Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

Geliat UU Omnibuslaw di Proyek Strategi IKN

428
×

Geliat UU Omnibuslaw di Proyek Strategi IKN

Sebarkan artikel ini
Siti Subaidah
Siti Subaidah

TEGAS.CO., NUSANTARA – Isu IKN baru di Kalimantan Timur memang selalu menarik untuk diikuti. Perkembangan terkait infrastruktur penunjang IKN ini selalu menjadi sorotan, tak terkecuali Jembatan Pulau Balang. Jembatan penghubung antara kota Balikpapan dengan Penajam Paser Utara (PPU) itu digadang-gadang akan rampung dan dapat dinikmati warga di tahun 2023. Namun terkait kepastiannya sejumlah pihak pun meragukan.

Diketahui Jembatan Pulau Balang memiliki lebar 22,4 meter. Terdiri dari empat lajur dua arah. Lebar masing-masing lajur 3,5 meter. Ditambah jalur pejalan kaki dengan lebar 2,5 meter. Proyek jembatan sepanjang 1,750 Km itu, telah dikerjakan sejak 2016.

Jembatan Pulau Balang akan menjadi salah satu akses strategis wilayah ibu kota negara baru di Kabupaten Penajam Paser Utara dengan daerah di sekitarnya. Keberadaan jembatan itu akan melengkapi konektivitas di jalur lintas selatan Kalimantan yang menghubungkan jalan tol dan jalan nasional.

Selama ini jalur trans Kalimantan lintas selatan masih terputus di Teluk Balikpapan. Kelak, jika jembatan ini sudah selesai dibangun dapat mempercepat akses masyarakat Kalimantan Timur ke Kalimantan Selatan. Selain sebagai penghubung jaringan jalan poros selatan Kalimantan, jembatan Pulau Balang dapat menyokong rencana pembangunan pelabuhan peti kemas Kariangau dan kawasan industri Kariangau. Saat ini hampir 90 persen telah rampung namun terkendala di bagian sisi kota Balikpapan terkait pembebasan lahan. (Disway kaltim)

Proyek Strategis IKN dan Implementasi Omnibuslaw

Pembebasan lahan di sisi Balikpapan yang belum selesai tentu menjadi penghalang terbesar dalam proses pembangunan Jembatan Pulau Balang. Apalagi target pun telah ditentukan yakni Februari 2021 sudah terealisir 100 persen untuk jembatan utama dan penghubung sisi Balikpapan. Hanya tinggal akses jalan menuju jembatan yang bersinggungan dengan lahan warga. Sekalipun telah ada alokasi dana khusus terkait pembebasan lahan sebanyak 90 Miliar namun nyatanya hal ini tidak memberikan kepastian mulusnya proses pembebasan lahan warga.

Masalah pembebasan lahan merupakan masalah klasik di setiap program pembangunan pemerintah. Selalu berujung pada konflik agraria antara pemerintah atau perusahaan dan pemilik lahan (masyarakat). Tidak hanya karena uang ganti rugi yang tidak sesuai, namun terkadang masalah administratif tumpang tindih kepemilikan lahan ataupun warga yang memang tidak mau melepas hak kepemilikan tanahnya.

Sepanjang tahun 2019 saja tercatat sebanyak 346 konflik agraria di Kaltim baik itu karena adanya pembangunan proyek pemerintah maupun bersinggungan dengan kepentingan perusahaan. Hal ini menunjukkan buruknya negosiasi maupun pendekatan yang dilakukan pihak terkait dengan masyarakat. Namun dengan jelas dapat dipastikan pihak masyarakat lah yang selalu menjadi pihak yang dirugikan. Bahkan tak jarang hingga menimbulkan korban jiwa.

