Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

Mewadahi Perbedaan hanya Retorika Semu Demokrasi

541
×

Mewadahi Perbedaan hanya Retorika Semu Demokrasi

Sebarkan artikel ini
Maretika Handrayani, S.P (Aktivis Dakwah Islam)

TEGAS.CO., NUSANTARA – Demokrasi semakin menampakkan standar gandanya. Kebebasan berpendapat yang selalu digaungkan justru dalam penerapannya membungkam suara rakyat yang mengkritik kebijakan-kebijakan negara yang menyengsarakan. Potret anti kritik rezim demokrasi begitu kentara terlihat publik. Hasil survei Lembaga Indikator Politik Indonesia menunjukkan bahwa 79,6 % Warga Makin Takut Menyuarakan Pendapatnya. (Merdeka.com/25/10/2020).

Lahirnya UU ITE, Perpu ormas, RKUHP dalam Pasal 218 dan 219 tentang Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden adalah beberapa produk hukum anti kritik dengan alasan penegakan hukum.

Maka sebuah kesalahan fatal mengadopsi demokrasi dalam sistem berbangsa dan bernegara. Karena sistem demokrasi hanya melahirkan negara korporasi yang represif. Kekuasaan adalah alat untuk memuluskan kepentingan korporasi dan kapitalis. Rakyat diharuskan tunduk dan patuh atas setiap lahirnya kebijakan meski zalim dan menyengsarakan sekalipun. Bila ada kritik, maka kritik itu dianggap sebagai ancaman. Sistem ini jelas tidak manusiawi dan harus ditinggalkan.

Berbeda dengan sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Sistem yang berasaskan aqidah Islam, yang menjadikan kedaulatan berada pada Asy Syari’ yaitu Allah SWT. Dalam Khilafah, penguasa (Khalifah) adalah orang yang dipilih umat untuk mengurusi urusan kehidupan manusia sekaligus penjaga aqidah dan syari’ah. Seorang Khalifah juga bukan manusia suci yang terlepas dari kesalahan maupun dosa. Khilafah adalah sistem pemerintahan yang berasal dari Allah SWT akan tapi yang menjalankannya adalah manusia yang sangat berpotensi melakukan kelalaian, kekhilafan ataupun dosa. Seorang Khalifah (penguasa) bukanlah orang yang otoriter yang anti terhadap kritik dari rakyatnya. Rakyat berhak memuhasabah bahkan rakyat bisa saja memberhentikan khalifah selaku kepala negara jika dinilai melanggar hukum syariat melalui mahkamah Madzalim.

Tertulis dalam sejarah emas Kekhilafahan, pada masa Khalifah Abu Bakar r.a selaku Khalifah pertama pasca wafatnya Rasulullah telah menerima amanah Khalifah dengan berat dan takut pada Allah. Dalam pidato pertamanya pasca menerima bai’at, ia berpidato dengan sebuah pidato yang masyhur. Beliau berkata sebelum menasehati rakyatnya, ia terlebih dulu meminta nasihat rakyatnya. Padahal beliau adalah kekasih Rasulullah dan sahabat baiknya yang tentunya ketakwaannya kepada Allah dan pemahamannya terhadap wahyu bisa dikatakan terbaik dibanding rakyatnya.

Begitu pula dengan Khalifah kedua, Umar bin Khattab r.a juga memiliki banyak keutamaan, bahkan ada banyak ayat Al Qu’an yang turun karena perkataannya. Namun begitu, ia bahkan menerima kritikan seorang wanita yang disampaikan di depan umum ketika beliau menetapkan batasan mahar bagi kaum wanita. Beliau berkata, “Wanita ini benar dan Umar salah,” setelah mendengarkan argumentasi kuat si Muslimah tadi yang membacakan surat An-nisa’ ayat 20 untuk mengkritik kebijakan Umar.

Sistem politik Islam menetapkan adanya majelis umat yang beranggotakan orang-orang yang mewakili kaum Muslim dalam memberikan sebagai tempat merujuk bagi Khalifah untuk meminta masukan atau nasihat mereka dalam berbagai urusan. Mereka mewakili umat dalam melakukan muhâsabah (mengontrol dan mengoreksi) para pejabat pemerintahan (al-Hukkâm). Keberadaan majelis ini diambil dari aktivitas Rasul Saw. yang sering meminta pendapat dan bermusyawarah dengan beberapa orang dari kaum Muhajirin dan Anshar yang mewakili kaum mereka.

Terlebih bila nampak kezaliman yang dilakukan penguasa, wajib atas seluruh kaum muslim untuk menasihati dan mengkritiknya. Umm Athiyah, dari Abu Said, mengatakan bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda:

“Jihad yang paling utama adalah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim” (HR Abu Dawud no. 4344.

Sudah seharusnya kaum Muslimin bergegas menerapkan sistem Islam saja, sistem yang berasal dari wahyu dan terjamin kesahihannya, memuliakan dan mensejahterakan manusia. Bukan sistem Demokrasi yang rusak dan merusak bangunan peradaban manusia.

Penulis: Maretika Handrayani, S.P (Aktivis Dakwah Islam)
Editor: H5P