Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

Celaka Rakyat Karena Undang-Undang Cilaka (Cipta Lapangan Kerja)

728
×

Celaka Rakyat Karena Undang-Undang Cilaka (Cipta Lapangan Kerja)

Sebarkan artikel ini
Farah Sari, A. Md.
(Aktivitas Dakwah Islam, Jambi)

TEGAS.CO., NUSANTATA – Dalam waktu yang singkat lembaga legislator negeri ini telah menyetujui pengesahan UU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) pada tanggal 8 Oktober 2020. Sejak diserahkan ke DPR oleh Pemerintah pada bulan Februari 2020. Ini berarti baru berjalan sekitar 8 bulan. Jika dibandingkan AS dalam membentuk UU sejenis, pembahasan hingga pengesahan butuh waktu 5 (lima) tahun. Sungguh pengesahan UU Cilaka ini terkesan terburu-buru. Kenapa? Semua ini dilakukan demi kepentingan siapa?

Opini yang dimunculkan pengusul UU tersebut ketengah-tengah masyarakat bahwa, UU ini diharapkan mampu mereformasi perizinan agar lebih sederhana. Memberikan kemudahan investasi dan memberikan dampak bagi penyerapan tenaga kerja serta pertumbuhan ekonomi rakyat.

Sistem Demokrasi Melahirkan Kebijakan yang Menyengsarakan Rakyat

Benarkah harapan ini akan terwujud melalui UU Cilaka? Melihat banyaknya pihak yang meragukan dan menolak pengesahan UU tersebut sejak awal. Bahkan pasca disahkan. Tak tanggung-tanggung, penolakan terjadi dari berbagai kalangan. Mulai dari rakyat biasa hingga pejabat negara.

Seperti pernyataan yang datang dari anggota DPR Fraksi Gerindra Fadli Zon meminta maaf karena tidak berdaya mencegah pengesahan UU Cilaka. “Walau saya bukan anggota Baleg, saya pastikan perjuangan Gerindra menampung dan mengakomodir aspirasi rakyat sudah maksimal,” kata Wakil Ketua Umum Gerindra. (detikNews,7/10/20).

Penolakan rakyat bukan hal yang salah. Karena rakyat menghawatirkan keberlangsungan kehidupan (ekonominya) jika UU Cilaka ini dijalankan. Dan ternyata para wakil rakyat dan partai politik tidak mampu berbuat apa-apa ketika lahir UU yang tidak pro rakyat. Bukankah mereka dipilih rakyat? Lalu keberadaan mereka untuk siapa?

Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) meminta Presiden Joko Widodo mendengarkan penolakan undang-undang UU Cilaka dari sejumlah kalangan. Khususnya para kepala daerah yang meneruskan aspirasi warganya. “Ketentuan Pasal 18 ayat (2) menjamin adanya asas otonomi daerah dan Pasal 18 ayat (4) memberikan kewenangan otonomi yang seluas-luasnya,” ujarnya. (detiknews,10/10/20).

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebut ketidakpuasan atas UU Cilaka bisa ditempuh secara konstitusional. “Ketidakpuasan atas UU Ciptakerja bisa ditempuh dengan cara yang sesuai dengan konstitusi,” kata Mahfud dalam konferensi pers virtualnya. (warta ekonomi.co.id, 9/10/20).

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menyatakan mendukung uji materi atau judicial review UU Cilaka ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Nahdlatul Ulama membersamai pihak-pihak yang berupaya mencari keadilan dengan menempuh jalur konstitusional dengan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi,” kata Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj. (cnnIndonesia, 9/10/20).

Inilah watak asli sistem demokrasi. Sistem yang buta melihat penderitaan rakyat dan tuli mendengar aspirasi rakyat. Slogan demokrasi, dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat hanya omong kosong. Keputusan berdasar suara terbanyak juga omong kosong. Terbukti saat mayoritas rakyat menginginkan RUU Cilaka tidak disahkan menjadi UU Cilaka penguasa diam seribu bahasa. Kini UU Cilaka siap mencekik leher rakyat.

Fakta tak terbantahkan jika sistem demokrasi berpotensi menghasilkan aturan yang memicu perbedaan. Karena menjadikan akal dan kepentingan sebagai landasan. Disamping aturannya rusak dan menyengsarakan rakyat.
Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai wadah protes terhadap UU yang baru disahkan. Artinya, sejak awal sudah diprediksi akan ada penolakan terhadap suatu UU. Jika sumber dan asas lahirnya UU itu sahih, tidak perlu ada lembaga seperti itu.

Jika dari awal sudah terlihat potensi perbedaan pandangan dalam melahirkan kebijakan dan menghasilkan kerusakan, mengapa sistem ini masih dipertahankan? Tindakan bijak adalah meninggalkannya dan beralih pada sistem lain. Sebuah sistem kehidupan yang benar. Karena datang dari zat yang maha benar yaitu Allah SWT. Pencipta dan pengatur manusia dan alam semesta beserta seluruh isinya. Karena bersumber dari Allah maka nihil dari perbedaan pandangan yg berarti.

UU Cilaka hanya satu dari sekian banyak UU yang lahir dari rahim demokrasi. Satu dari sekian banyak UU yang menyakiti hati, menzalimi dan akan menyengsarakan rakyat. Dikarenakan penerapannya bukan untuk kesejahteraan rakyat. Melainkan kesejahteraan para pengusaha (pemodal). Dan penguasa sebagi pihak yang memiliki wewenang melakukan pengesahan.

