Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

Menakar Korelasi Antara Kemiskinan dengan Pernikahan

1634
×

Menakar Korelasi Antara Kemiskinan dengan Pernikahan

Sebarkan artikel ini
AINUL MIZAN (Peneliti LANSKAP)

Menko PMK, Muhadjir Effendy menyatakan bahwa sesama keluarga miskin besanan akan melahirkan keluarga miskin baru (www.cnnindonesia.com, 4 Agustus 2020). Pernyataan tersebut disampaikannya dalam diskusi via webinar yang diselenggarakan Kowani. Muhadjir menegaskan akan pentingnya memutus rantai kemiskinan dengan program pembekalan pranikah.

Sesungguhnya pernikahan dijadikan oleh Islam sebagai pintu legal bagi hubungan khusus antara pria wanita. Dari pernikahan tersebut muncul hubungan nasab dan kekerabatan di antara manusia. Tujuan mulia pernikahan adalah melangsungkan keturunan manusia. Jadi pernikahan tidak hanya sekedar sebagai wadah penyaluran hubungan seksual pria dan wanita.

Pernikahan juga dinilai sebagai ibadah sepanjang hidup. Antara suami istri terdapat hak dan kewajiban yang harus diperhatikan. Sebagai satu contoh, sabda Nabi Saw yang artinya: “Wahai para pemuda jika kalian sudah sanggup menanggung beban (ba’ah) maka menikahlah. Karena sesungguhnya menikah itu bisa menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan. Jika kalian tidak mampu, maka hendaknya ia berpuasa karena puasa itu menjadi perisai”.

Jadi dalam hadits tersebut, ba’ah itu adalah kesanggupan menanggung beban. Seorang pria yang sanggup menanggung beban kewajiban tanggung jawab maka dianjurkan untuk menikah. Tanggung jawab dalam hal ini meliputi nafkah, mendidik dan memimpin keluarganya. Kaya bukanlah menjadi ukuran dalam pernikahan.

Bahkan dalam kriteria mencari pasangan hidup, Nabi Saw menegaskan bahwa wanita itu dinikahi karena 4 hal yakni kecantikan, kekayaan, nasab keluarga, dan agamanya. Hanya saja Nabi Saw memberi penekanan agar faktor agama menjadi kriteria utama. Alasannya karena dengan pemahaman Islam yang baik, keluarga yang samara (sakinah, mawaddah wa Rahmah) akan bisa diwujudkan. Begitu pula di saat kita menikah dengan landasan iman dan menjaga diri dari perbuatan keji (zina) maka Allah akan menolongnya. Jadi mempersempit pernikahan dengan hanya melihat dari aspek ekonomi merupakan kesalahan intelektual yang fatal.

Pada sisi yang lain, sesungguhnya seseorang mau menikah dengan siapa itu adalah urusan pribadi. Negara tidak boleh mengendalikan kecenderungan dan pilihan individu. Allah SWT menegaskan dalam ayatNya yang artinya: “Maka nikahilah oleh kalian, wanita mana saja yang kalian inginkan…(TQS. An Nisa ayat 3). Allah SWT sendiri memberikan keleluasaan kepada individu untuk memilih pasangan hidupnya. Allah SWT melalui Rasul-Nya hanya memberikan panduan agar kehidupan keluarga yang nantinya dijalani bisa menciptakan kedamaian dan ketenteraman. Oleh karena itu pernyataan Muhadjir dalam diskusi webinar tersebut adalah bentuk pemaksaan negara atas urusan – urusan privasi.

Sedangkan bicara persoalan kemiskinan, tentunya adalah bicara masalah dalam bidang perekonomian. Oleh karena itu pendekatannya adalah pendekatan kebijakan ekonomi negara. Jika persoalan kemiskinan ini dikaitkan dengan pernikahan, justru berpotensi memunculkan anggapan negatif terhadap pernikahan. Parahnya bisa menimbulkan rasa takut dan kuatir terhadap pernikahan. Sebagai ilustrasi pemuda A yang kebetulan dari keluarga miskin sudah ingin menikahi seorang gadis yang dicintainya. Kebetulan si gadis ini berasal dari keluarga miskin juga. Akhirnya mereka memutuskan tidak melangsungkan pernikahan dengan alasan kuatir menjadi keluarga miskin baru. Tentunya dengan pola pikir demikian, pernikahan menjadi sesuatu yang menakutkan. Tentunya keadaan demikian hanya akan berpeluang membuka pintu lebar terjadinya pergaulan bebas.

Sekali lagi masalah kemiskinan itu merupakan problem ekonomi. Keadaan miskin adalah keadaan ketika seseorang tidak memiliki apapun yang bisa mencukupi kebutuhan hidupnya. Mereka tidak meminta – minta kepada manusia. Adapun kefakiran pada kondisi seseorang yang tidak mempunyai harta yang bisa mencukupi kebutuhan dasarnya yang meliputi pangan, sandang dan papan. Demikianlah pengertian fakir dan miskin dalam al Amwal fi Daulatil Khilafah.

