Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

Neoliberalisme : Investasi Kian Menguntungkan Swasta

820
×

Neoliberalisme : Investasi Kian Menguntungkan Swasta

Sebarkan artikel ini
Neoliberalisme  Investasi Kian Menguntungkan Swasta
HAMSINA HALISI ALFATIH

Keterlibatan pihak swasta dalam berbagai sektor perekonomian di Indonesia bukanlah isapan jempol belaka. Sebagaimana ketika pihak luar berinvestasi lewat infrastruktur serta menguasai beberapa anak cabang BUMN di Indonesia. Namun ternyata hal ini justru belum memberi efek jera kepada pihak pemerintah bahwasanya swasta semakin mengerut aset-aset milik negara untuk dikuasai.

Dilansir dari Detik.com, Sri Mulyani menerangkan dalam sebuah perekonomian negara peranan semua sektor menjadi sangat penting. Ketika ekonomi global sedang bergejolak maka penting untuk menggerakkan dunia usaha dalam negeri. Menurutnya, “Salah satu fungsinya adalah investasi. Kalau investasi kita tumbuh di atas 7-8% atau bahkan kita ingin double digit maka kita perlu untuk meningkatkan peranan swasta lebih banyak lagi dan sebenarnya dengan perekonomian yang tumbuh itu memberikan opportunity atau kesempatan bagi swasta,” ujarnya di Menara Kadin, Jakarta, Jumat (2/8/2019).

Menyikapi hal tersebut justru ini merupakan kesalahan besar ketika menyerahkan segala urusan sektor perekonomian dengan melibatkan pihak luar/swasta dalam hal ini melalui investasi. Justru melibatkan pihak swasta merupakan jalan baru untuk menguasai aset-aset negara yang sebelumnya juga telah diambil alih oleh pihak swasta. Berkaca dari hal ini pula, bagaimana ketika pemerintah melibatkan pihak swasta menjadi investor terbesar dalam pembangunan infrastruktur. Alhasil, dengan pendanaan yang tak sebanding dengan pihak luar justru infrastruktur tersebut kini dikuasai pihak investor.

Sekitar tahun 2017 semasa kepemimpinan Jokowi-JK, setidaknya ada  lima proyek strategis nasional didominasi oleh pihak swasta yang telah menggelontorkan sedikitnya Rp2.414 Triliun, atau lebih tinggi dibandingkan pembiayaan pemerintah. Hal itu diungkap dalam Laporan 3 Tahun Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Nilai total investasi sendiri mencapai Rp4.197 triliun. Lima proyek yang memiliki nilai investasi tertinggi itu adalah energi (12 proyek dengan pembiayaan Rp1.242 Triliun); ketenagalistrikan (1 program dengan pembiayaan Rp1.035 Triliun); jalan (74 proyek dengan pembiayaan Rp684 Triliun); kereta (23 proyek dengan pembiayaan Rp613 Triliun); dan kawasan (30 proyek dengan pembiayaan Rp290 Triliun). (Sumber : https://m.cnnindonesia.com/ekonomi/20171119225526-532-256706/lima-proyek-raksasa-jokowi-dikuasai-swasta).

Ini baru lima proyek yang dikuasai swasta dalam 2 tahun terakhir, belum lagi anak-anak cabang BUMN yang kemudian dijual ke pihak swasta maupun asing. Mencerna cara berfikir pemerintah saat ini yang sama sekali tidak menyadari adanya kolonialisme yang sewaktu-waktu mengeruk habis sumber kekayaan Indonesia. Maka jika dipandang bahwa memajukan perekonomian dalam berbagai sektor dengan melibatkan pihak swasta sebagai investor adalah sebuah kekeliruan yang besar. Karena jika pemerintah tidak mampu mengambil alih sektor tersebut maka dipastikan pihak asing akan siap melumat seluruh aset negara ini.

Negara Lepas Tanggungjawab Bukti Keberpihakan kepada Kapitalis

Upaya liberalisasi sektor perekonomian serta layanan publik yang turut melibatkan pihak swasta, hal ini justru memberi ruang serta keuntungan besar bagi kaum kapitalis. Dalam hal ini negara seharusnya mengambil alih sepenuhnya dalam pengupayaan meningkatkan berbagai sektor perekonomian maupun layanan publik agar digunakan semata-mata untuk kepentingan umat.

