Kebijakan impor selalu dilakukan tanpa memperhatikan nasib petani lokal. Pemerintah melakukan Impor biasanya saat sebagian besar petani memasuki masa panen. Atas kebijakkan ini, para petani diberbagai daerah pun sering menolak kebijakan pemerintah ini. Sungguh kebijakan ini perlu dikoreksi.
Tirto.id – Pemerintah menerbitkan izin impor gula sebanyak 438 ribu ton. Menteri Perdagangan Agus Suparmanto menyatakan importasi ini ditujukan untuk menambah stok dalam rangka antisipasi permintaan jelang lebaran dan bulan puasa. Izin impor gula yang diterbitkan ternyata tidak hanya gula konsumsi, tetapi termasuk gula yang perlu diolah lagi atau raw sugar.
“Saya sudah mengeluarkan beberapa persetujuan impor komoditas yang perlu tambahan stok. Gula merah yang telah digunakan bahan baku, gula kristal putih untuk konsumsi telah diterbitkan sebanyak 428.802 ton,” ucap Agus dalam konferensi pers di Hotel Borobudur, Selasa (3/3/2020).
Agus mengatakan importasi sebanyak itu diyakini bakal mampu mencukupi kebutuhan industri sampai Mei 2020. Dengan kata lain, pasokan gula selama Lebaran 2020, akan tercukupi. Namun ketika ditanya kepada siapa izin itu diberikan, Agus enggan merinci lebih lanjut. Ia hanya memastikan kuota itu dibagi ke perusahaan pelat merah hingga swasta. Ia juga enggan menjawab kapan izin ini keluar dan sampai kapan masa berlakunya.
“Itu memerlukan proses dengan beberapa hari ke depan. Izinnya oleh beberapa perusahaan,” kata dia.
Dari penjelasan Agus juga belum terang negara mana saja yang kebagian memasok gula ke Indonesia. Sebab pada Februari 2020 kemarin, Kementan menyatakan Indonesia perlu mengambil pasokan gula dari India agar ekspor sawit bisa berjalan mulus.
Di sisi lain Indonesia saat ini juga biasa melakukan importasi gula dari Australia. Untuk Australia sendiri, Indonesia belum lama ini juga sudah meratifikasi perjanjian Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) Februari 2020 lalu.
Kuota impor gula yang diizinkan Agus diperkirakan melebihi perkiraan kebutuhan yang dipatok Kementerian Pertanian sebesar 130 ribu ton sampai Lebaran 2020, berhubung setelahnya mereka akan panen tebu. Estimasi kebutuhan Bulog pada 19 Februari 2020 juga jauh di bawah itu dengan kisaran 200 ribu ton saja. Dengan demikian ada selisih 230-300 ribu ton dengan total izin impor yang dikabulkan Kemendag dari kebutuhan.
Kuota impor gula yang berlebihan berdampak pada petani tebu. Pada Januari 2019, petani tebu terpuruk. Lahan pertanian tebu terus menyusut dan revitalisasi pabrik penggilingan tebu juga tak berjalan. Alhasil sempat timbul kekhawatiran RI akan terus ketagihan mengimpor gula.
Impor, Tak Menyelesaikan Masalah
Langkah kebijakan melalui impor seringkali ditempuh pemerintah ketika dihadapkan pada kelangkaan produksi pangan, seperti kedelai, beras, garam, gula dll. Alih-alih melakukan optimalisasi produksi dalam negeri dengan memberikan support pada petani lokal, pemerintah justru mengambil langkah pendek dengan melakukan aktivitas impor. Namun jika tidak diimbangi dengan rencana peningkatan kuantitas dan kualitas produksi dalam negeri dapat mengakibatkan goyahnya ketahanan pangan Indonesia.
Rendahnya daya saing produsen dalam negeri menyebabkan keengganan melanjutkan aktivitas produksi. Jika hal ini terjadi maka produksi pangan dalam negeri akan semakin rendah dan akan terdorong untuk melakukan impor terus menerus. Alhasil negara akan bergantung pada negara lain untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Padahal pangan merupakan kebutuhan pokok. Jika hal ini terus berlangsung dapat menghancurkan ketahanan pangan Indonesia, karena akan mudah disetir oleh negara importir. Kondisi tersebut sungguh memprihatinkan, mengingat Indonesia adalah negeri maritim yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada.
Padahal dengan pertimbangan jumlah potensi kekayaan alam yang dimiliki indonesia, tentunya akan mampu membangaun sebuah kemandirian bagi perekonomian bangsa. Kebijakan-kebijakan yang diputuskan pemerintah selalu saja tidak berpihak pada kemaslahatan rakyat, namun senantiasa bermuara untuk memenuhi keinginan para kaum kapitalis.
Dengan demikian, terbukanya keran impor selalu menjadi jalan pintas bagi penguasa yang dipengaruhi pandangan ekonomi neoliberal kapitalistik dengan dalih efesiensi dan solusi jangka pendek bagi problem kelangkaan. Maka, Kebijakanimpor ini tak lepas dari kebijakan liberalisasi ekonomi (ekonomi neolib) yang diambil rezim. Ekonomi neoliberal mengacu pada filosofi ekonomi politik akhir abad 20 yang prinsip dasarnya adalah menolak intervensi pemerintah dalam ekonomi.
