Temuan Emas Jangan Ambil Sendiri

Eva Izzatul Jannah

Nikmat dan anugerah dari Allah memang tiada habisnya. Belum lama ini, warga di Desa Popalia, Kecamatan Tanggetada, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, dihebohkan dengan penemuan emas berbentuk serbuk, di Sungai Landaka, perbatasan Desa Pewisoa Jaya. (Antaranews.com, 09/06/2020).

Hal ini dibenarkan oleh Kepala Desa Popalia, Yusran saat dihubungi melalui telepon. Ia membenarkan warganya telah menemukan kawasan yang menyerupai hutan kebun, dan terdapat emas pada satu bulan yang lalu.

Iklan KPU Sultra

“Memang benar adanya penemuan emas yang didulang warga sejak hampir satu bulan yang lalu, dan saat ini kawasan itu sudah mendapat penjagaan dari aparat setempat, terdiri dari Polisi Pamongpraja maupun dari unsur TNI/Polri,” ujranya. (Antaranews.com, 09/06/2020).

Adanya penemuan itu di tengah kesulitan yang menimpa rakyat saat ini, menjadi angin segar dan berkah tiada ternilai bagi warga setempat. Harapan mendapatkan pundi rupiah seakan terjawab, meski harus dengan upaya yang tidak mudah dan instan.

Bermula dari penemuan serbuk emas tersebut, warga sekitar maupun warga dari kecamatan lain, akhirnya mulai berdatangan untuk mendulang emas. Dengan menggunakan peralatan seadanya, warga sekitar mencoba keberuntungan untuk mendapatkan logam mulia tersebut.

Ada yang hanya bermodalkan peralatan seperti wajan, sekopang untuk alat penggali, dan karpet untuk pelapis. Ada pula warga yang mampu menggunakan mesin. Dengan peralatan sederhana tersebut, warga bisa mendapatkan emas serbuk tiga hingga tujuh gram dalam sehari. Hal ini mengundang banyak perhatian warga setempat lainnya.

Alhasil, saat ini ladang tersebut masih menjadi milik bersama. Semua yang datang memiliki hak yang sama untuk mendulang. Pemerintah setempat pun belum melakukan tindakan pengelolaan terhadap ladang tersebut.

Kondisi kekosongan dalam pengelolaan ini, bisa saja akan memicu keributan antarwarga. Sebab, warga bisa saja berebut untuk mendulang emas dalam mengadu peruntungan mereka. Bahkan, tidak menuntut kemungkinan keberadaan ladang emas tersebut akan mengundang perhatian para pemilik modal. Belum lagi, jika nanti akan terjadi deal-dealan antara penguasa setempat dan pemilik modal untuk mengelola ladang tersebut. Jika ini terjadi, maka eksploitasi secara besar-besaran tidak dapat dihindarkan.

Kelak, warga akan hanya menjadi penonton saja. Jika benar ladang tersebut telah berada di tangan investor/ pemilik modal. Seperti yang banyak terjadi saat ini. Tambang-tambang yang sejatinya milik rakyat, kini dikelola oleh investor yang meraup keuntungan maksimal. Warga setempat hanya menjadi pekerja kasarnya saja. Kerusakan alam pun tidak bisa terhindarkan.

Agar tidak terjadi hal demikian, maka perlu mengambil tindakan untuk mengelola temuan ladang emas tersebut dengan benar.

Islam Mengatur Pengelolaan Kekayaan Alam

Emas adalah kekayaan alam yang Allah ciptakan pada wilayah tertentu. Keberadaannya yang melimpah dicurahkan sepenuhnya untuk kesejahteraan manusia di muka bumi. Untuk itu, perlu pengelolaan yang benar, tentu saja harus sesuai dengan aturan penciptanya.
Islam hadir tentu saja tidak hanya sebagai agama ritual dan moral semata. Islam juga merupakan sistem kehidupan yang mampu memecahkan seluruh persoalan kehidupan, termasuk dalam pengelolaan kekayaan alam. Sebagaimana firman Allah Swt.:
“Kami telah menurunkan kepada kamu (Muhammad) Al-Qur’an sebagai penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk, rahmat, serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (TQS. An-Nahl [16]: 89).

