Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

Film Unfaedah Mari Berbenah

509
×

Film Unfaedah Mari Berbenah

Sebarkan artikel ini
Risnawati, S.TP (Pegiat Opini Media Kolaka)

TEGAS.CO., NUSANTARA -Film berjudul My Flag – Merah Putih vs Radikalisme menambah polemik baru di masyarakat khususnya sebagian umat Islam. Film ini seperti hendak memberi pesan betapa Islamopobia semakin meninggi di negeri ini.

Seperti dilansir dari laman Suara.Com, Publik beramai-ramai mengkritik film pendek berjudul My Flag – Merah Putih Vs Radikalisme’ besutan Nahdlatul Ulama (NU). Film tersebut dituding memuat konten adu domba untuk membenci wanita bercadar.

Dari Pantauan Suara.com, Senin (26/10/2020), film yang telah dibuat untuk merayakan Hari Santri Nasional pada 22 Oktober 2020 itu telah disaksikan lebih dari 135 ribu kali. Film yang diperankan oleh Gus Muwaffiq dan beberapa santri itu disiarkan melalui kanal YouTube NU Channel pada Jumat (23/10/2020).

Namun, sejak dirilis film tersebut menuai kritik keras dari publik karena memuat adegan yang dinilai memecah belah umat. Film tersebut menceritakan tentang perjuangan para santri menjaga kedaulatan negara. Mereka berjuang sekuat tenaga melindungi kehormatan bendera Merah Putih. Dalam film tersebut ada adegan ketika para santriwati bertarung melawan beberapa wanita bercadar.

Akar Masalah

Sebuah pohon, jika tanpa akar, maka tidak akan tumbuh subur, bahkan akan mati. Ilmu jika tak dipahami sampai ke akarnya, memungkinkan interpretasi yang keliru, karena tidak mendapatkan pemahaman yang mendalam dan menyeluruh. Maka, hakikinya dalam perspektif ontologis, istilah radikal tak ada masalah, karena bebas nilai.

Sudah jelas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) secara terminologi kata radikal artinya (1) secara mendasar, sampai hal yang prinsip; (2) amat keras menuntut perubahan; (3) maju dalam berpikir atau bertindak. Dengan demikian secara epistemologi, kata radikal mulai diarahkan kepada sebuah pikiran atau tindakan untuk sebuah perubahan.

Namun, Barat mengambil alih definisi radikal kepada pemahaman politis dimana kata radikal ditambahkan akhiran-isme menjadi radikalisme. Bagi Barat kata radikalisme dimaknai sebagai paham atau aliran radikal dalam politik, paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis dan juga sebuah sikap ekstrem dalam aliran politik. Dari sini, Barat mempromosikan diksi radikalisme untuk diadopsi oleh negara lain, tidak terkecuali oleh negeri-negeri muslim termasuk Indonesia.

Barat kemudian melakukan strategi propagandisnya, memegang kendali dengan memberikan stempel kata radikal kepada Islam dan kaum muslimin yang berseberangan dengan ideologi demokrasi-sekuler Barat. Bagi Barat, memisahkan agama dari kehidupan Adalah keharusan. Maka siapa saja, baik individu maupun kelompok yang menjadikan agama sebagai dasar berpikir untuk kehidupan, akan dicap sebagai kaum radikal yang wajib dilawan dan dimusuhi. Sebaliknya, siapa saja yang berpikiran sekuler, maka akan dijadikan sebagai teman. Strategi pecah belah ini dilakukan untuk melemahkan umat Islam. Barat kemudian merangkul kelompok yang sesuai dengan keinginan mereka, dan memukul yang dianggap berseberangan. Karena itu, isu radikalisme adalah senjata barat untuk menyerang agama Islam.

Walhasil, di negeri ini terus saja memframing isu radikalisme dengan stempel agama. Mulai dari penetapan ciri seseorang terpapar radikalisme yang identik dengan syariat Islam semisal cadar, celana cingkrang, jihad hingga Khilafah yang merupakan bagian dari ajaran Islam.

Setidaknya ada empat poin penting diperoleh di dalam penayangannya. Pertama, sebagai upaya memecah belah masyarakat, mengadu domba dengan mengangkat satu kelompok, kemudian menginjak kelompok lain yang dinilai berseberangan dengan kepentingan rezim. Kedua, upaya menghembuskan paham sekularisme dan islamopobia di masyarakat. Ketiga, narasi anti radikalisme sering kali ditujukan kepada Islam dan kaum muslimin, adalah upaya merintangi persatuan umat Islam, yang sudah mulai tumbuh kesadaran untuk menyerukan kebangkitan Islam hakiki dengan menerapkan Islam secara kaffah. Keempat, Isu radikalisme adalah cara barat mempertahankan eksistensi dan menancapkan kuku-kuku mereka untuk terus melakukan penjajahan di negeri-negeri muslim, termasuk di Indonesia.

Barat maju justru saat ia meninggalkan agamanya (sekuler), sebaliknya kaum muslim mengalami kemunduran, justru ketika mereka meninggalkan/mengabaikan agamanya. Karena itu, kita harus hadir memberikan pencerahan, agar timbul kesadaran dan mewaspadai segala bentuk propaganda yang berpotensi memecah belah anak negeri, seraya mendakwakan Islam sesuai dengan metode kenabian, dengan cara yang baik, dengan pemikiran, bukan dengan kekerasan.

Sudah saatnya kita menyadari bahwa kemunculan karya-karya yang mencitra burukkan Islam akibat diterapkannya sistem sekuler liberal. Kondisi saat ini menjadi kondusif bagi aktivis liberal untuk berkarya atas nama kebebasan. Sehingga kita tidak bisa benar–benar menghentikan karya mereka, melainkan sebatas memberi tekanan publik dengan menyatakan penolakan. Yang sebelumnya film The Santri telah menuai polemik dan kini My Flag yang tayang di hari Santri pun sama memiliki pesan propaganda liberal dalam sistem kapitalisme sekuler.

Maka mari, berbenah menjadikan Islam sebagai pandangan hidup kita saja bukan yang lain. Saatnya kita kembali pada ajaran Islam yang mulia, yang telah terbukti pernah diterapkan lebih dari 13 abad lamanya. Saat itu kemajuan, kesejahteraan, keadilan dan kedamaian menjadi milik seluruh umat, baik muslim maupun non muslim. Saatnya kita kembali pada jati diri muslim kita, dengan mengupayakan terwujudnya kepemimpinan dibawah naungan Islam. Wallahu a’lam.

Penulis: Risnawati, S.TP (Pegiat Opini Media Kolaka)
Editor: H5P

error: Jangan copy kerjamu bos