Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

Berlepas Diri dari Cengkeraman Asing yang Mendominasi

474
×

Berlepas Diri dari Cengkeraman Asing yang Mendominasi

Sebarkan artikel ini
Irma Faryanti (Member Akademi Menulis Kreatif)
Irma Faryanti (Member Akademi Menulis Kreatif)

TEGAS.CO., Adalah suatu hal yang tidak biasa ketika mendapati adanya pertemuan antara Menteri luar negeri Amerika Serikat Mike Pompeo dengan Gerakan Pemuda Ansor Nahdatul Ulama di Jakarta beberapa waktu lalu. Pertemuan yang bertajuk “Nurturing The Share Civilization Aspirations of Islam Rahmatan Lil Alamin The Republic of Indonesia and The United Stated of America” tersebut digelar di Hotel Four Season. (Okezone.com 29/10/2020).

Sempat ditemui sebelum berlangsungnya pertemuan, Ketua Umum GP Ansor Yaqut Cholil mencoba menjelaskan maksud kedatangan Menlu AS. Ia menjelaskan bahwa pertemuan tersebut dimaksudkan untuk menyamakan cara pandang antara Indonesia dan AS terhadap keberadaan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Yaqut mencoba meyakinkan bahwa Islam tidak selalu identik dengan teror dan kekerasan, tapi juga penuh kasih sayang dan menghargai perbedaan agama, ras, ataupun suku bangsa. Dari pertemuan tersebut Yaqut berharap dunia akan menjadi lebih baik dan bebas dari konflik, sehingga perdamaian pun akan terwujud.

Dari apa yang disampaikannya nampak jelas bahwa Yaqut ingin menggambarkan potret Islam yang ada di Indonesia adalah Islam moderat, tentu hal ini jelas sejalan dengan gagasan yang dibawa oleh Pompeo. Keduanya berharap bahwa Islam akan melindungi dan menjadi rahmat bagi seluruh alam dengan pandangan yang sama tentang hak asasi manusia untuk bebas berkeyakinan dan menjalani hidup.

Namun nyatanya kedatangan Pompeo ini tidak semata berkunjung ke GP Ansor, karena nyatanya Menlu AS ini juga mengisi buku tamu di Gedung Pancasila Kementerian Luar Negeri dan disaksikan langsung oleh Menlu Indonesia Retno Marsudi (Galamedia News, 1 November 2020)

Pada pertemuan tersebut Retno menyampaikan undangannya pada Pompeo agar para investor Amerika Serikat bisa berinvestasi pada proyek-proyek di pulau terluar Indonesia seperti Kepulauan Natuna. Hal ini disampaikannya dalam konferensi pers Kamis 29 Oktober 2020 lalu. Pada hari yang sama Menlu Pompeo juga bertemu dengan Presiden Joko Widodo untuk membahas isu Laut China Selatan (LCS).

Beberapa waktu terakhir ini, kondisi LCS kembali memanas, setelah China mengklaim 90 persen wilayah perairan tersebut. Klaim tersebut bertentangan dengan wilayah kedaulatan sejumlah negara seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, Taiwan juga Indonesia. Dan diketahui bahwa Menlu AS Mike Pompeo telah mengobarkan perlawanan terhadap China dalam berbagai hal mulai dari perdagangan, keamanan, bahkan masalah pandemi Covid-19.

Seperti yang diketahui bersama, Kepulauan Natuna sering didatangi oleh kapal patroli Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) China. Kapal penjaga Indonesia tidak bisa berbuat banyak kecuali berusaha mengusirnya, karena pihak Beijing menyatakan bahwa wilayah tersebut termasuk ke dalam zona bebas terkait klaim sembilan garis putus putus-putus (nine dash line). Upaya yang terkesan hati-hati ini nyatanya dengan gamblang menyiratkan bahwa negeri ini seolah ingin menyelesaikan masalah tanpa memancing konflik dengan pihak Beijing.

Dari pihak China sendiri menganggap apa yang dilakukan AS tidak lebih sebagai sebuah upaya provokasi. Dubes China untuk Indonesia, Xiao Qian meminta politikus AS untuk menghentikan kebijakan keliru yang menyulut permusuhan dengan China. AS juga diminta untuk menghentikan intervensi terhadap kerjasama yang dijalin China dengan negara-negara lain. (CNN indonesia 30/10/2020)

Kedatangan Menlu AS ke Indonesia tentu bukan tanpa sebab. Ada misi dan target tersendiri yang hendak diraih. Sebagai negara pelopor dalam menganut Kapitalis, tentu politik kepentingan untuk meraih manfaat tertentu sangat dikedepankan. Kunjungan yang dilakukan bukan sekedar mempererat hubungan dua negara sahabat, melainkan ada hal penting yang dirasakan oleh AS yang bisa membahayakan kedudukan negara adidaya ini di Indonesia.

