Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

Ilusi Pelarangan Minol melalui Legislasi Demokrasi

464
×

Ilusi Pelarangan Minol melalui Legislasi Demokrasi

Sebarkan artikel ini
Marlina, S.Farm., Apt.
Marlina, S.Farm., Apt.

TEGAS.CO., NUSANTARA – Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Gomar Gultom angkat sura berkaitan dengan wacana pembahasan Rancangan Undang-Undang Larangan minuman Beralkohol (RUU Minol) yang tengah di godok di DPR. Pendekatan UU ini menurut Gultom sangat infantil alias segala sesuatu dilarang. Padahal, kata Gultom, negara lain seperti Uni Emirat Arab mulai membebaskan minuman beralkohol untuk dikonsumsi dan beredar luas di masyarakat. Sebaliknya, Indonesia malah melarang hal yang mulai dibebaskan oleh negara lain (cnnindonesia.com, 13 November 2020).

Ketua kelompok Fraksi Golkar di Baleg, Firman Soebagyo, mengatakan RUU Larangan Minuman Beralkohol ini telah dibahas d DPR pada periode 2014 hingga 2019. Namun, pembahasannya kembali mandek karena adanya perbedaan pendapat antara pengusung RUU, yang ingin melarang minuman beralkohol, dan Pemerintah yang menginginkan konsumsi alkohol tak dilarang tapi diatur.

Anggota Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupaka salah partai yang mengusungkan RUU Larangan Minuman Beralkohol, Illiza Sa’aduddin Djamah, berpendapat aturan itu penting demi menjaga ketertiban. Beliau menuturkan bahwa ingin melindungi masyarakat dari dampak negatif minuman keras tersebut, jadi biar lebih tertib dan ada ketenteraman.

Namun pengusung RUU ini dari PPP, Illiza Sa’aduddin Djamah, tak sepakat jika masalah ekonomi dipersoalkan, “kita harus berpikir keras hal apa yang bisa meningkatkan perekonomian kita. Ternyata juga tak begitu signifikan pendapat yaang kita dapatkan (dari minuman beralkohol) dibanding dengan persoalan yang kita dapatkan dari minuman keras ini”. Meskipun begitu, Ia juga mengatakan akan ada konsumsi alkohol yang dikecualikan dari UU ini, seperti untuk wisatawan, ritual agama, dan acara adat.

Alasan Para Pengusung
Pertimbangan para pengusung Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol yaitu pertama, bahwa setiap negara berhak mendapatkan lingkungan kehidupan yang baik dan sehat. Kedua, pernyataan pengusung demokrasi akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Ketiga, kepastian hukum aturan yang ada tumpang tindih, fungsi pengawasan dan pembinaan. Keempat, Pasal 3 RUU Larangan Minol tentang ketertiban dan ketenteraman akan melindungi masyarakat dari dampak negatif minuman keras tersebut. Kelima, Implisit, pelaksanaan aturan Islam merupakan janji partai politik pengusung pada konstituennya.

Hukum yang dikenakan kepada yang bersangkutan baik sebagai produsen, dialer, peminum dan yang mengancam yaitu produsen (penjara 2-10 tahun atau denda 200 juta sampai 1 M, bila disebabkan kematian pidana pokok ditambah 1/3 hukuman), dialer atau yang menjual atau yang menyimpan (penjara 2-10 tahun atau denda 200 juta sampai 1 M), peminum (penjara 3 bulan-2 tahun atau denda 10-50 juta), serta peminum yang mengganggu dan mengancam (penjara 5 tahun atau denda 25 sampai 100 juta, bila disebabkan kematian pidana pokok tambah 1/3 hukuman).

Keinginan untuk menerapkan aturan yang berbasis Syari’ah Islam sudah tercium sehingga pihak-pihak tertentu yang tidak menginginkan diterapkannya syari’ah Islam memunculkan kontroversi.

Menurut sebagian partai yang menolak RUU Larangan minuman Beralkohol ini dapat menambah kriminalitas. Seperti memicu produksi ilegal, membunuh pariwisata, mengurangi pendapat negara atau daerah, menambah pengangguran, dan menambah beban APBN.

Ilusi Penerapan Syariat Islam Dalam Demokrasi
Partai Politik Islam yang berusaha berjuang dalam demokrasi selalu berujung pada kegagalan karena dalam dunia demokrasi harus tunduk pada aturan demokrasi. Standar pemikiran para pengusung demokrasi yaitu pihak kontra akan selalu mencari pembenaran untuk lemahkan tuntutan. Para pengusung demokrasi-sekularisme, Islam tak boleh eksis. Alasannya menjaga keberagaman dan kearifan lokal. Demokrasi mengutamakan kapitalistik. Bisnis nomor satu. Sungguh mustahil melahirkan aturan berdasarkan Syari’at Islam melalui proses legislasi demokrasi karena pasti dianggap menyalahi prinsip demokrasi.

Standar peraturan demokrasi yaitu agama boleh ada tetapi negara tidak boleh didominasi oleh satu agama. Dalam demokrasi tidak boleh membawa argumentasi dan simbol agama dalam mengatur pemerintah. Perbaikan atau perubahan dalam demokrasi dibatasi hanya jika dalam kerangka demokrasi. Dalam dunia demokrasi wajib sepakat standar sikap dengan berdasar pada perundangan.

Demokrasi merupakan sistem kufur, rusak dan merusak karena bukan jalan yang dicontohkan oleh RASULULLAH SAW, memiliki bahaya ideologis, menimbulkan suasana konflik, memperkuat intervensi asing, dan menjauhkan umat dari perjuangan yang benar.

Padahal khamr haram tanpa alasan. Allah telah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (TQS Al-Maidah : 90).

Kemudian diperkuat dengan salah satu hadits, “Allah melaknat khamr, orang yang meminumnya, penjualnya, pembelinya, orang memerasnya, orang yang mengambil hasil perasannya, orang yang mengantarnya, dan orang yang meminta diantarkan”. (HR. Abu Dawud no. 3674 dan Ibnu majah No. 3386).

Larangan berlaku mutlak, bukan karena alasan kesehatan, keamanan, apalagi untuk menjaga pertumbuhan ekonomi. Wallahu’alam bishowab.

Penulis: Marlina, S.Farm., Apt.
Editor: H5P

Terima kasih

error: Jangan copy kerjamu bos