dan sejumlah uang diberikan pada tiap pasien yang sudah bisa pulang, agar tidak perlu segera bekerja…“. [W. Durant: The Age of Faith; op cit; pp 330-1].

Subhanallah walhamdulillah, inilah Islam, melalui bingkai Khilafah, Islam bukan hanya sekadar agama tapi juga sebagai solusi dari berbagai persoalan kehidupan. Allah berfirman “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi,.. (Q.S Al-A’raf:96). Wallahu a’lam bishshawab.

Oleh : Dwi Moga Fitrianingsi