Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

Penambangan Ilegal Kembali Marak di Busel ?

254
×

Penambangan Ilegal Kembali Marak di Busel ?

Sebarkan artikel ini
Nita Karlina (Aktivis Muslimah Kendari)
Nita Karlina (Aktivis Muslimah Kendari)

TEGAS.CO., NUSANTARA – Aktivitas dugaan penambangan ilegal galian C kembali marak terjadi di Buton Selatan (Busel). Tak tanggung-tanggung, alat berat jenis ekskavator dikerahkan guna mempercepat proses penggalian material pasir. Minimnya pengawasan dari pihak terkait membuat aktivitas itu semakin mudah dilakukan. Selain itu, disinyalir kerugian daerah pastinya terjadi. (Telisik.id 13/10/2020)

Tambang galian C yang dimaksud berupa galian material timbunan yang terjadi di sepanjang Desa Lawela, Lawela Selatan dan Lingkungan La Busa. Dari tiga wilayah tersebut, tercatat tujuh titik galian. Dari ketujuh kubangan tersebut, lokasi terparah berada di Desa lawela. Pada lokasi yang diketahui milik pengusaha Kota Baubau berdarah Tionghoa tersebut, kubangan yang terjadi cukup parah. Luas lahan yang telah terolah sekitar lebih dari lima hektar. Tak ada peneguran apalagi penjagaan dari pihak kepolisian dan pemerintah setempat terhadap aktifitas tersebut. Di samping itu, para pengemudi truk pengangkut material tanah timbunan yang beriring-iringan itu juga ugal-ugalan dalam memacu kendaraannya.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Busel, La Untung, mengaku jika seluruh aktifitas penggalian dan pengerukan material tanah itu ilegal alias tak mengantongi izin resmi. Kata dia, pihaknya sudah pernah melakukan sosialisasi terkait bahaya aktifitas penambangan ilegal bersama pemerintah kecamatan, kelurahan dan desa. Berdasarkan ketentuan undang-undang 23 tahun 2009 pasal 115, lanjutnya, DLH akan mendapatkan sanksi jika membiarkan para penambang ilegal beraktifas dengan bebas. Lucunya, hingga kini belum ada tindakan atau teguran secara tertulis maupun lisan yang dilakukan pemerintah Busel terhadap para penambang ilegal yang cukup merusak lingkungan.

“Terkait dengan teguran lisan dan tertulis mungkin langsung tanyakan pada pemerintah kelurahan atau kecamatan setempat. Karena dalam pertemuan beberapa waktu lalu kami sudah sampaikan kepada mereka untuk mengambil langkah-angkah terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup kita di Busel,” kata La Untung saat dikonfirmasi di ruang kerjanya, Senin (17/02/2020, telisik.id)

Perlu diketahui, aktifitas penambangan ilegal ini terjadi di tujuh titik di sepanjang Desa Lawela, Lawela Selatan dan Lingkungan La Busa, Kecamatan Batauga. Kondisi lingkungan disitu sangat memprihatinkan. Bahkan disatu titik, setengah gunung kini telah rata dengan tanah.

Barang tambang dalam islam

Menurut aturan Islam, kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum. Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara. Hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta apalagi asing.

Di antara pedoman dalam pengelolaan kepemilikan umum antara lain merujuk pada sabda Rasulullah saw.:

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ

Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api (HR Ibnu Majah).

Rasul saw. juga bersabda:

ثَلَاثٌ لَا يُمْنَعْنَ الْمَاءُ وَالْكَلَأُ وَالنَّارُ

Tiga hal yang tak boleh dimonopoli: air, rumput dan api (HR Ibnu Majah).

Terkait kepemilikan umum, Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan hadis dari penuturan Abyadh bin Hammal. Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul saw. lalu meluluskan permintaan itu. Namun, beliau segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).” Rasul saw. kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut dari dia.” (HR at-Tirmidzi).

