Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki beragam pulau dan lautan yang terhampar luas. Kekayaan alam yang melimpah mulai dari ikan, mutiara, minyak bumi, gas alam dan kekayaan-kekayaan alam lainnya. Negeri yang kaya, luas, sungguh memesona. Dengan keadaan tersebut, tentu banyak negara lain yang tertarik dengan Indonesia.
Daratan yang dikelilingi oleh lautan, itulah sebutan bagi negeri zamrud khatulistiwa. Memiliki kurang lebih 17.000 pulau. Salah satu negeri yang garis pantainya terpanjang di dunia. Dengan 70% wilayah yang berupa perairan, membuat negeri ini kaya akan sumber daya lautan.
Baru-baru ini, kita semua digegerkan dengan keberadaan kapal Cina yang mencuri ikan di perairan Natuna. Bahkan, Cina mengklaim jika lautan tersebut masuk ke wilayah teritorial mereka. Letak Natuna memang menjorok ke utara berdampingan dengan Laut Cina Selatan bagian selatan.
Dalam laman cnbcindonesia.com (3/1/2019) dilaporkan bahwa Cina mengklaim Laut Cina Selatan (LCS) sebagai wilayahnya. Mereka mengklaim bahwa hal ini didasarkan pada peta yang dikeluarkan oleh Cina sendiri tentang nine dash line (NDL).
Salah satu alasan yang mereka kemukakan karena nenek moyangnya sudah ratusan tahun menangkap ikan di perairan ini.
Padahal, daerah LCS ini bukanlah milik Cina saja. Ada beberapa negara yang mengelilingi lautan ini. Sebut saja Thailand, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei. Kelima negara itu juga memiliki wilayah di LCS berdasarkan aturan UNCLOS, yakni tata aturan pembagian wilayah laut yang disepakati dunia internasional. Sayangnya, Cina bersikukuh memakai aturannya sendiri, yaitu NDL.
Tentu saja apa yang dilakukan Cina sangat keterlaluan. Secara aturan internasional ia telah melanggarnya. Oleh karena itu bisa saja Cina disebut telah meremehkan kedaulatan negeri-negeri Asia Pasifik, termasuk Indonesia.
Laut Natuna memiliki sumber-sumber kekayaan alam yang cukup beragam, seperti mineral dan ikan. Juga menjadi lintasan laut internasional bagi kapal-kapal yang datang dari samudera Hindia untuk memasuki negara-negara industri di sekitar laut tersebut dan yang menuju samudera pasifik.
Permasalahan demi permasalahan soal wilayah laut Natuna sebenarnya sudah cukup lama terjadi. Klaim sepihak yang dilakukan Cina terhadap Laut Cina Selatan inilah yang menimbulkan konflik berkepanjangan di berbagai negara khususnya di wilayah ASEAN. Salah satu yang terkena imbasnya adalah Indonesia.
Bahkan, konflik tersebut kian hari semakin semrawut. Kejadian beberapa minggu belakangan ini menjadi bukti bahwa sebenarnya permasalahan laut Natuna belum juga kunjung terselesaikan. Bahkan Cina kembali mengklaim daerah tersebut merupakan wilayah teritorial mereka.
Sudah seharusnya Indonesia bersikap tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan Cina. Saatnya mengerahkan kekuatan maksimal untuk mengusir Cina dari Natuna. Karena masalah ini sudah masuk ke dalam ranah kedaulatan negeri.
Namun, sayangnya para pejabat terkait justru malah bersikap lunak. Misalnya, pernyataan Menteri Pertahanan Prabowo, “Ya saya kira kita harus selesaikan dengan baik. Bagaimanapun Cina adalah negara sahabat.” (CNBC Indonesia, 3/1/2020)
Juga pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, “Sebenarnya enggak usah dibesar-besarin lah. Kalau soal kehadiran kapal itu, sebenarnya kan kita juga kekurangan kemampuan kapal untuk melakukan patroli di ZEE kita itu. Sekarang memang coast guard kita itu.” (Tempo.co,5/1/2020)
Publik pun pada akhirnya menduga pemerintah tersandera investasi Cina di Indonesia sehingga tidak mampu bersikap tegas.
