Diskotek, Benarkah Bisa Berjasa Bagi Negara?

Diskotek, Benarkah Bisa Berjasa Bagi Negara?
Dwi Moga F

Beberapa waktu lalu Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) DKI Jakarta memberikan Anugerah Adikarya Wisata 2019 kepada Colloseum Club 1001. Sebagaimana dikutip dari laman resmi Provinsi DKI Jakarta klab malam itu memenangkan penghargaan untuk kategori hiburan dan rekreasi-klab malam dan diskotek yang diberikan pada Jumat (6/12/2019). Penghargaan tersebut diberikan sebagai wujud apresiasi terhadap dedikasi dan kontribusinya terhadap pengembangan pariwisata sebagai bagian dari program prioritas pembangunan.

Namun kebijakan ini menuai kontroversi, hingga akhirnya pemberian award tersebut dibatalkan karena diskotek yang dipilih ternyata dianggap tidak lolos salah satu kriteria yakni bebas dari bisnis narkoba, (m.detik.com, 16/12/2019). Miris, namun begitulah realitanya. Dalam sistem kapitalis hari ini, usaha hiburan malam atau diskotek termasuk bisnis legal dan merupakan bagian dari pariwisata yang keberadaannya diatur oleh undang-undang, selama tidak melanggar regulasi soal miras berijin, prostitusi legal dan bisnis narkoba. Sementara siapapun pemimpinnya selama regulasi yang ditegakkan berasas sekuler kapitalis maka ‘religiusitasnya’ tidak akan bisa menghalangi pemberian penghargaan tersebut.

Iklan KPU Sultra

Bagaimana Islam Menyikapi Hal Ini?

Islam tidak memberi tempat pada bisnis hiburan yang melalaikan, seperti: pub, kafe, bar, mal, kelab malam atau tempat hiburan sejenisnya. Dalam kacamata seorang muslim pasti sangat jelas bahwa dari sudut manapun tidak ada hal positif dari sebuah diskotek yang aktifitasnya tidak lepas dari miras, ikhtilath, dan bahkan dekat pada prostitusi dan maksiat lainnya. Kemaksiatan dapat mengikis keimanan seseorang, selain itu tempat-tempat maksiat juga dapat menimbulkan hawa nafsu yang tak terkendali, sehingga sangat berbahaya bila sudah terbiasa olehnya.

Dalam (QS. Al-Ankabut: 38), Allah SWT. berfirman:

“…setan telah menjadikan terasa indah bagi mereka perbuatan buruk mereka, sehingga menghindarkan mereka dari jalan Allah, sedangkan mereka adalah orang-orang yang berpandangan tajam.”

Untuk itu, agar keimanan seorang muslim tetap terjaga, Islam mewajibkan untuk mencegah kemunkaran tersebut sesuai dengan kesanggupannya dan agar kebencian terhadap perbuatan maksiat tetap ada. Rasulullah SAW. bersabda:

 “Siapa diantaramu melihat kemunkaran, maka ubahlah (cegahlah) ia dengan tangannya, jika tidak sanggup maka dengan lisannya, dan jika tidak sanggup maka dengan hatinya (tetap membencinya) dan itulah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri ra).

Tak hanya berbahaya bagi diri sendiri tetapi tempat-tempat maksiat juga dapat menjadi sumber penyebaran maksiat kedalam keluarga dan masyarakat. Jika orang-orang apatis terhadap tempat-tempat maksiat yang terus beroperasi tanpa adanya upaya untuk menumpas dan memberantasnya dengan cara-cara yang dibenarkan oleh syariat Islam maka dalam sebuah hadits dijelaskan, bahwa Allah akan memberikan azab kepada mereka yang menjadi anggota, konsumen atau pelanggan dari tempat-tempat maksiat.

Dari Hudzairah bin Yaman ra. dari Rasulullah SAW. beliau bersabda :

“Demi Dzat yang jiwaku berada ditangannya, kalian harus melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, atau Allah akan menurunkan hukuman dari-Nya kemudian kalian berdoa kepada-Nya dan Dia tidak akan mengabulkan doa kalian.” (HR. Tirmidzi).

Untuk itu, sudah seharusnya seorang muslim dengan berlandaskan ketaqwaan individu, menjaga diri dari hal yang menjerumuskan kedalam kemaksiatan selain itu dibutuhkan pula kontrol dari masyarakat yang sudah memiliki visi yang sama dalam mencegah menjamurnya fasilitas-fasilitas dan sikap permisif tehadap apapun yang dapat menimbulkan kemunkaran serta ditunjang oleh peran Negara yang menerapkan aturan kebaikan yang hanya berasal dari Allah Swt yaitu syariat Islam. Aturan yang jika diterapkan, tidak hanya memberi maslahat kepada kaum muslim tetapi juga non muslim. Negara akan menjaga masyarakat dari tempat-tempat hiburan yang berpotensi mengundang kemaksiatan karena melihat kemudharatan yang ditimbulkan lebih besar daripada manfaat yang dihasilkan.

Oleh karena itu, Khilafah melarang beroperasinya diskotek dan tempat hiburan sejenis, meski bisa menyerap tenaga kerja, memberi sumbangan pajak dari miras berijin hingga menarik devisa dari wisatawan manca negara. Wallahu a’lam bishawab.

Oleh : Dwi Moga F