Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

Perlindungan Islam Terhadap Kaum Perempuan

526
×

Perlindungan Islam Terhadap Kaum Perempuan

Sebarkan artikel ini
Hera (Ibu Rumah Tangga)
Hera (Ibu Rumah Tangga)

TEGAS.CO., NUSANTARA – Di awal tahun 2021, kita dikejutkan dengan mencuatnya isu jilbab yang terjadi di SMKN 2 Padang, Sumatra Barat. Isu ini mengalahkan korupsi triliunan dana Bansos, korupsi dana BPJS Ketenagakerjaan senilai Rp 43 triliun, Banjir Kalsel akibat penggundulan hutan secara semena-mena dan kegagalan penanganan kasus Covid-19 yang sudah menembus 1 juta kasus.

Isu “Jilbab Padang” ini mencuat ketika viral di media sosial (Detik.com, 23/1/2021), video argumen antara orang tua Jeni yaitu siswi non-Muslim di sekolah tersebut dan pihak sekolah tentang penggunaan kerudung atau jilbab.

Menurut Kepala Dinas Pendidikan Kota Padang, Habibul Fuadi, sekolah di Kota Padang memiliki aturan berpakaian Muslim bagi murid yang beragama Islam sedangkan siswi non-Muslim harus sopan sesuai dengan norma sopan santun jika tidak menggunakan jilbab. Aturan wajib jilbab ini terus dipertahankan karena memiliki nilai positif.

Hal senada juga disampaikan oleh Kepala SMKN 2 Padang Rusmadi bahwa pihak sekolah tidak pernah memaksakan bagi non-Muslim untuk berseragam sebagaimana murid-murid yang beragama Islam. Hal ini diungkapkan oleh seorang siswi non-Muslim di SMKN 2 Padang, EAZ (17) yang merasa tidak ada unsur paksaan serta tidak keberatan menggunakan jilbab ke sekolah (Kompas.com, 25/1/2021).

Terkait dengan kasus ini, eks Walikota Padang Fauzi Bahar mengatakan bahwa aturan memakai jilbab bagi Muslimah bukanlah hal yang baru dan sudah berlangsung selama 15 tahun yang lalu karena bertujuan untuk melindungi kaum perempuan.

Dari fakta di atas menunjukkan bahwa isu “Jilbab Padang” hanyalah politisasi yang lagi-lagi bertujuan untuk memojokkan Islam dan kaum Muslim. Terlihat bahwa ini adalah kasus kecil yang dibesar-besarkan oleh sejumlah pihak baik para pejabat negara maupun para pembenci Islam. Penyakit Islamophobia telah menjangkiti bangsa ini, bagaimana tidak ketika “korban” nya non-Muslim, mereka berteriak intoleransi kepada kaum Muslim. Tapi ketika kaum Muslim yang jadi korban tindakan intoleransi, mereka diam. Salah satu contoh di Bali, kaum Muslim sering mengalami diskriminasi diantaranya masalah jilbab. Sekitar tahun 2014, pernah mencuat kasus pelarangan jilbab di SMAN 2 Denpasar dan ternyata larangan ini hampir di seluruh sekolah di Bali (Republika.com, 21/2/2014).

Sangat disayangkan komentar Mendikbud Nadiem, yang menyatakan secara lantang bahwa kasus “Jilbab Padang” sebagai bentuk intoleransi, melanggar UU, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Padahal sejatinya, banyak kasus di dunia pendidikan saat ini yang masih belum terselesaikan. Seperti kasus seks bebas di kalangan remaja, termasuk pelajar yang dalam sebuah riset tahun lalu ada sebanyak 33% remaja (termasuk pelajar) telah melakukan hubungan seks pranikah (Liputan6.com, 19/7/2019). Ditambah lagi problem pendidikan daring selama masa Covid-19 ini, yang membutuhkan solusi dan terobosan. Bagaimana pandangan Islam terkait masalah ini?

Islam telah mewajibkan bagi lelaki Muslim maupun wanita Muslimah yang telah dewasa untuk menutup aurat. Sebagaimana disebutkan di dalam al-Quran di antaranya QS al-A’raf [7]:26. Menurut pendapat Imam asy-Syaukani dan jumhur ulama, ayat ini merupakan dalil atas kewajiban menutup aurat dalam setiap keadaan ( (Asy-Syaukani, Fath al-qadir, 2/200).

Di dalam as-Sunnah juga terdapat sejumlah hadis yang menunjukkan kewajiban menutup aurat baik atas laki-laki maupun perempuan. Khusus terkait Muslimah, Rasulullah saw., antara lain, bersabda:
Sungguh seorang anak perempuan, jika telah haid (balig), tidak boleh terlihat dari dirinya kecuali wajah dan kedua tangannya hingga pergelangan tangan (HR Abu Dawud)

Jadi wanita Muslimah ketika keluar rumah wajib menutup aurat dengan mengenakan kerudung dan jilbab. Kata khumur yang ada dalam ayat diatas merupakan bentuk jamak (plural) dari kata khimar yang artinya apa saja yang dapat menutupi kepala. Sedangkan jilbab adalah busana yang wajib dipakai dalam kehidupan umum oleh seorang Muslimah, seperti di jalan, di pasar, di kampus dan tempat-tempat umum lainnya. Adapun dalam kehidupan khusus, seperti di dalam rumah, seorang Muslimah hanya wajib menutup aurat kecuali kepada suami atau para mahram-nya ( lihat QS an-Nur (24]:31).

Bagi non-Muslim yang hidup sebagai warga negara Khilafah (ahludz dzimmah) dibiarkan memeluk aqidah dan menjalankan ibadahnya masing-masing. Untuk makanan, minuman dan pakaian diperlakukan sesuai dengan agama mereka, dalam batas yang diperbolehkan oleh syariah.

Ada dua batasan syariah bagi non-Muslim di dalam Islam. Pertama: Batasan pakaian menurut agama mereka adalah pakaian agamawan dan agamawati mereka, yaitu pakaian rahib dan pendeta serta pakaian rahib perempuan. Laki-laki dan perempuan non-Muslim ini boleh mengenakan pakaian ini. Kedua: Batasan yang ditetapkan oleh syariah, yaitu hukum-hukum kehidupan umum yang mencakup seluruh rakyat, baik Muslim maupun non-Muslim, untuk laki-laki dan perempuan.

Jadi pada dasarnya pakaian mereka dalam kehidupan umum adalah sama dengan perempuan Muslim kecuali pakaian sesuai agama mereka. Ketentuan pakaian dalam kehidupan umum ini berlaku atas seluruh individu rakyat baik Muslim maupun non-Muslim. Jadi mereka wajib menutup aurat, tidak ber-tabarruj dan wajib mengenakan jilbab dan kerudung sesuai dengan syariah Allah Swt.

Fakta sejarah telah mencatat bahwa sepanjang masa Khilafah, para wanita baik Muslimah maupun non-Muslimah mengenakan jilbab. Sebagian kampung yang di situ ada Muslimah dan non-Muslimah, pakaian mereka tidak bisa dibedakan. Inilah hal yang bisa menunjukkan bahwa pakaian perempuan Muslim maupun non-Muslim dalam kehidupan umum diatur sesuai syariah.
Wawllah a’lam bi ash-shawwab.

Penulis: Hera (Ibu Rumah Tangga)
Editor: H5P

Terima kasih

error: Jangan copy kerjamu bos