Pada tanggal 10 Maret 2020, di Hotel Aryaduta Jakarta, BNPT meluncurkan buku panduan tentang pencegahan radikalisme. Buku tersebut sebagai panduan di lingkungan BUMN dan swasta (www.liputan6.com, 10 Maret 2020).
Suhardi Alius, Ketua BNPT menegaskan bahwa dengan buku panduan ini agar bisa diantisipasi potensi radikalisme yang melahirkan aksi terorisme pada ASN dan karyawan swasta. Dengan begitu, bisa direduksi dan dihilangkan. Kita bisa fokus membangun untuk kemajuan bangsa.
Lagi – lagi yang dijadikan alibi untuk membenarkan tudingan radikalisme adalah ISIS. Ansyad Mbai menegaskan bahwa virus radikal ISIS itu lebih berbahaya dibandingkan virus Corona atau Covid-19. Alasan utamanya karena virus radikal ISIS itu bisa merusak keutuhan bangsa dan negara, tuturnya (www.liputan6.com, 07 Maret 2020).
Tatkala ISIS mengklaim telah menegakkan Negara Islam dengan track record berdarah – darahnya, ditariklah kesimpulan bahwa upaya menegakkan negara Islam itu adalah paham radikal. Sangat berpotensi melahirkan terorisme. Hal ini bisa kita pahami dari pernyataan Divhumas Polri, Brigjend Budi Setiawan bahwa bila ditemukan penyebaran paham pro Khilafah di medsos untuk segera dilaporkan (www.editor.id, 9 Maret 2020).
Sesungguhnya ISIS merupakan aksi false flag. Menurut pengakuan Snowden, berdasarkan teori konspirasi yakni Teori “Sarang Lebah”, ISIS sengaja diciptakan untuk melakukan peperangan abadi dengan Islam, khususnya perjuangan penegakkan Khilafah. Ada 3 intelegent negara sebagai aktor ISIS yakni, Inggris (M16), USA (FBI-CIA) dan Israel (Mossad).
Di samping itu, yang patut dipahami adalah Khilafah itu ajaran Islam. Referensi otoritatif untuk menegakkannya adalah merujuk siroh Nabi saw. Nabi saw dan sahabatnya dalam menegakkan negara Islam menggunakan metode tholabun nushroh (mencari perlindungan dakwah) dari ahlul quwwah yang mendukung sistem Islam. Jadi sifat metode Nabi adalah pemikiran dan perjuangan politik. Bukan dengan kekerasan.
Oleh karena itu, menjadikan ISIS sebagai tameng guna memusuhi perjuangan Syariat Islam dan Khilafah adalah bentuk penentangan kepada Alloh Swt dan Rasululloh Saw.
Adapun terkait upaya mereduksi potensi radikalisme di lingkungan ASN dan swasta, bisa disebut terlalu berlebihan. Bahkan berpotensi saling mencurigai antara atasan dan bawahan, serta sesama karyawan dan pegawai. Hal demikian hanya akan menciptakan suasana kerja yang tidak kondusif.
Lantas, di mana nalarnya kondisi sedemikian mampu digunakan untuk menciptakan produktifitas kerja membangun bangsa?
Bukankah di dalam jam kerja, sudah memiliki aturan kedisiplinan dan penilaian kerja?
Sesungguhnya akad kerja itu hanya diukur dari keahlian yang dimiliki pegawai dalam rentang waktu kerja. Dari sinilah perhitungan gaji diberikan.
Di dalam Islam terdapat seperangkat aturan kerja. Satu sama lain, antara majikan dan pegawai tidak boleh saling berkhianat dalam kerja. Misal termasuk perbuatan khianat di antaranya, saat jam kerja dipakai belanja ke pasar.
Di luar akad kerja, tentunya setiap orang berhak mengatur dirinya sendiri, termasuk pengembangan dirinya. Selama tidak melakukan kemaksiatan dan pengrusakan, tentunya seseorang tidak bisa terkena delik hukum apapun. Bagi seorang muslim, standar perbuatannya adalah halal dan haram. Setiap perbuatan yang dibolehkan bahkan diperintahkan oleh Islam, maka akan dilakukannya. Sebaliknya, setiap perbuatan yang diharamkan Islam, maka akan ditinggalkannya. Alasannya, setiap perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Alloh swt.
Seharusnya yang dilakukan oleh pemerintah di lingkungan BUMN termasuk swasta adalah membina iman dan taqwa para pegawai. Dengan begitu bisa diberantas perbuatan korupsi, kolusi dan nepotisme yang merugikan negara. Para pegawai dipahamkan tentang hukum akad kerja di dalam Islam. Bukan malah mengkriminalisasi ajaran Islam, Khilafah, yang sejatinya adalah sesuatu yang bisa melahirkan kesejahteraan dan keberkahan. Alloh swt menyatakan dalam firmanNya yang artinya: “Wahai orang yang beriman, penuhilah panggilan Alloh dan Rasul, tatkala kalian diseru kepada sesuatu yang menghidupkan kalian” (TQS, al Anfal ayat 24).
PR besar yang seharusnya menjadi garapan pemerintah adalah korupsi, kemiskinan, utang yang menumpuk, penjajahan asing dan aseng. Semuanya bermula dari sistem kenegaraan dan pemerintahan yang dijalankan berasaskan sekulerisme. Inilah bentuk terorisme negara terhadap rakyatnya.
Bukankah Sayyidina Ali bin Abi Tholib ra memperingatkan
كادالفقرانيكونكفرا
Seringkali kemiskinan menjadi penyebab terjadinya kekufuran.
Bercermin pada kondisi ekonomi yang serba sulit saat ini, rakyat harus berjuang sendiri untuk bertahan hidup. Yang imannya lemah, tidak jarang mereka melakukan kejahatan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhannya.
Jika demikian, untuk bisa keluar dari krisis akibat penerapan sekulerisme, kalau bukan dengan sistem Islam (Syariah dan Khilafah), lantas dengan apa? Mereka yang berpikir jernih tentunya tidak ingin jatuh ke dalam lubang yang sama untuk kedua kalinya, bukan.
Oleh Ainul Mizan (Pemerhati Politik)
Penulis tinggal di Malang