Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

Bangsa Berdaulat Tak Didikte Asing

396
×

Bangsa Berdaulat Tak Didikte Asing

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi

TEGAS.CO., NUSANTARA – Hubungan luar negeri suatu bangsa dengan bangsa yang lain memang merupakan hal yang lumrah untuk terjadi. Begitu pun Indonesia, yang menjalin hubungan luar negeri dengan negara-negara lain, baik di kawasan Asia atau luar Asia. Hal ini terbukti dari kunjungan kenegaraan Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo pada akhir Oktober lalu. Di akhir masa periode pemerintahan Trump, Pompeo mempunyai agenda kunjungan ke sejumlah negara di Asia, salah satunya Indonesia.

Dalam pertemuan Pompeo dengan Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, dibahas beberapa hal, khususnya tentang masalah kesehatan dan ekonomi yang berkaitan dengan pandemic Covid-19 yang masih terjadi. Di bidang kesehatan, kerja sama RI dengan AS berupa penyediaan 1.000 ventilator. Di bidang ekonomi, Retno dan Pompeo sepakat untuk memperkuat kerja sama terutama untuk memperkuat rantai pasokan global serta mempercepat pemulihan ekonomi. Sementara untuk investasi, Retno mendorong agar bisnis AS berinvestasi lebih banyak di Indonesia termasuk untuk proyek-proyek di pulau-pulau terluar Indonesia seperti di Pulau Natuna serta kedudukan Indonesia yang penting di Laut China Selatan.

Dilansir dari republika.co.id (29/10/20), Mengenai kerja sama pertahanan, Menteri Pertahanan RI sudah langsung mengunjungi AS bulan ini dan bertemu dengan berbagai mitra AS termasuk Menteri Pertahanan AS. Dalam pertemuan tersebut, mereka sepakat untuk meningkatkan kerja sama pertahanan.

Kerja sama itu antara lain dengan memperkuat kemampuan pertahanan dan pengadaan militer untuk mencapai Minimum Essential Force, pelatihan dan latihan, sharing intelijen, dan kerja sama keamanan maritim di kawasan.

Tak hanya berhenti sampai di sana, angin segar terkait perpanjangan GSP (Generalized System Of Preferences), yang merupakan fasilitas perdagangan berupa pembebasan tarif bea masuk yang diberikan secara unilateral oleh Pemerintah AS kepada negara-negara berkembang di dunia, pun dilontarkan oleh Menlu RI.

Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) Mahendra Siregar mengklaim, Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia yang mendapat fasilitas GSP tanpa adanya pengurangan jumlah pasca dilakukan evaluasi.

“Hal ini sangat penting bagi Indonesia, dan tentu semakin penting lagi apabila kita menyadari bahwa mayoritas dari produk yang diekspor menggunakan fasilitas GSP diproduksi oleh produsen dan eksportir UKM (Usaha Kecil dan Menengah),” tutur dia (medan.tribunnews.com, 01/11/20).

Semua kemudahan dari kerja sama memang bisa membuat negeri kita mabuk kepayang, bak anak emas yang dinomor-satukan. Namun apakah semua bantuan dibalik kerja sama bilateral ini memang demikian adanya? Ataukah hanya sebuah jeratan agar negeri ini tetap tunduk patuh pada sang adidaya?

Dikutip dari tribunnews.com (01/11/20), Ekonom Bahana Sekuritas Putera Satria Sambijantoro mengatakan, AS tidak secara khusus menargetkan Indonesia. Sebenarnya, tujuan utama AS dari kebijakan ini adalah kemungkinan adanya tarif baru ke produk China.

Pasalnya, China memang saat ini bisa dikatakan maju dalam melakukan produksi dan ekspor ke negeri Paman Sam itu, sehingga mereka menilai harus ada “lawan” main bagi China agar industri mereka tak sepenuhnya diduduki Negeri Panda.

Selain itu, Pengamat Hubungan Internasional Universitas Indonesia (UI) Suzie Sudarman menilai kunjungan Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo ke tanah air adalah dalam masa kampanye. Menurutnya lawatan Pompeo ke RI dilakukan untuk kepentingan AS tentang China.

Menurut Suzie, China memang negara yang menjadi pengamatan khusus Paman Sam. Terlebih karena AS mengutamakan agar Freedom of Navigation di Laut China Selatan tetap terjaga dan kelompok negara Quad (AS, Jepang, India, dan Australia) tetap bisa mewujudkan apa yang dikehendaki dalam menciptakan perdamaian. AS sudah beberapa kali memohon keterlibatan Indonesia. Semisal agar pesawat pengintai mereka dapat mendarat di bandara, namun belum berhasil (telaah.id, 29/10/20).

Oleh karena itu, memang tidak mudah menghadapi negara AS dan Cina, sebab Indonesia kurang memiliki kekuatan yang cukup, sehingga harus mempertahankan keseimbangan politik dengan kekuatan militer AS. Meski, keterlibatan lebih dalam bisa mengganggu politik bebas aktif yang menginginkan politik equidistant (jarak yang sama antara dua negara).

Dukungan baik berupa puja dan puji serta investasi tentu bukan hal gratis, selain memanfaatkan sifat ramah negeri ini, AS masih menginginkan hegemoni di negara-negara berkembang seperti Indonesia.

