Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

Menggugat Narasi Feminis tentang Kepemimpinan Perempuan

897
×

Menggugat Narasi Feminis tentang Kepemimpinan Perempuan

Sebarkan artikel ini
Novianti Noor (Pemerhati Masalah Umat)
Novianti Noor (Pemerhati Masalah Umat)

TEGAS.CO., NUSANTARA – Setiap tanggal 8 Maret ditetapkan oleh PBB sebagai Hari Perempuan Internasional. Dan tema tahun ini adalah #ChooseToChallenge, yang merayakan upaya luar biasa kaum perempuan dalam memperjuangkan masa depan yang lebih setara. Dengan keberanian untuk menantang bias dan ketidaksetaraan gender di berbagai bidang. Momentum ini biasanya digunakan kalangan penggiat kesetaraan gender untuk mengevaluasi capaian perjuangan gender.

#ChooseToChallenge itu sendiri artinya kita boleh dan berhak untuk menantang semua bentuk ketidaksetaraan gender yang saat ini masih terjadi. Dan kata choose atau memilih di sini diartikan sebagai pilihan perempuan untuk mendukung perempuan lain atau tidak. Kampanye ini juga untuk mendobrak pola yang diciptakan oleh stereotip dan bias gender, untuk menegaskan peran perempuan yang setara dalam peran kepemimpinan di berbagai bidang.

Di masyarakat, peran perempuan saat pandemi semakin berpengaruh baik di dalam maupun di luar rumah. Menteri pemberdayaan perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengungkapkan bahwa perempuan khususnya perempuan pelaku usaha yang mayoritas berasal dari UMKM, memiliki peran dan potensi sangat besar dalam menopang ekonomi bangsa, terutama saat menghadapi pandemi.

(https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/3051/menteri-bintang-perempuan-pelaku-usaha-penopang-ekonomi-bangsa-di-masa-pandemi)

Sesat Pikir Kesetaraan Gender

Padahal sejatinya, Hari Perempuan Internasional adalah peringatan penderitaan dan kesedihan nasib perempuan dalam kehidupan sistem demokrasi liberal. Ini terbukti dalam catatan tahunan (Catahu) 2021 yang dikeluarkan Komnas Perempuan yang berisi laporan angka kekerasan terhadap perempuan (KTP), pelecehan seksual, upah rendah, tingkat pendidikan dan kesehatan yang rendah, perkawinan anak, dan lain-lain.

Faktanya, gagasan kesetaraan gender dan kepemimpinan perempuan tidak menghasilkan yang lebih baik bagi mereka. Sebaliknya, perempuan menjadi sengsara dengan meninggalkan peran sunatullah mereka, disibukkan dengan bekerja dan pencapaian prestise agar tidak disepelekan laki-laki. Sehingga gagasan  kepemimpinan perempuan  melalui #ChooseToChallenge adalah narasi absurd dan menyesatkan arah pemikiran perempuan.

Pandemi hari ini menimpa semua pihak. Bukan hanya perempuan, sehingga semua berperan mengatasinya. Menganggap pandemi penyebab bertambahnya beban perempuan berpangkal dari paradigma pemikiran gender itu sendiri. Ide kesetaraan gender menitikberatkan pada kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam segala aspek sesungguhnya telah mengobrak-abrik tatanan kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat.

Akibat tuntutan kesetaraan, fitrah yang mestinya menjadi jati diri perempuan tergerus pemikiran sekuler-liberal. Kaum gender menuntut kesetaraan pekerjaan, dibukalah peluang perempuan berkarier dan bekerja sesuai keinginan mereka.

Kaum gender juga menuntut kesetaraan dalam tugas domestik.

Terjadilah ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Perempuan mulai meninggalkan tugas utama mereka sebagai ibu dan pengatur rumah bagi suaminya. Kepemimpinan suami terhadap istri dianggap tak memiliki nilai mutlak.

