Kajian Politis Menakar Arah RUU HIP

Hasrianti

Ditengah pandemi yang belum juga menunjukan kurva landai, lagi-lagi barisan elit politik negeri ini membahas RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) yang menambah beban pikir dan mengelabui fokus rakyat dalam memerangi covid-19, tak ada bedanya dengan RUU Omnibus law dan minerba, RUU ini pun menuai polemik.

Rancangan Undang-Undang RUU HIP (Haluan Ideologi Pancasila) menjadi salah satu pembahasan Undang-Undang di rapat paripurna DPR pada 12 Mei 2020 lalu. Walaupun akhirnya pemerintah memutuskan untuk menunda pembahasan RUU HIP ini, namun RUU ini bukanlah hal yang boleh diabaikan kita tahu bersama pemerintah seringkali memutuskan RUU meski diawali kata pemanis ‘tunda’. Semestinya, kita sudah bisa meramal arah penundaan RUU tersebut.

Iklan KPU Sultra

Sejak awal adanya RUU tersebut memang sudah berpotensi membuat gaduh. RUU terdiri dari 10 Bab dan 60 pasal ditentang banyak pihak, jika disahkan maka rezim akan semakin kuat dalam melegitimasi siapapun yang dianggap tidak sesuai pancasila ala rezim kapitalis neoliberal.

RUU HIP Dihentikan Bukan Ditunda !
Diketahui bahwasanya PDIP sebagai fraksi pengusul utama RUU HIP ini menyampaikan bahwa tujuan dibuatnya RUU HIP, menurut Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Aria Bima menilai RUU ini memiliki tujuan yang mulia. Hal itu agar ideologi Pancasila tetap relevan untuk masyarakat Indonesia dalam menghadapi tantangan global (www.republika.co.id).

Selain sebagai payung hukum BPIP, keberadaannya pun akan mampu menangkal masuknya pemahaman yang bertentangan dengan Pancasila. Namun sungguh sayang, respon berbagai ormas justru sebaliknya.
Pengamat Politik, Siti Zuhro mengatakan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila  (RUU HIP) telah memunculkan perdebatan dan resistensi yang meluas (www.republika.co.id). MUI juga secara tegas menolak RUU ini dan beranggapan bahwa RUU HIP berpotensi mencederai dan menghianati Pancasila itu sendiri. Adanya RUU HIP perlu diperhatikan, sesuatu yang diusul tiba-tiba apalagi ditengah kondisi pandemi tentu harus di bedah secara seksama.

Pertama, RUU HIP berpotensi memunculkan paham komunisme. Meski tanpa adanya RUU ini sebenarnya kebangkitan komunis sudah menjadi wacana umum. Tidak dicantumkannya TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang “Pembubaran partai komunis indonesia, pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah negara republik indonesia bagi partai komunis indonesia dan larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran komunis/marxismelenisme” dalam RUU HIP.
Bangsa ini sudah cukup trauma terhadap tragedi berdarah pembunuhan jendral yang dilakukan PKI pada 30 September 1965, ditambah lagi pembantaian terhadap 500 ribu lebih para ulama dan santri oleh PKI di Madiun tahun 1948. Sungguh fakta sejarah yang harus diingat sampai kapanpun! Sangat wajar bila akhirnya masyarakat menilai bahwa keberadaan RUU ini diusul guna membangkitkan kembali paham komunis yang telah dilarang dan sudah ‘cacat kenang’ oleh rakyat Indonesia. MUI pun mengancam, jika tak dihentikan pembahasan RUU ini, pihaknya akan mengawal masyarakat Indonesia untuk menolak RUU tersebut.

Kedua, kontroversi pasal 7 yang berpotensi mengaburkan makna Pancasila itu sendiri. Terlihat ingin mengubah Pancasila menjadi trisila, lalu menjadi ekasila, yaitu Gotong Royong, disinyalir dapat melumpuhkan sila pertama. Pasal 7 yang memiliki 3 ayat dalam RUU HIP ini seolah ingin mengulang perdebatan lama yang sebenarnya sudah selesai. Padahal, rumusan Pancasila sebagai dasar negara sudah final dengan lima sila sebagaimana yang tertuang dalam Undang-undang. Pasal tersebut berbau sekularisme, menyebutkan bahwa salah satu ciri pokok Pancasila yaitu ketuhanan yang berkebudayaan. Tentu sangat kontroversial, agama notabene wahyu Allah s.w.t harus disesuaikan dengan budaya yang merupakan hasil buah pikir manusia. Ini sangat tidak bisa ditoleril.

Ketiga, RUU HIP rawan dijadikan alat untuk kepentingan dan keuntungan penguasa. Seperti biasa adanya RUU sangat bias digunakan untuk mencapai tujuan orang-orang tertentu tanpa memperhatikan untung rugi, apalagi menjadikan rakyat sebagai pertimbangan utama dari adanya Undang-undang yang berlaku. Justru mengekang dan menggerus arti keadilan, hak, dan perlindungan bagi rakyat Indonesia.
Sejatinya, jika kita lihat dari sisi lain adanya RUU ini disinyalir melindungi pergerakan komunis hal ini semakin kuat disebabkan beberapa pasal yang tidak mengatur adanya paham komunis dan marxisme dalam RUU HIP tersebut. Konsep RUU ini sedikit banyak berkaitan dengan Sosialisme, dimana ideologi tersebut mengingkari adanya Allah s.w.t sebagai pencipta dunia dan sesisinya. Alih-alih mengkambinghitamkan ajaran islam untuk menutupi ‘jejak hitam’ mereka ditanah air Indonesia.

Kembali pada Masalah Fundamental

Sejatinya biang kerok permasalahan yang melanda negeri ini bukanlah disebabkan ajaran Islam, seperti yang terus dipropagandakan penguasa hari ini melainkan sistem kapitalisme yang bercokokol. Para bibit penghianat bangsa menuding islam sebagai musuh Pancasila, padahal dibalik itu merekalah musuh abadi, mengaku Pancasilais tapi mencoreng isi Pancasila. Padahal Islam adalah agama yang mengatur seluruh kehidupan. Berbeda dengan ideologi sekuler-kapitalis yang memisahkan agama dengan kehidupan. Islam menjadikan agama sebagai pedoman manusia dalam menjalani kehidupan.

Inilah buruk rupa kegagalan rezim dalam mengurus negara, berkiblat kepada kapitalisme adalah pokok segara kesemerawutan yang terjadi. Sebab, sistem yang mengkondisikan manusia untuk berbuat zalim, bahkan rela menentang aturan tuhan. Perlu ditelaah ketika niat busuk dalam RUU HIP tetap diteruskan, maka bangsa ini bisa dipastikan tinggal menunggu waktu sejarah kelam terulang kembali dan Pancasila yang mereka bangga-banggakan hanya tinggal nama saja. Sesungguhnya, diantara tiga ideologi besar yang ada di dunia ini yakni kapitalisme, sosialisme, dan islam, ketiganya merupakan ideologi yang bisa membangkitkan umat. Namun, Ketika umat ingin bangkit dengan kebangkitan yang benar maka kembali pada sistem islam adalah sebaik-baiknyan pilihan untuk diperjuangkan umat saat ini.

Oleh : Hasrianti (Aktivis)