Namun dilain pihak, nampaknya negara terlalu memberi ruang penuh kepada pihak swasta maupun asing untuk mengelola berbagai sektor perekonomian di negeri ini. Patutlah hal ini menjadi sebuah ketakutan bagi masyarakat jika sewaktu-waktu penjajahan atas perekonomian ini tidak dapat dinikmati penuh oleh umat.

Sebagaimana masalah freeport sendiri sampai saat ini masih dikuasai oleh pihak asing. Selain freeport di Papua masih banyak  tambang lain dan sumberdaya alam kita yang juga dikuasai oleh swasta dan asing. Setelah era Orde Baru, Pemerintah menerapkan otonomi daerah (Otda). Kewenangan pemerintah daerah diperkuat, baik di provinsi maupun Kabupaten/Kota. Salah satu kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah adalah penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Itu terjadi pada 2009. Efeknya, jumlah IUP di Indonesia meningkat lebih dari 10 kali lipat alias 1.000% dari hanya 900 menjadi sekitar 10.000 izin (Finance.cetik.com, 27/8/2017).

Jika demikian wajarlah jika kemudian sebagaimana banyak diungkap hampir 90% kekayaan alam negeri ini dikelola oleh pihak asing atas nama penanaman modal asing (PMA). Sialnya, itu berlangsung sejak tahun 1967 saat Rezim Orde Baru mulai meliberalisasi perekonomian nasional dengan mengeluarkan UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing hingga  saat ini, di era Pemerintahan Jokowi ( media umat 2018).

Solusi Islam Serta Wajibnya Terikat dengan Syari’ah

Islam bukan hanya sekedar agama ritual semata yang mengatur peribadatan serta akhlak, tetapi Islam juga mengatur terkait masalah kekayaan alam serta menyelesaikan berbagai problematika umat. Sebagaimana Allah Swt berfirman ;

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ

“Kami telah menurunkan kepada kamu (Muhammad) al-Quran sebagai penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk, rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”. (TQS an-Nahl [16]: 89).

Terkait kekayaan alam, Islam telah mengatur adanya kepemilikan dalam 3 hal, yaitu kepemilikan individu, umum dan negara. Maka dalam hal ini negaralah yang wajib mengambil peran penuh dalam mengelola aset-aset negara maupun SDA sebagai kepemilikan umum agar tidak dikuasai oleh pihak swasta maupun asing. Terkait kepemilikan umum, Imam at-Tirmidzi juga meriwayatkan;

انه وفد الى رسول الله صلى الله عليه وسلم فاستقطعه الملح فقطع له فلما أن ولى قال رجل من المجلس أتدري ماقطعت له انما قطعت له الماء العد قال فانتزعه

“Sesungguhnya ia (Abyadh bin Hamal) pernah meminta kepada Rasulullah saw untuk mengelola tambang garamnya. Lalu beliau memberikannya. Setelah ia pergi, ada seseorang dari majlis tersebut bertanya ‘Wahai Rasulullah tahukah engkau apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang engkau berikan kepadanya bagaikan air yang mengalir’, Rasulullah kemudian bersabda ‘Kalau begitu, cabut kembali tambang tersebut darinya” [HR. At-Tirmidzi, No. 1380, h. 664, jilid 3]

Selain itu Ibnu Qudamah dalam kitabnya, Al-Mughni, sebagaimana dikutip Al-Assal& Karim (1999: 72-73), mengatakan, “Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya seperti garam, air, belerang, gas, mumia (semacam obat), minyak bumi, intan dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum Muslim sebab hal itu akan merugikan mereka.”

Oleh karena itu pentingnya kembali ke penerapan syari’ah agar kepentingan umat dapat terjaga maka tak lain adalah dibutuhkan adanya peran negara sebagai pemegang kendali untuk menerapkan syariat islam. Sebab konsekuensi keimanan kepada Allah dan Rasulullah adalah menjalankan segala aturan-Nya baik itu masyarakat maupun negara.

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepada kalian, terimalah (dan amalkan). Apa saja yang dia larang atas kalian, tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sungguh Allah sangat pedih azab-Nya”. (TQS al-Hasyr [59]: 7). Allahu a’lam bi ash-shawwab.

HAMSINA HALISI ALFATIH

Terima kasih

error: Jangan copy kerjamu bos