Hal membahayakan itu adalah intervensi China yang dirasa telah terlalu dalam di Kepulauan Natuna. Sebagai negara adidaya, AS tentu tidak ingin posisinya tergeser oleh negara lain. Terlebih keberadaan China sebagai negara penganut komunisme, dipastikan akan menjadi bahaya yang mengancam. AS tidak hanya memandang masalah ini sebatas perebutan wilayah kekuasaan, melainkan sudah terkait dengan persaingan kekuatan ideologi dalam menancapkan pengaruh di negeri ini.

Ada kekhawatiran AS bahwa ideologi komunis di Indonesia akan mampu menggeser pengaruh Kapitalisme dalam menguasai negeri ini. Itulah sebabnya Menlu AS menyengaja melakukan kunjungan pada salah satu ormas besar di Indonesia, dengan maksud agar lebih waspada akan ide komunis yang mengintai seraya memperkuat ide moderat dan kebebasan yang menjadi ide menonjol dalam sistem kapitalis.

Indonesia yang dikenal dengan kekayaan alam yang berlimpah, tentu menarik perhatian negara-negara lain untuk bisa masuk dan menancapkan pengaruhnya. Atas nama hubungan kerjasama dan persahabatan, kedekatan pun dijalin. Di sisi lain, bak gayung bersambut tawaran kerjasama yang dilakukan oleh negeri ini pun disambut dengan baik. Bahkan dengan ringannya para pemangku kebijakan di negeri ini berbaik hati mengobral aset negeri dengan mengatasnamakan Investasi. Tawaran pun dibuka seluas-luasnya bagi para investor, tanpa berpikir akan bahaya yang mengintai dibalik penanaman investasi ini.

Sebagai negeri muslim terbesar, tidak seharusnya Indonesia memberi keleluasaan kepada negara asing untuk masuk dan menguasai kekayaan negeri. Karena apapun yang terjalin tidak lebih karena ada kepentingan tersembunyi dibalik tindakan mereka. Seperti yang telah diketahui bersama istilah No free lunch (tidak ada makan siang gratis) begitu melekat dengan kapitalis dan menjadi semboyan khas pada saat mengambil sebuah kebijakan terkait urusan luar negeri. Untuk itu tidak sepatutnya umat Islam terlena dengan racun berbalut madu yang mereka diupayakan untuk ditawarkan. Karena berbagai kepedulian yang ditampakkan tak ubahnya sekedar pemanis untuk memuluskan sebuah kepentingan.

Terlebih keberadaan negara-negara tersebut statusnya adalah negara kafir. Allah jelas melarang untuk menjadikan mereka sebagai teman setia, dalam Al Qur’an Allah Swt. berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia” (QS. al Mumtahanah :1)

Membiarkan orang-orang kafir untuk masuk ke dalam urusan negeri kaum muslim, sama saja dengan mengorbankan kedaulatan politik negeri ini dan membiarkan urusan negara didikte oleh kekuasaan negara kafir penjajah. Pada akhirnya, negara akan kehilangan peran untuk melindungi diri dari cengkeraman dominasi asing. Padahal melindungi negeri muslim, menjaga perbatasan agar tidak dikuasai asing merupakan hal utama yang harus ditunaikan, Rasulullah saw. bersabda:

“Menjaga wilayah perbatasan satu hari di jalan Allah, lebih baik daripada dunia serta isinya.” (HR. Bukhari, no. 2892; Muslim, no. 1881).

Oleh karenanya, sudah sepatutnya negeri-negeri kaum muslim bersikap tegas dan berani mengatakan tidak pada berbagai upaya intervensi untuk menguasai negeri. Tunjukkan pada negara-negara kafir imperialis bahwa negeri kaum muslim tidak mudah didikte dan diintervensi. Karena ketegasan dalam menolak segala bentuk intervensi menjadi kunci utama agar suatu negeri terbebas dari cengkeraman dominasi asing.

Inilah yang terjadi saat umat tak lagi memiliki perisai yang bisa melindungi. Sosok penguasa panutan yang akan menjadi pengayom tentu sangat dirindukan. Untuk itu, menyegerakan tegaknya sebuah sistem kepemimpinan Islam menjadi hal mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Wallahu a’lam Bishawwab

Penulis: Irma Faryanti (Member Akademi Menulis Kreatif)
Editor: H5P

error: Jangan copy kerjamu bos