Gepeng Makin Banyak, Ekonomi Terbatas atau Mentalitas?

Wulan Amalia Putri

Geliat modernisasi dan semakin meningkatnya kebutuhan hidup senantiasa beradu. Ceritanya bukan hanya tentang memenuhi kebutuhan perut namun kadangkala soal intrik dan sikut menyikut. Di hari-hari biasa, apatah lagi pada kondisi mewabanhnya Covid-19, berbagai aktivitas beserta konsekuensinya sering menimbulkan masalah sosial. Satu di antara adalah semakin banyaknya Gelandangan dan Pengemis (Gepeng) yang lalu lalang di sekitar kita, baik di trotoar, di lampu merah atau di berbagai tempat lainnya.

Tak dapat dipungkiri, jumlah gepeng cukup banyak di Indonesia. Dilansir dalam inilahsultra.com (13/3/2020), 50 orang gelandangan dan Pengemis di Kota Kendari, terjaring razia. Gepeng tersebut terdiri dari 10 orang anak di bawah umur, orang dewasa dan orang tua sebanyak 29 orang serta lansia sebanyak 11 orang.
Sementara itu, pada tahun 2019, Menteri Sosial Agus Gumiwang Kartasasmita mengungkapkan menurut perkiraan, terdapat 77.500 gelandangan yang tersebar di kota besar di Indonesia. Jumlah ini terus menanjak pada saat hari raya, karena itu jumlah pastinya tidak dapat ditentukan. “Tapi jumlah ini tidak bisa dijadikan patokan karena agak sulit mendata populasi gepeng (gelandangan pengemis), apalagi ini naik pada saat hari-hari besar seperti hari raya”, (indozone.id, 22/8/2019).

Iklan KPU Sultra

Lonjakan gepeng juga terjadi pada masa pandemi di tahun ini. Terkadang mengagetkan karena seringnya masyarakat melihat keberadaan mereka di ruas jalan utama ataupun di lorong kompleks perumahan. Bukan hanya orang dewasa atau anak-anak, namun kemunculan gepeng yang masih berada dalam satu rumpun keluarga inti, tentunya lebih membuat miris. Ibu menggendong balitanya dengan ditemani anak-anaknya yang lain ,berpakaian seadanya dan “nongkrong” di beberapa fasilitas umum, kerap dijumpai. Tampak seperti terorganisir, namun tak mudah untuk mengurai persoalan ini karena terlalu banyaknya hal yang harus dikaji dan dituntaskan.

Diwarnai Eksploitasi?

Gelandangan dan Pengemis (gepeng) adalah salah satu dari 26 jenis Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Kategorisasi ini sebagaimana termuat dalam Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No. 08 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendataan dan Pengelolaan Data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dan Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS). Menurut Permensos tersebut, pengemis adalah orang-orang yang mendapat penghasilan dari meminta-minta di tempat umum dengan berbagai cara, dengan alasan untuk mengharapkan belas kasihan orang lain. Adapun gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai pencaharian dan tempat tinggal yang tetap serta mengembara di tempat umum.

Seperti yang telah dikemukakan, masalah gepeng bukan masalah sederhana. Menteri Sosial era tahun 2019, Gumiwang Kartasasmita mengungkapkan bahwa masalah gepeng adalah masalah sistemis lintas daerah yang membutuhkan solusi cepat dan berkelanjutan. Menurutnya, gelandangan dan pengemis antara lain muncul karena pembangunan yang tidak merata yang akhirnya mendorong warga miskin di perdesaan dan daerah-daerah mengadu peruntungan di kota yang lebih besar. “Cerita sukses pendatang ikut meramaikan persaingan pertumbuhan penduduk di perkotaan menjadi tak seimbang antara ruang dan peluang pekerjaan,”kata Agus. (kompas.com,22/8/2019).

Masalah Gepeng bukanlah masalah tunggal. Artinya, masalah gepeng bisa menimbulkan masalah lain yang tidak kalah peliknya. Bukan sebagai akibat, tetapi menjadi masalah penyerta yang membuat penyelesaian masalah ini tidak bisa hanya menggunakan satu atau dua teori. Metode dan teknik Pekerjaan Sosial (Social Work) tidak dapat berjalan sendiri, karena penyelesaian masalah ini melibatkan sistem. Harus ada penggabungan berbagai teori dan metode untuk –setidaknya- mengendurkan lingkaran setan yang seperti tak berujung.