Bagai racun dibungkus madu. Berbagai tipu daya feminisme untuk mengangkat ego kepemimpinan perempuan, seakan mampu menyelesaikan semua masalah. Padahal ketika perempuan sibuk dengan urusan publik, perempuan jadi lalai bagaimana perannya berdasarkan syariat dan mengambil ide kesetaraan gender berbalut Islam.

Akar problem masalah perempuan sesungguhnya adalah penerapan sistem demokrasi kapitalisme sekuler liberal yang mendominasi politik dan ekonomi di dunia. Sistem ini telah menyebabkan disparitas kekayaan yang sangat besar, melumpuhkan ekonomi global dengan pajak dan riba, menyebabkan jutaan keluarga ter miskinkan, dan runtuhnya sistem pendidikan, kesehatan, dan layanan lain yang diperlukan. Hal ini kemudian diperburuk wabah pandemik Covid-19.

Ideologi yang mendasari sistem yang tegak hari ini adalah buatan manusia. Bagaimanapun bagusnya menurut pandangan manusia, sifatnya tetap saja kurang dan tidak mampu memahami dan menyelesaikan masalah-masalah utama yang berkaitan dengan peran laki-laki, peran perempuan dalam masyarakat, hubungan di antara mereka, serta hak dan kewajiban masing-masing terhadap yang lain.

Dalam sistem yang memproduksi kemiskinan dan ketidakadilan ini, kaum perempuan dipaksa untuk menjadi pekerja karena ada kebutuhan ekonomi untuk menghidupi dirinya dan membesarkan anak-anaknya.

Sistem Islam Melindungi Perempuan

Dalam kehidupan umat Islam yang ditata dengan syariat Islam, tidak ada peringatan ratapan atas nasib perempuan dan anak perempuan. Hal ini dikarenakan kehidupan mereka dijamin aturan syariat yang adil dan menyejahterakan. Perempuan pun hidup mulia dan dimuliakan.

Masyarakat Islam hidup dalam naungan sistem Khilafah. Wilayah dimana hukum-hukum Islam diterapkan dan nilai-nilai Islam disebarluaskan dan menjadi penjamin utama untuk mencegah gangguan, buruknya perlakuan, pelecehan, dan kekerasan terhadap perempuan karena rasa takut pada Allah dan pengawasan-Nya.

Islam menjaga kehormatan perempuan, melarang penghinaan terhadap reputasinya, eksploitasi pesonanya, atau menggunakan tubuhnya sebagai komoditas.

Islam melarang tabarruj (berhias berlebihan), ikhtilat (campur baur), dan khalwat (berdua-duaan tanpa mahram), membuat posisi perempuan yang luhur di antara semuanya.

Rasulullah saw. bersabda, “Maka takutlah kepada Allah ‘azza wajalla dalam masalah wanita, karena sesungguhnya mereka di sisi kalian ibarat tawanan yang tidak dapat menguasai diri mereka sedikit pun, dan sungguh mereka mempunyai hak dari kalian dan kalian pun mempunyai hak atas mereka.”

Dan Rasulullah berwasiat, “Jadi, jagalah wanita dengan baik.” Pemahaman yang benar, adil, dan bijak terhadap status, tugas, dan fungsi perempuan, telah menghasilkan stabilitas dan ketenangan dalam masyarakat muslim di bawah naungan Khilafah.

Kepemimpinan perempuan dalam narasi feminisme hanya menghasilkan kesengsaraan bagi perempuan.  Meninggalkan peran pentingnya sebagai perempuan dan fitrahnya sebagai manusia. Sebagai seorang muslim wajib mencampakkan ide yang berasal dan bertentangan dengan Islam. Mengambil kembali Islam dan melaksanakan syariat Islam secara kaffah. Wallahu a’lam bis ash-showwab.

 

Penulis: Novianti Noor (Pemerhati Masalah Umat)

Editor: H5P

Terima kasih

error: Jangan copy kerjamu bos