Sebagai contoh jalan yang memang dilintasi oleh masyarakat secara umum, sebagai infrastruktur layanan public yang disediakan oleh Negara sebagai akses transportasi masyarakat dan mengikuti produksi maupun penumpang.
Hal ini memang harus dilakukan oleh Negara sebagai bentuk pelayanan public kepada umat secara keseluruhan.
Namun, kenyataan berbeda saat pemerintah mengklaim bahwa infrastruktur yang ada adalah bentuk keberhasilan pemerintah dalam layanan publik, yang pada kenyataannya infrastruktur tersebut berbayar dan bahkan merugikan rakyat secara umum dan menjadi klaim dalam kampanye pemilu April 2019 sebagai keberhasilan pemerintah (Cnnindonesia.com,02/02/2019).
WaliKota Semarang Hendrar Prihadi mengajak masyarakat untuk mendukung pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin di Pilpres 2019. Hendrar bahkan meminta masyarakat tak menggunakan jalan tol bila tak mau mendukung pasangan nomor 01 itu. Hal tersebut disampaikan Hendrar saat menghadiri silaturahmi Jokowi dengan Paguyuban Pengusaha Jawa Tengah, PPJT di Semarang Town Square, Semarang, Sabtu (cnnindonesia.com,02/02/2019).
Oleh karena itu, kata Hendrar masyarakat yang tidak mendukung Jokowi tidak boleh menggunakan jalan tol yang telah dibangun pemerintah (cnnindonesia.com,02/02/2019).
Menilik Keberhasilan Infrastruktur
Keberhasilan pembangunan infrastruktur tentu merupakan hal positif, tapi lain cerita jika hal itu dijadikan ladang bisnis. Karena hal tersebut bukan hal yang baik dan merupakan bentuk kezaliman penguasa terhadap rakyatnya. Karena pada hakekatnya infrastruktur adalah layanan public yang harus disediakan oleh Negara untuk kemudahan akses transportasi masyarakat tanpa berbayar. Kepala Negara adalah pelayan urusan umat bukan semata-mata individu. Sebab, ia dipilih untuk menjalankan fungsi sebagai kepala Negara yang memang harus ia lakukan. Apalagi infrastruktur yang ada dikerjakan oleh asing yang sarat dengan adanya unsure bisnis. Hal itu akan berakhir pada pertimbangan asas untung rugi bagi kedua pihak, yaitu pemerintah dan para investor. Padahal, masalah pembangunan infrastruktur harusnya mengutamakan terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan sesuatu yang memudahkan mereka dalam beraktivitas sehari-hari.
Sementara kenyataannya tidak sedikit pemerintah menyerahkan kepada asing untuk mengerjakannya, dalam hal ini investor. Selain itu, infrastruktur yang telah dikerjakan akan memakan biaya banyak, yang nantinya berimbas pada masyarakat.
Sebagaimana yang terjadi pada Pengusaha logistic yang membenarkan bahwa alasan para supir truk untuk mengalihkan lajunya kembali ke Jalur Pantura dari pada Tol Trans Jawa karena tariff yang mahal. Tarif tol dinilai terlalu tinggi bagi para pengemudi truk.
Bahkan, Ketua Asosiasi Logistik Indonesia ZaldyI lham Masita telah meminta PT Jasa Marga untuk menurunkan tariff tol Trans Jawa. Pasalnya, untuk truk yang menggunakan tol dari Jakarta ke Surabaya tarifnya bias mencapai jutaan rupiah (Detikfinance,28/1/2019).
Kerjasama seperti ini, tentu akan berdampak buruk, khusunya masyarakat. Pemerintah tidak seharusnya hanya menjadi fasilitator saja, melainkan harusnya menjadi pihak yang bertanggungjawab 100% untuk tercapainya kemaslahatan umat. Bukan malah menyeret pihak ketiga apalagi sampai merugikan rakyat banyak. Karena pada akhirnya menjadikan pembangunan tidak lagi untuk masyarakat, melainkan hanya untuk memenuhi hasrat yang sebagian besar keuntungannya ada pada pihak investor.
Layanan Publik Dalam Kacamata Islam
Dalam Islam infrastruktur yang dibangun tentu semata-mata untuk kemaslahatan orang banyak dan merupakan kewajiban negara dalam memberikan pelayanan terbaik untuk warga negaranya. Sebagaimana pada masa pemerintahan Islam pada masa lalu, kita bisa mengambil pelajaran terkait bagaimana sebuah Negara menjadi maju tak hanya dari segi kualitas sumber daya manusianya saja, tetapi juga termasuk dengan aspek pembagunan infrastrukturnya, hingga bias menciptakan gaya arsitektur Islami yang kini masih bisa kita lihat peninggalan-peninggalan tersebut di berbagai negeri Muslim baik berupa masjid, gerbang, dan gedung-gedung lainnya.
Sebagai contoh, kita bias belajar dari masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab dalam membangun kota. Bagaimana beliau menyediakan fasilitas-fasilitas umum seperti menyediakan guest house,gudang penyimpanan logistik, membangun bendungan, dan menyediakan penerangan.
Dalam membangun jalan raya, Khalifah Umar juga member contoh sebagaimana yang dipraktikkannya dalam pembuatan jalan raya di kota kuffah. Dengan briliannya khalifah umar menetapkan jalan protocol selebar40 hasta, jalan raya dengan lebar 30 hasta, jalan lain dengan lebar 20 hasta, dan jalan kecil (gang) dengan lebar 7 hasta. Sehingga dengan adanya fasilitas-fasilitas infrastruktur tersebut,kebutuhan rakyat dapat terpenuhi.
Kita mungkin bertanya-tanya bagaimana bias para khalifah membangun begitu banyak infrastruktur tanpa melibatkan orang ketiga. Tentu bukan hal yang mustahil ketika sebuah wilayah dalam Institusi Islam bias membiayai segala pembangunan tanpa harus melakukan transaksi dengan pihak manapun. Karena anggaran dananya diambil dari pos-pos pemasukan seperti SDA, zakat, jizyah, khumus, dan sebagainya.
Pembangunan pun dilakukan berdasarkan ukuran seberapa penting bagi rakyat. Kemaslahatan umat lebih utama, tanpa berhitung untung rugi bagi negara. Karena posisi Negara adalah sebagai pelayan umat, bukan sekedar fasilitator sebagaimana dalam Kapitalisme.
Olehnya itu, peran pemerintah ataupun Negara yang menganut asas Kapitalisme dalam melaksanakan pembangunan infrastrukturnya, standarnya bukan lagi kemaslahatan rakyat, melainkan apakah pembangunan itu bias membawa keuntungan pada segelintir orang ataupun kelompok dan juga bagi para pengusaha yang bekerjasama. Sungguh sangat jauh berbeda ketika Islam yang menjadi asas Negara dan aturan-aturan di dalamnya dipakai dan dilaksanakan secara sempurna.
Maka tidak heran, jika Islam bisa menjadi peradaban yang sangat besar yang dapat menorehkan tinta emas pada sejarah dunia yang bahkan sampai saat ini belum bias ditiru oleh peradaban manapun.Wallahua’lam bi ash-shawab.
PENGIRIM: SRI MAULIA NINGSIH,S.PD (MUSLIMAH MEDIA KONAWE)
PUBLISHER: MAS’UD
Komentar