RUU HIP Mubazir, Saatnya Banting Setir?

Vikhabie Yonda Muslim

Rancangan Undang-undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila belakangan tengah menjadi pembicaraan hangat bahkan panas ditengah publik. RUU ini memicu berbagai tanggapan baik dari kalangan politisi hingga masyarakat. Melansir dari Catatan Rapat Badan Legislasi Pengambilan Keputusan Atas Penyusunan RUU tentang Haluan Ideologi Pancasila tanggal 22 April 2020, RUU HIP ialah RUU yang diusulkan oleh DPR RI dan disebut telah ditetapkan dalam RUU Prioritas Tahun 2020. Berdasarkan catatan rapat tersebut, dikatakan bahwa saat ini belum ada UU sebagai sebagai landasan hukum yang mengatur Haluan Ideologi Pancasila untuk menjadi pedoman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga diperlukanlah UU tentang Haluan Ideologi Pancasila (sumber: kompas.com, 17/6/2020). Lantas benarkah RUU ini bentuk keseriusan serta prioritas bagi keberlangsungan ideologi dalam hidup berbangsa dan bernegara?.

RUU Haluan Ideologi Pancasila tampaknya tidak sinkron dengan realitas problematika yang saat ini mendera negeri dan tak memiliki urgensi untuk dibahas di masa pandemi. Sudahlah tidak memiliki urgensi, mubazir pula. RUU ini justru semakin memuat berbagai polemik tidak hanya dari sisi ideologi, tapi menyenggol di berbagai bidang termasuk bidang ekonomi. Pasalnya, draf yang telah disetujui DPR sebagai inisiatifnya tersebut juga mencantumkan poin yang membolehkan negara berhutang demi memperkuat perekonomian nasional, tepatnya pada pasal 17 poin j. Di satu sisi ingin menetapkan peran negara yang lebih dominan demi menjaga ekonomi rakyat, namun di sisi lain justru mendorong kebijakan hutang luar negeri dengan alasan memperkuat ekonomi.

Iklan KPU Sultra

RUU ini pun nampaknya turut memunculkan celah baru bagi agenda kebangkitan paham komunisme yang tentu menuai penolakan dari berbagai kalangan rakyat. Kekhawatiran ini tentu sangat beralasan, terutama dengan tidak disertakannya sama sekali Ketetapan MPR RI yang masih mengikat, yakni Ketetapan MPRS RI No. XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Sementara seluruh Ketetapan MPR yang lainnya dirujuk sebagai dasar penyusunan dan hanya menjadikan Keadilan Sosial sebagai esensi pokok dari Pancasila. Sangat sarat akan aroma ideologi sosialis-komunis.

Tak hanya itu, RUU ini pun nampaknya akan menjadi ‘alat pukul’ baru bagi rezim terhadap siapa saja yang dianggap lawan politiknya. Melalui RUU ini, rezim secara subyektif mendefinisikan tentang masyarakat pancasila dan apa itu manusia pancasila (Pasal 12 ayat 2 dan 3). Dengan rumusan ini, rezim seakan dengan mudah memaksa rakyat untuk berpikir dan bertindak mengikuti rumusan itu. Bukan tidak mungkin nanti bila akhirnya RUU ini disahkan, akan menjadi alat untuk kemudian menyingkirkan siapa saja yang dianggap berbeda, termasuk pada pejuang syariah islam.

Meski pembahasan RUU ini ditunda sementara waktu, bukan berarti selesai pula pembahasan tentang aspek ideologi ini. Maka hal ini haruslah disadari oleh semua komponen anak bangsa bahwa ada ancaman-ancaman yang tidak kalah besar bahayanya yang bersumber dari bangkit dan berkembangnya kembali ideologi sosialis-komunis yang tentu sangat membahayakan manusia. Ideologi rusak yang terbukti telah menumpahkan darah rakyat dan membuat kehancuran di negeri ini.

Tak hanya ideologi sosialis-komunis, ideologi sekuler-kapitalis pun tampak ikut mewarnai hadirnya RUU HIP ini. Kapitalisme dan sosialisme yang seakan makin mengakar di berbagai sektor-sektor strategis rakyat inilah yang patut menjadi perhatian serius semua elemen, bahwa negeri ini sedang tidak dalam kondisi baik-baik saja.

Dunia dan negeri ini khususnya, telah lama dilanda berbagai krisis ideologi yang semakin menggerogoti. Lalu harus dengan ideologi apa kita bisa menyelamatkan kondisi saat ini? Jawabnya ialah hanya dengan ideologi yang telah terbukti sangat komprehensif dan terintegrasi menjelaskan penyelenggaraan negara mulai aspek filosofi hingga sistem pemerintahan. Ideologi apakah itu? Ialah Islam.

Islam dengan gemilang cahayanya datang dan menyelamatkan dunia dari masa kegelapan menuju masa yang terang benderang. Sistem pemerintahan Islam dengan khilafah justru hadir sebagai solusi, bukan ancaman. Hal ini mengindikasikan urgensitas mengenalkan Islam sebagai satu-satunya ideologi shahih, yang tidak hanya melindungi kaum muslim, tapi juga kaum non muslim yang sangat dipelihara dan dijaga oleh Islam. Allah Swt menurunkan syariat Islam kepada Rasulullah sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, apapun warna kulit, agama, ras, dan segala latar belakang mereka. Seperti dalam firman-Nya, “Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam” (QS. al-Anbiya [21]: 107).

Seorang sejarawan asal Inggris, T.W. Arnold, dalam bukunya The Preaching of Islam, menuliskan bagaimana perlakuan yang diterima oleh non-Muslim yang hidup di bawah pemerintahan Islam, yakni Daulah Utsmaniyah di Turki. Dia menyatakan, “Sekalipun jumlah orang Yunani lebih banyak dari orang Turki di berbagai wilayah Khilafah yang ada di Eropa, toleransi agama yang diberikan pada mereka, dan perlindungan jiwa serta harta yang mereka dapatkan membuat mereka mengakui kepemimpinan Sultan/Khalifah atas seluruh umat Kristen”.

Hal ini tentu menjadi salah satu contoh yang menunjukkan identifikasi yang jelas tentang penerapan Islam dalam bingkai pemerintahan, bukan sebagai hal menakutkan yang dianggap akan menodai pancasila atau apapun yang bertentangan dengannya. Yang jelas, tidak ada saling kontradiksi antar bagiannya dan sistemnya, yang secara integral mewujudkan keutuhan, keadilan dan kesejahteraan.

Jadi kesimpulannya ialah, kurangi habisnya waktu dan angggaran dengan pembahasan rancangan undang-undang yang malah mubazir dan tak sesuai dengan kebutuhan rakyat. Saatnya banting setir dari ideologi yang berbahaya dengan beralih pada ideologi yang tentu menyelamatkan, yakni Islam.

Oleh : Vikhabie Yolanda Muslim