Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

Imperialisme dalam Kesepakatan RI-Amerika

409
×

Imperialisme dalam Kesepakatan RI-Amerika

Sebarkan artikel ini
Rayani Umma Aqila
Rayani Umma Aqila

TEGAS.CO., NUSANTARA – Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat (AS), Mike Pompeo berkunjung ke Indonesia. Kunjungan Pompeo datang setelah AS melakukan pendekatan tingkat tinggi kepada Retno Marsudi dan menteri pertahanan Indonesia Prabowo Subianto pada akhir Juli dan awal Agustus untuk memberikan hak pendaratan dan pengisian bahan bakar untuk pesawat pengintai P-8 yang memantau aktivitas militer China.
Kunjungan ini datang di tengah meningkatnya ketegangan antara AS-China, terutama di Laut Cina Selatan, yang diklaim China sebagai hampir seluruhnya wilayahnya sendiri. Sebelumnya diberitakan, Pompeo mengatakan kepada wartawan di Washington bahwa ia berharap akan bertemu dengan Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi dan Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi).

Dalam kunjungannya tersebut Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi menawarkan untuk mengundang investor Amerika Serikat (AS) untuk investasi di Kepulauan Natuna. Pernyataan tersebut disampaikannya kepada Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo pada saat berkunjung ke Indonesia. “Saya mendorong pebisnis AS untuk berinvestasi lebih banyak di Indonesia, termasuk untuk proyek-proyek di pulau terluar Indonesia, seperti Pulau Natuna,” ujarnya dalam konferensi pers, Kamis 29 Oktober 2020 lalu. (Galamedianews, 1/11/2020).

Menanggapi hal itu Duta Besar China Xiao Qian menyebut kedatangan Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo ke Indonesia memprovokasi hubungan bilateral China-Indonesia. Xiao Qian menentang keras tindakan Menlu AS tersebut, menurutnya, pernyataan keliru Pompeo juga justru semakin menunjukkan intensi buruk AS, disamping telah mengganggu perdamaian dan stabilitas kawasan. (CNN Indonesia, 30/10/2020).

Disamping itu Menteri Luar Negeri (Menlu) Amerika Serikat (AS) Mike Pompeo juga berencana bakal menggelar pertemuan dengan Gerakan Pemuda (GP) Ansor Nahdlatul Ulama (NU) di Jakarta, Kamis (29/10/2020) siang ini. Beberapa pihak menilai kunjungan ini tak mesti dipandang dengan kunjungan biasa. Kemungkinan besar ini terkait dengan kekhawatiran AS terhadap Indonesia yang dianggap terlalu dekat dengan China dan hubungan kerjasamanya yang bertajuk OBOR (one belt one road).

Sebuah opini baru-baru ini di The Diplomat oleh dua pengamat dari wadah pemikir di Washington, DC meninjau hubungan Amerika-Indonesia dan meramalkan “memperdalam kemitraan strategis Amerika-Indonesia.” Secara khusus, ini menunjukkan bahwa Indonesia akan membantu Amerika Serikat mempertahankan dominasi militer regionalnya melawan China sebagai imbalan atas dukungan AS untuk membela dan pemerintahan Trump terus berupaya untuk menarik Indonesia ke dalam kondisi yang secara de facto “membatasi koalisi China.”

Apalagi belakangan ini China sangat agresif di Laut China Selatan. Makna politik di balik kunjungan Menlu AS ke Indonesia pun, dinilai tujuan utama strategi AS di Asia adalah untuk memenangkan “persaingan kekuatan besar” melawan China. Dan Indonesia sendiri dalam hal ini tentu “tidak bersekutu.” karena memang, negara ini adalah salah satu negara anggota gerakan non-blok, kelompok yang sekarang berjumlah 120 negara, yang tidak secara formal menyesuaikan diri dengan, atau melawan, blok kekuatan utama. Ketidakberpihakan masih memainkan peran mendasar dalam kebijakan luar negeri Indonesia.

Posisi demikian tak sesungguhnya memiliki kekuatan dan kedaulatan berarti, mengingat Indonesia hanya sebagai negara yang belum bisa menentukan kebijakan dalam negerinya secara penuh, dan masih dibawah kendali Adidaya Amerika yang menerapkan Kapitalisme-imperialisme pada negara-negara lemah seperti Indonesia. Adapun Indonesia hanya mampu berada dalam perebutan negara-negara besar seperti Amerika dan China demi kepentingan mereka. Dan kunjungan Menlu AS mendesakkan kepentingannya atas Indonesia, menegaskan makin lemahnya kedaulatan politik negeri, sehingga kebijakannya didikte AS.

Dan bagaimana Khilafah dalam Islam sebagai Adidaya menutup celah dikte asing atas kebijakan politik. juga melindungi ancaman perpecahan umat menggambarkan konsep Islam menutup semua pintu dominasi asing terhadap negara dan umat Islam. Imperialisme kapitalisme hanya akan sirna bila syari’at Islam diterapkan secara menyeluruh di muka bumi ini. Karena syari’at Islam melarang pembiaran asing berkuasa atas kaum mukminin. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt. ; “Dan Allah sekali kali tidak memberikan jalan pada orang kafir untuk menguasai orang beriman.” (TQS An Nisa:141)
Sebagai konsekuensi dari firman Allah diatas, negara harusnya tidak membuka celah untung asing menginjak kedaulatan dengan berbagai program bathil.

Sayangnya hal ini tidak bisa diharapkan dari negara pengadopsi kapitalis sekuler seperti saat ini. Hal berbeda akan dilakukan negara Islam (khilafah). Aturan syara yang diterapkannya membuat negara tidak akan membiarkan celah bagi asing terbuka bebas dan lebar, hingga akan memberi jalan kekuatan asing untuk menguasai kaum muslim.
Semua itu menjadi bukti, bahwa hanya khilafahlah satu-satunya sistem yang mampu menjadikan sebuah bangsa sejahtera, mandiri, mulia dan tangguh, lepas dari daulat ataupun dikte asing. Itulah sebabnya, negara khilafah tetap bisa menjaga kemurnian ideologi dan peradabannya dari berbagai invasi yang datang dari luar. Tidak saja sejahtera tapi ketinggian peradaban Islam akan kembali menjulang. Untuk itu sudah saatnya umat kembali kepada Khilafah dan sistem Islam serta mencampakkan sistem kapitalisme-liberal yang sudah nyata membawa kehancuran dalam segala lini kehidupan.

Wallahu a’lam bi ash-shawab

Penulis: Rayani Umma Aqila
Editor: H5P

Terima kasih

error: Jangan copy kerjamu bos