Tak mau jadi pihak yang terus menerus disalahkan dan dikatakan menzalimi rakyat. Pemerintah dengan cekatan memasukkan beberapa regulasi yang selama ini kontroversi terkait pengadaan tanah dalam undang-undang yang baru saja di sahkan yakni UU Omnibuslaw Cipta Kerja. Dalam pasal pengadaan tanah untuk pembangunan dan kepentingan umum, empat poin yang termasuk kepentingan umum dalam pasal tersebut ialah untuk kepentingan kawasan industri minyak dan gas, kawasan ekonomi khusus, kawasan industri, pariwisata, kawasan yang dikuasai oleh pemerintah pusat , pemerintah daerah, BUMN dan BUMD. (nasional.kompas, 12/8/2020).

Setelah resmi menjadi undang-undang, maka bukan tidak mungkin pasal ini menjadi pukulan telak bagi masyarakat yang menutup pintu negosiasi atau tidak mau memberikan hak kepemilikan tanahnya kepada pemerintah maupun pengusaha. Berhadapan dengan hukum dan sanksi pidana kelak sudah pasti akan di alami oleh masyarakat.
Implementasi pasal pengadaan tanah akan berlaku bagi setiap kasus yang berkaitan dengan keempat poin diatas, tidak terkecuali dalam proyek pembangunan Jembatan Pulau Balang. Apalagi ini proyek strategis nasional yang dibiayai langsung oleh APBN. Lagi-lagi masyarakat yang dirugikan jika tidak ada titik negosiasi yang tepat antara kedua belah pihak.

Demokrasi Lahirkan Regulasi Jahat

UU Omnibuslaw Cipta Kerja telah banyak di ketahui sangat merugikan masyarakat dan menguntungkan pengusaha. Beberapa pakar hukum dan ekonomi tidak henti-hentinya mengungkap sisi buruk undang-undang ini. Namun mengapa regulasi yang jelas-jelas merugikan masyarakat bisa lolos dan mendapat restu menjadi UU oleh pemerintah? Bukankah asas demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat? Lalu dimana kepentingan rakyat?

“Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” sudah jamak diketahui merupakan asas demokrasi namun realisasi di lapangan tak semudah pengucapannya. Bahkan bisa dibilang hanya lips service semata, manis didengar. Mereka lupa, demokrasi menjadikan kedaulatan atau pembuat hukum berada ditangan manusia. Dalam sistem pemerintahan saat ini berada di tangan legislatif.

Mereka pun lupa politik demokrasi adalah politik kepentingan, alias politik transaksional. Dimana calon penguasa butuh dana pengusaha untuk bisa maju sedangkan pengusaha butuh legitimasi kebijakan penguasa untuk kepentingan usahanya. Maka demokrasi hanyalah wadah kelanggengan kepentingan mutualisme antara penguasa dan pengusaha. Kepentingan rakyat tak akan diperhatikan bahkan cenderung diabaikan.

UU Omnibuslaw Cipta Kerja hanyalah satu dari sekian banyak regulasi jahat yang lahir dari rahim demokrasi. Tidak perlu gambar gembor membela, cukup membuka mata dan berpikir manusiawi untuk merasakan kedzoliman demokrasi. Rakyat akan selalu menjadi pihak korban dari keserakahan kepentingan. Maka merupakan kesalahan besar jika saat ini rakyat masih percaya bahkan bergantung dengan demokrasi untuk perbaikan hidup.

Sejatinya masyarakat harus sadar akan tipu daya demokrasi. Mencampakkan demokrasi adalah satu-satunya jalan keluar dari kemelut masalah yang tak berkesudahan yang terjadi di tengah masyarakat. Sistem demokrasi tak ubahnya sistem rusak yang harus diganti oleh sistem lain. Ialah sistem Islam, yang meletakkan kedaulatan atau sumber hukum dari Allah SWT yakni syariat Islam. Prioritas utama adalah kemaslahatan umat maka tidak akan ada hukum yang isinya mendzolimi hak umat. Justru keadilan dan kesejahteraan hakiki akan dapat dirasakan tidak seperti demokrasi yang hanya pepesan kosong. Wallahu alam bishawab

Penulis: Siti Subaidah
Editor: H5P

Terima kasih