Mau al-iddu adalah air yang jumlahnya berlimpah sehingga mengalir terus-menerus. Hadis tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir. Semula Rasullah saw. memberikan tambang garam kepada Abyadh. Ini menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam (atau tambang yang lain) kepada seseorang. Namun, ketika kemudian Rasul saw. mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar—digambarkan bagaikan air yang terus mengalir—maka beliau mencabut kembali pemberian itu. Dengan kandungannya yang sangat besar itu, tambang tersebut dikategorikan sebagai milik bersama (milik umum).

Berdasarkan hadis ini, semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu, termasuk swasta dan asing. Tentu yang menjadi fokus dalam hadis tersebut bukan “garam”, melainkan tambangnya. Dalam konteks ini, Al-Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengutip ungkapan Abu Ubaid yang mengatakan, “Ketika Nabi saw. mengetahui bahwa tambang tersebut (laksana) air yang mengalir, yang mana air tersebut merupakan benda yang tidak pernah habis, seperti mataair dan air bor, maka beliau mencabut kembali pemberian beliau. Ini karena sunnah Rasulullah saw. dalam masalah padang, api dan air menyatakan bahwa semua manusia bersekutu dalam masalah tersebut. Karena itu beliau melarang siapapun untuk memilikinya, sementara yang lain terhalang.”

Menurut aturan Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar baik garam maupun selain garam seperti batubara, emas, perak, besi, tembaga, timah, minyak bumi, gas dan sebagainya semuanya adalah tambang yang terkategori milik umum sebagaimana tercakup dalam pengertian hadis di atas.

Karena itulah Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Al-Mughni, sebagaimana dikutip Al-Assal & Karim (1999: 72-73), mengatakan, “Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya seperti garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), minyak bumi, intan dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum Muslim sebab hal itu akan merugikan mereka.”

Sekulerisme telah menjadikan kekayaan alam menjadi milik pribadi atau penguasa. Yang di mana seharusnya itu adalah milik bersama (umat). Sistem kapitalis sekuler telah membuka mata di hadapan semua bahwa tidak ada satupun SDA yang dioptimalkan untuk kepentingan rakyat. Bahkan termasuk pembuangan limbahnya dan dampak bagi lingkungan sekitar.

Sekulerisme juga telah menjadikan para penganutnya jauh dari agama, sehingga apa yang mereka kerjakan tidak lagi melihat apakah ini boleh dalam syariat atau tidak. Halal dan haram tidak lagi meraka pertimbangkan. Mereka hanya menjadikan manfaat sebagai tolak ukur perbuatan mereka. Jika dalam aktifitas itu terdapat manfaat, maka mereka akan mengerjakannya. Sebaliknya, jika tidak ada manfaat di dalamnya, maka mereka tidak akan mengerjakan aktifitas tersebut.

Dalam Islam, sekularisme tidak dapat diterima karena bertentangan dengan ajaran Islam. Karena menurut pandangan Islam apabila sebuah urusan dipisahkan dari nilai-nilai keagamaan maka urusan itu akan bertabrakan dengan nilai-nilai yang terdapat pada urusan yang lain. Misal kekuasaan yang tidak dilandasi dengan nilai-nilai agama, maka akan terjadi kezaliman yang seharusnya dilakukan sebagai seorang pemimpin untuk menjunjung sebuah keadilan, hukum tidak berjalan sesuai dengan kaidah agama, timbul kerusuhan sosial, ekonomi terganggu, dan seterusnya.

Untuk itu mari kita bersegera menjalankan semua ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya, dengan cara melaksanakan dan menerapkan seluruh syariah Islam. Penerapan seluruh syariah Islam tentu membutuhkan peran negara. Pasalnya, banyak ketentuan syariah Islam berurusan langsung dengan hajat hidup orang banyak, seperti pengelolaan sumber daya alam. Tanpa peran negara yang menerapkan syariah Islam, rakyat secara umumlah yang dirugikan, sebagaimana terjadi saat ini. Wallahualam bishowwab.

Penulis: Nita Karlina (Aktivis Muslimah Kendari)
Editor: H5P

error: Jangan copy kerjamu bos