Diakui atau tidak, sudah sejak lama kedaulatan negeri ini nyaris hilang setelah dirampas oleh kekuatan modal asing yang menggurita dibalik nama investasi. Meski dari rezim ke rezim pertumbuhan ekonomi selalu diklaim naik, tapi ternyata tak mampu memberi kesejahteraan pada rakyatnya. Selain itu, di saat yang sama penguasa kian mudah didikte asing dan dijadikan sebagai alat untuk meneguhkan posisi mereka di mata negara lain.

Sehingga timbul pertanyaan besar yang harus dijawab, bagaimana caranya untuk bisa berdaulat dan lepas dari hegemoni para pemilik modal?

Memang sulit berharap kedaulatan dan kemuliaan umat terjaga sepanjang mereka bersikukuh mempertahankan sistem kapitalis neoliberalis yang hanya setia pada para pemilik investasi.

Sebagai negeri dengan mayoritas umat Islam, ada baiknya kita mencoba menerapkan sebuah sistem yang baik yang bersumber dari Al Quran dan As Sunnah. Dalam Islam, investasi yang masuk diatur sedemikian rupa sehingga negara tak terjerat jebakan hutang yang menyesengsarakan. Diantaranya dengan:

1. Investor asing tidak diperbolehkan melakukan investasi dalam bidang yang strategis atau sangat vital karena ini bisa menjadi sarana bagi para investor asing untuk menguasai kaum muslimin.
Allah Swt. berfirman: “..dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (QS. An Nisa: 141)

2. Investasi asing hanya boleh dalam hal halal dan tidak boleh dalam bidang yang haram dan berbahaya bagi negara dan akhlak kaum muslimin seperti bisnis narkotika atau illegal logging yang akan mengantarkan negara dan kaum muslimin dalam situasi yang berbahaya.

3. Investasi asing tidak diperbolehkan pada kepemilikan umum (harta rakyat). Apa saja yang termasuk harta rakyat?

Imam Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadis, Rasulullah bersabda: “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, hutan, dan api).”

Arti berserikat adalah bahwa kaum muslimin memiliki hak untuk tiga hal yaitu: air, hutan, dan api. Hutan, jelas, hal ini juga tidak diperbolehkan untuk dikuasai orang asing. Api, dalam hal ini dalam sumber energi. Sumber energi, apapun itu, tidak boleh dijual ke asing. Sumber energi adalah milik rakyat. Termasuk fasilitas negara seperti infrastruktur dan sumber air yang jika dimiliki asing, umat muslim akan terganggu.

4. Investasi dalam Islam tidak boleh mengandung riba, karena Allah SWT tidak ridha dengan aktivitas tersebut. Allah SWT berfirman, “Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.” (QS Al-Baqarah: 276)

Islam Wujudkan Negara Berdaulat

Islam sebagai sebuah landasan pemerintahan pernah tegak berdiri selama 1335 tahun lamanya dengan kedaulatan yang sempurna dan kuat. Islam tidak menutup hubungan dengan luar negeri karena politik luar negeri Islam yakni dakwah harus dilakukan oleh negara. Namun Islam Kaffah menutup pintu-pintu hegemoni asing yang mencoba bercokol di dalam tubuh negara.

Islam akan menjadi negara yang kuat karena berusaha mengelola kekayaan alam sesuai dengan prinsip kepemilikan. Semua sumber keuangan negara seperti sumber daya alam dan hasil industri akan dikelola untuk kesejahteraan rakyat. Seluruh pemasukan negara dari harta fa’I dan kharaj, pengelolaan kepemilikan umum dan harta sedekah akan dikelola oleh Baitul Mal yang akan mengeluarkan keperluan negara sesuai dengan posnya dan dengan izin seorang pemimpin, yakni Khalifah.

Khalifah perlu memiliki sikap yang cemerlang dan mampu menjadi perisai kaum muslimin sehingga negara tak mudah dicengkram asing. Kedaulatan negara baik dari segi ekonomi dan militer, bahkan pendidikan juga sistem persanksian harus dikelola oleh negara berdasarkan teladan dari Rasulullah SAW. Sehingga pujian bahkan tawaran tak mampu “membeli” kedaulatan negara.

Sikap ini pernah ditunjukkan oleh Sultan Abdul Hamid II yang menolak tawaran harta dan keamanan yang ditawarkan Theodore Herzl agar imigran Yahudi dapat diizinkan untuk menetap di Palestina. Beliau dengan mantap mengatakan, “Sesungguhnya, saya tidak sanggung melepaskan kendati hanya satu jengkal tanah Palestina. Sebab ini bukan milik pribadiku, tetapi milik rakyat. Rakyatku telah berjuang untuk memperolehnya sehingga mereka siram dengan darah mereka. Silakun Yahudi menyimpan kekayaan mereka yang miliaran itu. Bila pemerintahanku ini tercabik-cabik, saat itu baru mereka dapat menduduki Palestina dengan gratis. Adapun, jika saya masih hidup, maka (meskipun) tubuhku terpotong-potong adalah lebih ringan ketimbang Palestina terlepas dari pemerintahanku.” (republika.co.id, 7/12/17)

Oleh karena itu, sebagai generasi muslim di peradaban saat ini, mampukah umat muslim bersikap sama dan mengambil Islam sebagai landasan kehidupan? Sehingga Indonesia dapat menjadi negeri dan bangsa yang berdaulat tanpa dikte dalam bentuk intervensi dan investasi ribawi asing.
Wallahu a’lamu bish shawab.

Penulis: Dyah Pitaloka (Analis Media dan Anggota Akademi Menulis Kreatif)
Editor: H5P

error: Jangan copy kerjamu bos