Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

Pilkada Di Tengah Corona

899
×

Pilkada Di Tengah Corona

Sebarkan artikel ini
Rutin, SEI

Setelah ditetapkan sebagai bencana nasional, Covid- 19 menjadi perhatian pemerintah. Berbagai strategi penanganan pun dilakukan, dari PSBB, social & physical distancing, hingga New normal. Tidak lepas dari keputusan New normal, pelaksanaan PILKADA 2020 tetap akan digelar pada 9 september 2020 mendatang. Meski begitu tahapan dalam konstelasi Pemerintah Daerah sudah dimulai 24 Juni 2020.

Padahal saat ini kita tengah menghadapi pandemic Covid-19. Pemetaan Covid-19 BANWASLU mendapati bahwa 27 kabupaten/ kota rawan tinggi, 146 kabupaten/ kota rawan sedang, 88 kabupaten /kota rawan rendah covid 19. Tidak hanya faktor pandemi, faktor infrastruktur juga mempengaruhi kerawanan pilkada 2020.

Setidaknya ada 117 kabupaten/ kota terindikasi rawan tinggi, 144 rawan sedang pada konteks infrastruktur daerah. Banyak daerah yang infrastrukturnya tidak mendukung.

Anehnya, kenapa pemerintah masih ngotot mengadakan pilkada, padahal kapan saja Corona bisa melahap siapa saja. Alasannya agar tidak banyak kekosongan kekuasaan dan penundaan PILKADA bisa mengorbankan ekonomi lebih banyak. Ini dianggap sebagai mekanisme sistem untuk melangsungkan kepemimpinan yang ideal.

Alih- alih menyelamatkan ekonomi, sebenarnya angggaran dana 2020 sangat fantastis. Komisioner KPU I Dewa Wiarsa Raka Sandi (28/6/20) di Jakarta, menyatakan anggaran dana PILKADA sebesar 1,02 T. Nah apa benar tujuan dilaksanakan PILKADA tahun ini bertujuan menyelamatkan ekonomi, dan memperbaiki penanganan Covid-19 nantinya? Kenapa pemerintah terkesan hanya memboroskan anggaran yang semestinya bisa digunakan untuk penanganan dan pene;litian Covid-19, yang kemarin hanya diangggarkan 49 miliar.

Sebagian pihak (lokal dan internasional) menyebut momen PILKADA di tengah pandemi diputuskan agar kroni penguasa tidak kehilangan kesempatan duduk di kursi kuasa. Tak banyak yang mengkritik bahwa mekanisme demokrasi (pilpres dan pilkada) justru mengekalkan sistem kriminal yang menghasilkan legitimasi perampokan kekayaan negara dan penyengsaraan nasib rakyat. Betapa tidak demikian, PILKADA adalah alat nyata untuk membuat kebijakan- kebijakan yang mampu melanggengkan liberalisasi kekayaan alam melalui UU.

Siapapun yang terpilih telah diikat dengan perjanjian yang menguntungkan pihak Asing tentunya. Walhasil rakyatlah yang lagi- lagi harus menanggung kesengsaraan atas kebijakan- kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat. Sebagaimana kebijakan- kebijakan yang telah diberlakukan. Kebanyakan tumpul ke atas, tajam ke bawah.

Suksesnya Kapitalisme Menggerogoti Pemikiran Penguasa
Telah Nampak jelas dimata kita bahwa pemerintah menggelontorkan dana sebesar 1,02 T rupiah untuk PILKADA tahun ini. Padahal sudah jelas pula bahwa infrastruktur daerah – daerah belum mendukung untuk pelaksanaan PILKADA ditengah wabah COVID-19 ini. Tapi pemerintah masih saja ngotot. Bolehlah penulis meminjam ungkapan Jawa ini “Seng Ngotot, Boloh Gatot”.