Demokrasi juga sukses melahirkan sistem oligarki. Menurut KBBI, oligarki adalah pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu. Artinya kekuasaan negeri ini hanya dikendalikan oleh beberapa orang yang punya kekuatan. Pengusaha dan penguasa. Mereka telah bersekongkol dari rakyat. Demi mengamankan kepentingannya masing-masing.

Pengusaha butuh jaminan kemudahan mengeruk kekayaan negeri lewat payung UU. Dan penguasa harus balas budi atas mahalnya mahar dalam pesta demokrasi. Serta tergoda kompensasi materi yang ditawarkan pengusaha jika berhasil mengesahkan UU pesanan.

Maka, UU yang menzalimi rakyat sejenis UU Cilaka akan terus lahir dari rahim demokrasi kapitalis. Sekalipun wajah pemimpin negeri berganti. Selama sistemnya masih sama, tidak akan ada perubahan yang bermakna. Sudah cukup banyak UU yang lahir dan diterapkan, tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat. Seperti UU Migas, UU Minerba, UU Penanaman Modal dll. Rakyat sulit merasakan kesejahteraan meski hidup di negeri yang kaya sumber daya alam (SDA). Bahkan UU tersebut hadir untuk melegalkan perampokan SDA.

Karenanya kita membutuhkan arah perubahan yang benar (sahih). Rakyat tidak boleh tertipu lagi, janji manis rezim dalam sistem demokrasi. Rakyat butuh perubahan yang menghantarkan pada kesejahteraan dan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Dan itu butuh perubahan rezim dan sistem. Penguasa yang baik dan bertakwa sekalipun akan sulit tetap menjadi baik dilingkungan yang tidak baik. Kebaikan itu adalah Islam. Penerapan syariat islam secara total dalam bingkai sebuah negara.
Kesempurnaan syariat Islam telah Allah SWT gambarkan dalam firmanNYA: “… Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu …” (Al-Maidah: 3)

Selain itu seorang pemimpin yang memutuskan kebijakan layaknya sebagai perisai bagi rakyat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya. Jika seorang imam (Khalifah) memerintahkan supaya takwa kepada Allah ’azza wajalla dan berlaku adil, maka dia (khalifah) mendapatkan pahala karenanya, dan jika dia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad).

Sistem Islam (Khilafah) Melahirkan Kebijakan yang Mensejahterakan Rakyat

Ada dua kebijakan yang dilakukan Negara Khilafah untuk pengembangan ekonomi serta peningkatan partisipasi kerja dan produksi.

Pertama: mendorong masyarakat memulai aktivitas ekonomi tanpa dibiayai oleh Baitul Mal (Kas Keuangan Negara). Peran Negara Khilafah adalah membangun iklim usaha yang kondusif dengan menerapkan sistem ekonomi Islam secara komprehensif.

Beberapa mekanisme inti yang akan dilakukan Negara Khilafah adalah: menata ulang hukum-hukum kepemilikan, pengelolaan dan pengembangan kepemilikan, serta distribusi harta di tengah masyarakat, menjamin pelaksanaan mekanisme pasar yang sesuai syariah, menghilangkan berbagai distorsi yang menghambat (seperti penimbunan, kanzul-mal, riba, monopoli, penipuan), menyediakan informasi ekonomi dan pasar, serta membuka akses informasi untuk semua orang sehingga akan meminimalkan terjadinya informasi asimetris yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku pasar mengambil keuntungan secara tidak benar, mengembangkan sistem birokrasi dan administrasi yang sederhana dalam aturan, cepat dalam pelayanan dan profesional, menghilangkan berbagai pungutan, retribusi, cukai dan pajak yang bersifat tetap, menghilangkan sektor non-riil sehingga produksi barang dan jasa di sektor riil akan meningkat.

Kedua: mengeluarkan dana Baitul Mal (Kas Negara), dalam bentuk pemberian subsidi tunai tanpa kompensasi bagi orang yang tidak mampu. Subsidi negara untuk kaum fuqara dan masakin (orang-orang yang tidak mampu) bukan sekadar dibagi rata dan diberikan dalam jumlah yang kecil-kecil, tetapi juga mereka dijamin oleh pemerintah selama satu tahun agar tidak sampai kekurangan. Subsidi diberikan dalam jumlah yang cukup besar untuk memulai bisnis, tidak hanya untuk dikonsumsi saja. Dengan demikian fungsinya betul-betul untuk mengangkat seseorang dari garis kemiskinan. Rasulullah saw. pernah memberi subsidi 400 dirham (sekitar Rp 28 juta). Saat itu harga baju yang paling mahal pada masa itu sebesar 19 dirham (sekitar Rp 1,3 juta) dan baju biasa seharga 4 dirham (sekitar Rp 280 ribu).

Keunggulan kompetitif dari beberapa kebijakan Negara Khilafah yang berdampak pada luasnya lapangan pekerjaan dan terciptanya iklim usaha yang produktif antara lain kebijakan pembangunan infrastruktur secara mandiri, mekanisme rate yang khas pada kharaj dan zakat, serta aktivitas penyebaran Islam yang juga menimbulkan dampak ekonomis.

Allah SWT berfirman: “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan. (QS. Al-A’raf: 96).

Penulis: Farah Sari, A. Md.
(Aktivitas Dakwah Islam, Jambi)
Editor: H5P

error: Jangan copy kerjamu bos