Kemiskinan dan kefakiran itu ada yang dipicu karena faktor kekurangan fisik. Misalnya seseorang yang sakit sehingga ia tidak sanggup untuk bekerja. Atau karena faktor pendidikan yang rendah sehingga pekerjaan yang dimiliki tidak cukup memenuhi kebutuhan hidupnya.

Kemiskinan dan kefakiran juga bisa bersifat komunal. Hal ini terjadi karena kesalahan kebijakan politik dalam mengelola kekayaan alam dan sumber – sumber ekonomi bangsa dan negara. Penerapan Kapitalisme telah menjadikan kekayaan alam dikuasai oleh para kapital dan korporasi atas nama investasi. Bahkan negara hanya mendapatkan hak royalti yang tidak seberapa. Akibatnya kekayaan dikuasai oleh para kapital dan korporasi. Sedangkan negara guna memenuhi kebutuhan pembangunan menjadikan pajak kepada rakyat. Jadi sebuah keanehan, kekayaan alam diserahkan kepada swasta dan asing sementara rakyat yang sudah menderita dikenai pajak.

Begitu pula, selain pajak, negara mengandalkan utang guna menutupi defisit APBN. Hasilnya rakyat terbebani pajak dan utang. Di sisi yang lain, biaya hidup juga meningkat sebagai akibat dari penguasaan atas komoditas – komoditas yang menguasai hajat hidup rakyat oleh korporasi. Ditambah lagi ditambah kondisi pandemi Covid-19. Tidak tersedianya pendanaan yang memadai, akhirnya penanganan pandemi hanya berupa himbauan untuk protokol kesehatan, tanpa strategi yang baik. Justru di saat angka penderita Covid-19 meningkat kurvanya, pemerintah justru memaksakan New Normal. Rakyat diminta berjuang untuk menghidupi dirinya sendiri di tengah ancaman pandemi.

Pandangan Islam

Islam telah menawarkan konsep ekonomi terbaik. Bumi, air dan hutan serta kekayaan yang dikandungnya, harta rikaz, ghonimah (harta rampasan perang), harta rikaz, khumus, tanah kharaj dan usyr, harta zakat dan lainnya menjadi sumber pendapatan bagi negara. Negara akan mengelolanya dengan sesuai dengan hukum kepemilikannya. Semuanya demi kesejahteraan rakyat.

Negara akan memenuhi kewajibannya memberikan fasilitas terbaik bahkan gratis di sektor pendidikan, kesehatan dan keamanan. Begitu pula negara akan memberikan bantuan langsung kepada rakyatnya. Bantuan negara ini ada yang mengikuti mekanisme ekonomi dan non ekonomi. Bantuan/subsidi negara dengan mekanisme ekonomi melalui pengendalian harga barang dan kebutuhan hidup. Negara menstok sebanyak – banyaknya pada komoditas yang langka di pasaran. Dengan begitu harga bisa stabil. Di sisi yang lain, daerah yang berswasembada bisa tersalurkan ke daerah lainnya.

Mengenai bantuan negara dengan mekanisme non ekonomi. Negara akan memberikan modal dan pelatihan kerja kepada warga yang sanggup bekerja tapi tidak punya modal. Bantuan pupuk ke para petani dan lainnya. Juga negara menyediakan pinjaman tanpa bunga dan meringankan kepada rakyat untuk membuka dan mengembangkan usahanya. Sementara bagi mereka yang cacat fisiknya, negara memberikan bantuan kebutuhan hidupnya.

Apabila ada warga yang malas bekerja padahal tubuhnya sehat, maka negara akan memberikan nasehat hingga pemaksaan agar orang tersebut bekerja. Salah satu contohnya, dalam Islam bagi yang tidak mau menggarap tanahnya hingga menelantarkannya selama 3 tahun berturut -turut, negara akan menyitanya dan memberikan kepada orang lain yang sanggup untuk menggarapnya. Dengan demikian dapat dicegah penelantaran lahan – lahan pertanian.

Tentunya dengan pengaturan ekonomi demikian akan mampu melakukan pemerataan kesejahteraan. Prinsip distribusi Islam adalah agar harta itu tidak berputar di sekitar orang kaya saja. Bahkan negara wajib memudahkan proses pernikahan dan menganjurkannya. Dengan begitu tidak ada bayangan kekuatiran akan menjadi miskin tatkala menikah. Negara menutup rapat – rapat pintu terjadinya gaul bebas dan perzinahan.

Akhirnya, persoalan kemiskinan kembali kepada pengaturan negara dalam mengelola perekonomiannya. Ideologi Kapitalisme itulah sumber ketimpangan sosial dan ekonomi. Oleh karenanya, dengan menerapkan sistem ekonomi Islam yang dilakukan institusi Negara Khilafah mampu menciptakan tatanan ekonomi yang menyejahterakan atas landasan ibadah. Bahkan pernikahan menjadi pintu ibadah sekaligus pintu kesejahteraan ekonomi. Alasannya pernikahan itu bagian dari Syariat Islam yang harus diperhatikan oleh negara.

AINUL MIZAN (Peneliti LANSKAP)

Malang, 7 Agustus 2020

error: Jangan copy kerjamu bos