Sesungguhnya, ekonomi neoliberal memfokuskan pada pasar bebas dan perdagangan bebas. Merobohkan semua hambatan untuk perdagangan internasional dan investasi. Maka jadilah rezim penguasa di negara berkembang sebagai fasilitator diterimanya berbagai bentuk agreement perdagangan bebas. Berbagai bentuk agreement perdagangan bebas tersebut dipaksakan melalui lembaga dunia- World Trade Organization (WTO). Sejak WTO digagas di Peru tahun 1994, dominasi AS dan Uni Eropa nampak dominan dalam setiap pengambilan keputusan WTO. Masih tingginya domestic support negara maju dan kuatnya tekanan kepada negara berkembang untuk membuka pasar (market access) membuat negara-negara berkembang yang mengandalkan pertumbuhan ekonomi dari sektor pertanian harus menghadapi pertarungan yang asimetris dengan negara maju.
Dengan adanya berbagai fakta ini merupakan sebuah bukti nyata bahwa pemerintah tidak serius dalam mengurusi rakyatnya dengan membangun kemandirian ekonomi. Disinilah pentingnya mengapa negeri ini harus kembali menerapkan Islam secara kaffah.
Islam Solusi Yang Menuntaskan
Berbeda dengan aturan Islam dalam hal mengurusi rakyatnya. Dimana penguasa diamanahkan oleh Allah sebagai pengurus, yang akan dimintai pertanggung jawabannya terhadap apa yang ia urusi(rakyatnya). Gula termasuk salah satu kebutuhan mendasar bagi rakyat. Memenuhi kebutuhan pokok adalah kewajiban negara.
Maka, memudahkan rakyat mendapatkannya pun menjadi suatu keharusan. Dalam kasus garam ini, penguasa islam akan mengambil tindakan cepat ketika kelangkaan terjadi. Bahkan dari jauh-jauh hari akan memprediksi kapan kira-kira produksi garam bisa menipis. Kemudian mengambil langkah untuk mengantisipasinya.
Kalaupun harus impor, tidak sampai mengakibatkan ketergantungan. Yaitu dengan jumlah yang terbatas dan waktu yang dibatasi pula. Semua itu dilakukan penguasa semata-mata karena ketaatannya kepada Allah dan itu hanya akan berjalan ketika menerapkan islam kaffah.
Karena itu, Negara berkewajiban memaksimalkan potensi yang dimiliki demi kesejahteraan seluruh rakyat sekaligus membangun kemandirian ekonomi. Dengan penerapan hukum syara’ secara menyeluruh, Islam memiliki cara yang khas dalam membangun kemandirian ekonomi negara diantaranya.
Pertama mengatur kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam sesuai syariah, bahwa hanya negara yang berhak mengelola sumberdaya alam yang menjadi milik umum (milkiyah ‘ammah) seperti tambang minyak, gas, tembaga, emas dan lain sebagainya. Kedua menghentikan utang luar negeri (al-qurudh al-ajnabiyyah) baik hutang dari lembaga keungan internasional seperti bank dunia atau IMF maupun hutang dari negara lain, sehingga tidak ada satupun negara yang akan mengintervensi roda pergerakan daulah islam. Ketiga menghentikan investasi asing yang bertentangan dengan syari’ah, misalnya investasi asing pada sektor kepemilikan ummum seperti pertambangan, sektor ini hanya boleh dikelola oleh negara saja. Keempat menghentikan segala bentuk hubungan dengan negara kafir yang sedang memerangai ummat Islam (Daulah muharibah fi’lan) seperti Israel dan Amerika serikat. Kelima menghentikan keanggotaan dalam PBB seperti IMF dan Bank dunia. Keenam menghentikan keanggotaan dalam blok-blok perdagangan kapitalis seperti NAFTA, AFTA, MEA dan sebagainya. Ketujuh membangun ketahanan pangan yaitu memenuhi kebutuhan pangan bagi negri sendiri melalui peningkatan produksi pangan. Kedelapan mencetak mata uang emas (dinar) dan perak (dirham). Sembelan mengghapus seluruh lembaga – lembaga keuangan kapitalis seperti perbankan, asuransi, pasar modal dan PT. (K.H. M. Siddiq Al jawi).
Dengan penerapan sistem Islam secara kaffah, maka akan mampu terwujud sebuah negeri yang memiliki kemandirian ekonomi, bahkan tidak hanya itu terbukalah pintu keberkahan dari langit dan bumi. Oleh karena itu, sebagai seorang muslim sudah seharusnya kita perjuangkan penerapan Islam secara menyeluruh dalam naungan Khilafah. Yang merupakan induk dari seluruh kewajiban. Wallahu a’lam bishshawab
Oleh : Risnawati (Penulis Buku Jurus Jitu Marketing Dakwah)