Seperti pandangan pengamat hubungan internasional Dinna Wisnu, yang menyatakan kedatangan Presiden Joko Widodo ke Natuna gagal membuat gentar Cina. Hal itu terkait dengan kembalinya kapal nelayan dan coast guard Cina ke perairan Natuna Utara setelah kedatangan Jokowi ke pulau tersebut.
Menurutnya, Cina sudah memprediksi Indonesia tidak ingin berperang. “Upaya penggentaran yang dilakukan oleh Pak Jokowi ternyata tidak berhasil. Karena Cina sudah bisa mengukur Indonesia pakemnya atau pada dasarnya tidak ingin ada perang,” ujar Dinna di Hotel Erian, Jakarta pada Minggu, 12/01/2020.
Dinna menuturkan Indonesia tidak mau berperang dengan Cina terlihat dari cara Jokowi merespon situasi di Natuna. Dia menuturkan bahwa Jokowi terkesan bersayap dalam memberi tanggapan.
Ia mengganggap pemerintah ingin tetap menjaga hubungan baik bersama Cina dengan tidak membuat pernyataan yang secara tegas menuding Cina melanggar. Misalnya, Jokowi tidak tegas menyatakan Cina melanggar atau tidak melanggar Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Natuna Utara.
Di sisi lain, Dinna menyebut tindakan Cina masuk ke ZEE Indonesia adalah untuk menguji kesetiaan negara kawasan ASEAN, khususnya Indonesia. Sebab Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kerjasama di bidang infrastruktur dengan Cina.
“Kita diuji kesetiaan kita. Bahasa saya kesetiaan karena Cina kalau memberi bantuan dia selalu minta balik ‘kamu bisa kasih saya apa?’. Pamrihnya itu langsung keliatan,” ujarnya. (CNN Indonesia 13/01/2020)
Nyatanya memang Cina merupakan investor terbesar di negeri ini. Semua infrastruktur yang saat ini gencar dibangun adalah hasil kerjasama dan pinjaman darinya. Maka sangatlah wajar jika publik berprasangka demikian.
Membuka kran investasi khususnya pada pihak asing dan aseng di alam demokrasi kapitalis seperti saat ini tak ubahnya dengan memberikan peluang kepada penjajah untuk masuk ke dalam negeri ini. Investasi layaknya penjajahan gaya baru negara adidaya untuk menancapkan hegemoninya. Buktinya saat ini, industri-industri yang seharusnya berada di tangan pemerintah, tak sedikit yang berada dalam genggaman investor dalam maupun luar negeri. Pemerintah tampak bak pelayan bagi mereka. Maka bukan suatu kemustahilan jika kedaulatan negeri pun tergadaikan hingga tidak tersisa wibawa di hadapan negara penanam investasi.
Islam sebagai agama paripurna sungguh mempunyai pandangan terkait hal ini. Bahwasanya kedaulatan mutlak berada di tangan syara. Sementara kekuasaan termasuk di dalamnya, mengenai kekuasaan wilayah negara Islam berada di tangan pemimpin negara (khalifah) yang kepemimpinannya juga berdasarkan syariat. Khalifah akan menjaga setiap jengkal wilayah yang berada dalam kekuasaan dan periayahannya (pengurusannya). Sehingga tidak akan ada kaum kafir yang berani untuk menjajahnya.
Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim, serta dianugerahi Allah Swt. dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Namun sayang semua itu tidak dikelola dengan aturan yang Allah Swt. turunkan. Karena itu keberkahan pun sulit didapatkan hingga dirundung berbagai kesulitan.
Oleh karena itu, kembali pada syariat Islam adalah satu-satunya solusi bagi seluruh permasalahan ini dan seluruh permasalahan lain yang ada dalam kehidupan dunia. Syariat yang diterapkan secara menyeluruh di bawah naungan Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah Sehingga akan menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Waallahu a’lam bi ash-shawab
Oleh: Sriyanti (Ibu Rumah Tangga tinggal di Bandung)