Peredaran narkoba di Indonesia semakin masif, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi Heru Winarko menyampaikan jika peredaran narkoba telah merata di setiap provinsi negara Indonesia. Malah kata dia, di Sumatera, Bupatinya mengadakan sayembara kalau ada desa tidak terjamah narkoba akan diberi hadiah sepeda motor. “Tapi tidak ada satu desa pun yang mendaftar sayembara itu. Jadi memang di kabupaten itu semua desa ada narkobanya,” ujarnya (www.cendana.com, 8/8/2018).
Hal serupa juga terjadi di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Menjelang akhir tahun 2018 kemarin, pihak berwajib berhasil mengamankan para kriminal pengedar narkoba dari berbagai profesi yang berdomisili di Sultra.
Awal 2019 pun Bumi Anoa masih tak lepas dari jerat narkoba. Sebagaimana yang dikutip dari Harian Kendari Pos (29/1/2019), bahwa Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Sultra berhasil meringkus kurir sabu bernama Daeng Sutte alias MA. Dia tertangkap di Warung Coto Makassar, Jalan poros Kolaka-Kendari, Desa Abeli Sawah, Kecamatan Anggamoloare, Kabupaten Konawe. Patut menjadi perhatian, sabu yang dibawa seberat 5 Kilogram. Kalau diuangkan memiliki nilai sebesar Rp. 10 miliar. Sayangnya, nilai finansial yang dihasilkan berbanding lurus dengan kerusakan yang ditimbulkan.
Memprihatinkan, tentu saja menjadi kata yang tepat untuk menggambarkan situasi ini. Pasalnya, narkoba terkenal memiliki daya rusak yang sangat ampuh bagi masyarakat, dan menyasar kalangan orang dewasa maupun anak-anak.
Penggunaan narkoba secara terus menerus berdampak pada kehancuran tubuh. Seringnya penyuntikan menyebabkan rusaknya pembuluh darah, dan menimbulkan infeksi pada pembuluh darah dan katup jantung. Tuberkulosis dan radang sendi juga merupakan dampak jangka panjang dari adiksi heroin. Selain itu, gaya hidup pecandu (yang biasanya saling bergantian memakai jarum suntik dengan orang lain) menyebabkan HIV dan penyakit menular lainnya. Diperkirakan ada 35.000 orang baru yang terinfeksi hepatitis C2 (sakit lever atau hati) setiap tahunnya di AS, lebih dari 70 % adalah pengguna narkoba yang menggunakan jarum suntik.
Realita kerusakan yang ditimbulkan oleh narkoba tersebut mestinya bisa menghambat laju peredarannya. Namun, fakta yang terjadi justru berbeda. Para pengedar narkoba semakin banyak. Ironinya transaksi narkoba juga terkadang dilakukan dari dalam penjara. Laju penyebarannya pun semakin sulit dibendung, meski pengedarnya sedang dijerat hukum Ya, ciri khas dari penerapan hukum yang bersumber dari manusia saat ini, yakni tidak memberikan efek kejeraan pada para kriminal. Sehingga tatkala masa hukumannya selesai, mereka dengan mudahnya kembali melakukan kejahatan serupa.
Hal yang seperti itu tidak akan terjadi ketika sistem uqubat (sanksi) Islam diberlakukan. Pasalnya, sistem sanksi dalam Islam terkenal memiliki 2 fungsi, salah satunya sebagai zawajir (pencegah). Disebut sebagai ‘pencegah’ karena sanksi yang dijatuhkan akan mencegah orang-orang untuk melakukan tindakan dosa dan kriminal. Hal ini memungkinkan karena negara yang menjadikan Islam sebagai sumber aturan akan tegas dalam menindak setiap kejahatan yang terjadi. Hukuman yang diberikan akan membuat para kriminal jera dan enggan untuk mengulangi kejahatan serupa. Hal ini berlaku pada setiap jenis kejahatan, termasuk peredaran narkoba.
Selain memberlakukan sistem sanksi untuk mencegah, negara juga akan memproteksi masyarakat dengan melakukan berbagai macam usaha untuk menghambat laju peredaran narkoba tersebut.
Perpaduan antara sistem sanksi yang tegas serta proteksi dari negara akan meminimalisir bahkan menghilangkan secara tuntas peredaran narkoba. Tentu saja perkara itu hanya akan terealisasi ketika negara menjadikan Islam secara kaffah sebagai sumber aturan. Maka, sudah semestinya pemerintah saat ini meninggalkan aturan yang bersumber dari manusia dan beralih kepada sistem yang lebih baik. Wallahua’lam.
PENGIRIM: DEVITA NANDA FITRIANI, S.PD (MUSLIMAH MEDIA KENDARI)
PUBLISHER: MAS’UD.
Komentar