Dalam Islam, kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum yang wajib dikelola oleh negara. Hasilnya diserahkan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat secara umum. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta, apalagi asing.

Pedoman pengelolaan kepemilikan umum ini antara lain merujuk pada sabda Rasulullah Saw.:
“Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, rumput dan api.” (HR Ibnu Majah).
Terkait kepemilikan umum, berdasarkan sabda Rasulullah Saw.: Abyadh bin Hammal pernah menghadap kepada Nabi Saw. dan memohon agar ia diberi bagian dari tambang garam yang menurut Ibnu Mutawakkil berada di daerah Ma’rib. Lalu Beliau memberikan tambang itu kepada Abyadh. Namun, tatkala orang tersebut berpaling, seseorang yang berada di majelis Beliau berkata, “Tahukah Anda, bahwa yang Anda berikan adalah [seperti] air yang mengalir?” Ibnu Mutawakkil berkata: maka Rasul mencabut darinya. (HR. Baihaqi dan at-Tirmidzi).
Mau al-iddu adalah air yang jumlahnya berlimpah sehingga mengalir terus-menerus.  Hadis tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir.  Semula Rasulullah Saw. memberikan tambang garam kepada Abyadh. Ini menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam (atau tambang yang lain) kepada seseorang.

Namun, ketika kemudian Rasul Saw. mengetahui  bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar (digambarkan bagaikan air yang terus mengalir) maka beliau mencabut kembali pemberian itu. Dengan kandungannya yang sangat besar itu, tambang tersebut dikategorikan sebagai milik bersama (milik umum). Berdasarkan hadis ini, semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu, termasuk swasta dan asing.

Oleh karena itu, menurut  aturan Islam, tambang yang jumlahnya sangat besar,  baik  garam maupun selain garam seperti batu bara, emas, perak, besi, tembaga, timah, minyak bumi, gas dan sebagainya. Semuanya adalah tambang yang terkategori milik umum sebagaimana tercakup dalam pengertian hadis di atas.

Wajib Terikat Syariah
Sebagai konsekuensi keimanan kepada Allah Swt. dan Rasul-Nya, setiap muslim, termasuk para penguasanya, wajib terikat dengan seluruh aturan syariah Islam. Oleh karena itu, semua perkara dan persoalan kehidupan, termasuk masalah pengelolaan kekayaan alam, harus dikembalikan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah Swt. berfirman:
”Jika kalian berselisih pendapat dalam suatu perkara, kembalikanlah perkara itu kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul-Nya (As-Sunnah) jika kalian mengimani Allah dan Hari Akhir.”  (TQS. An-Nisa [4]: 59).
Selain itu, apa saja yang telah ditentukan oleh Allah Swt. dan Rasul-Nya, termasuk ketentuan dalam pengelolaan kekayaan alam sebagaimana dipaparkan di atas, wajib dilaksanakan. Tidak boleh dibantah apalagi diingkari sedikit pun.

Dengan demikian, untuk mengelola dan menjaga kekayaan alam tersebut, mau tak mau, kita harus kembali pada ketentuan syariah Islam. Selama pengelolaan kekayaan alam didasarkan pada aturan-aturan sekular kapitalis, tidak diatur dengan syariah Islam, semua itu tidak akan banyak manfaatnya bagi rakyat. Pastinya akan kehilangan berkahnya. Terbukti, di tengah berlimpahnya kekayaan alam kita, mayoritas rakyat negeri ini tetap saja miskin. Sebab, sebagian besar kekayaan alam kita hanya dinikmati oleh segelintir orang, terutama pihak asing, bukan oleh rakyat kebanyakan.

Oleh karena itu, mari kita bersegera menjalankan semua ketentuan Allah Swt. dan Rasul-Nya. Dengan cara melaksanakan dan menerapkan seluruh syariah Islam. Penerapan seluruh syariah Islam tentu membutuhkan peran negara. Sebab, banyak ketentuan syariah Islam yang berurusan langsung dengan hajat hidup orang banyak, seperti pengelolaan kekayaan alam. Tanpa peran negara yang menerapkan syariah Islam, rakyat secara umumlah yang dirugikan, sebagaimana terjadi saat ini. Wallahu a’lam bishshawab.

Oleh: Eva Izzatul Jannah
Tenaga Pendidik dan Member AMK