Pemerintah Ngotot PILKADA, pasti ada teman sejati dibelakangnya. Siapa lagi kalau bukan pihak Asing gatotnya. Melalui UU yang senantiasa diperbaruhi setiap pergantian PILKADA, tentu menjadi senjata ampuh bagi Asing untuk melancarkan misinya menguasai kekayaan Indonesia melalui UU Minerba misalnya. Kandungan minyak, batu bara, gas alam, emas, nikel, tembaga dan berbagai bahan tambang lainnya kita miliki tapi sayang kekayaan negeri belum sebanding dengan kesejahteraan rakyat. Ibarat pepatah “ayam mati dilumbung padi” demikian kondisi rakyat negeri ini.

Miris sekali. Sayangnya pemerintah kita tak kunjung sadar diri bahwa mereka hanyalah boneka asing yang diperdaya untuk melancarkan misi asing melakukan liberalisasi kekayaan alam di Indonesia. Inilah buah dari sistem Kapitalisme- Liberalisme. Sebuah sistem yang menjadikan mental penguasa seperti pemangsa. Yang tega mengorbankan jiwa rakyatnya hanya demi ambisinya semata. Sudahlah sistem ini menjadikan yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.

Penguasanya tak berbudi luhur pula. Didapatlah kesengsaraan yang menyelimuti negeri ini. Sampai BANSOS yang dibagi untuk para terdampak COVID- 19 saja tidak merata pendistribusiannya. Inilah yang terjadi jika pendistribusian yang digunakan bersandar pada pengelolaan sistem Kapitalis. Buruknya sistem ini telah nampak nyata.

Menjadikan penguasa tega kepada rakyatnya. Lebih memilih anggaran dana dihabiskan untuk PILKADA daripada untuk penanganan pandemic Covid-19. Inilah yang akan terjadi saat dunia menjadi tujuan utama kehidupan. Apapun dihalalkan, meskipun harus mengorbankan berjuta banyak nyawa.

Hanya sistem Islam yang mengajarkan bahwa dunia cukuplah dalam genggaman, sedangkan akhirat menjadi tujuan utama. Dengan begitu setiap aktivitas maupun kebijakan yang diputuskan akan terfokus pada akhirat. Sehingga halal- haram akan menjadi pusat perhatian. Tumbuhlah sosok- sosok pemimpin berjiwa berkeadilan dan penuh kemanusiaan. Tepat pula dalam mengatur pengelolaan keuangan. Negara tak akan lagi gali lubang tutup lubang untuk memenuhi APBN. Kesejahteraanpun akan dirasakan oleh semua kalangan.

Saatnya negara kita Move ON
Siapa yang tak ingin hidup Bahagia, siapa yang tak ingin hidup sejahtera. Semua pasti menginginkan. Maka dari itu saatnya sekarang Indonesia Move On dari sistem Kapitalis. Beralih pada sistem Islam. Sistem yang lebih menenteramkan. Dalam konteks pengelolaan negara, sistem Islam lebih terbuka dan transparan kepada rakyatnya.

Tidak ada penipuan, tidak ada si tikus yang suka korupsi. Semua pengelolaan di dalam Baitul Maal dikembalikan sepenuhnya kemanfaatannya untuk rakyat. Sehingga saat sakit rakyat tak perlu membayar alias gratis tanpa syarat. Bukan seperti negeri ini, mau gratis kudu daftar BPJS dulu. Padahal kan itu aslinya pajak berselimut pelayanan gratis. Sama artinya kesehatan dibayar rakyatnya sendiri. Semakin tahun semakin naik pula iuran perbulannya.

Pendidikanpun bisa secara gratis diperoleh rakyat. Tidak seperti negeri penganut sistem Kapitalis ini. Jika ingin Pendidikan berkualitas, rakyat harus berani membayar mahal. Jangankan yang berkualitas, Pendidikan yang tak berkualitaspun juga semakin mahal dari tahun ke tahun. Maka dari itu saatnya kita beralih pada sistem Islam. Sistem Rahmatan Lil ‘Alamiin. Wallahu a’lam bishowab.

Oleh: Rutin, SEI (Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)

error: Jangan copy kerjamu bos