Awalnya, perihal gepeng dapat dikaitkan dengan rendahnya pengetahuan atau skill para pendatang yang membuat mereka tak mampu berjalan beriringan dengan permintaan pasar. Apalagi dalam kehidupan kapitalistik dan invidualistis saat ini yang semuanya serba mahal. Meskipun berkali-kali mencoba, kegagalan dalam usaha terus menghampiri. Di sisi lain, kebutuhan keluarga akan permakanan atau kebutuhan sekunder lainnya tak pernah absen walau sebentar. Mau tak mau, meminta belas kasihan orang lain menjadi solusi sementara sampai mendapatkan tempat bekerja yang cukup layak.

Namun, tak jarang pula ditemui adanya sekelompok orang yang menjadikan gepeng sebagai profesi. Mengajak anak istri bukan lagi suatu hal yang memalukan, justru menjadi aset untuk semakin membuncahkan rasa iba di hati orang yang melihat. Mentalitas seperti ini melahirkan masalah baru berupa eksploitasi anak dan munculnya pekerja anak (Child Labour). Jika dihubungkan lebih jauh dengan kehidupan jalanan – meski tak selalu buruk-, pelecehan seksual atau transaksi narkoba dan kriminalitas lainnya bisa ikut. Lalu masalahnya tidak sebatas mengatasi gepengnya yang muncul karena adanya keterbatasan ekonomi. Tapi juga berkaitan dengan lemahnya konsep diri (self concept) dan munculnya rasionalisasi terhadap seluruh rangkaian masalah yang terjadi sebagai bentuk mekanisme pertahanan diri (defence mecanism) yang menghilangkan rasa malu untuk meminta-minta.
Selain itu, fenomena keluarga yang bersama-sama menjadi gelandangan dan pengemis (gepeng) secara tidak langsung menampakkan abnormalitas penyelenggaraan fungsi keluarga. Mungkin saja, sudah terjadi pergeseran dalam memahami fungsi keluarga dimana keluarga sebagai “rumah”, keluarga yang menjalankan fungsi pengasuhan atau fungsi religi sudah tidak dapat ditemukan. Mengenai keberfungsian sosial (social functioning) tentu saja sudah melemah pada kondisi ini.
Karena itu, kompleksnya permasalahan gepeng dan masalah sosial lain yang ditimbulkannya tentu butuh solusi yang komprehensif. Apakah cukup hanya Dinas Sosial dan Satpol PP yang merazia? Tentu tidak. Sebab, masalahnya bukan hanya tentang keterbatasan ekonomi, tapi juga budaya kemiskinan yang melahirkan pola pikir (midset) ke arah yang destruktif. Ini masalah sistemik.

Konsep Tangan Di Atas

Dari Qabishah bin Mukhariq Al-Hilali re, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Qabishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah sat dari tiga orang: (1) seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti, (2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, (3) seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup. Sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, “Si Fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai ia mendapat sandaran hidup. Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, Wahai Qabishah! Adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram.” (HR. Muslim, Abu Dawud, na-Nasa’i dan selainnya). Selain hadis ini, terdapat pula hadits Nabi SAW lainnya yang menjelaskan tentang keutamaan tangan yang berada di atas (memberi), daripada tangan yang berada di bawah (menerima).

Bukan perkara kecil, aktivitas meminta-minta karena kesengajaan diserupakan dengan memakan bara api. Sebagaimana diceritakan dari Hubsyi bin Junadah, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa meminta-minta padahal dirinya tidaklah fakir, maka seakan-akan ia memakan bara api.” (HR. Ahmad). Berdasar hadits ini dan sejenisnya, nyatalah bahwa aktivitas mengemis atau meminta-minta yang disengaja dan dibuat-buat, yang lahir dari mentalitas tidak etis bukanlah perilaku yang layak dipertahankan, justru harus ditinggalkan.

Adapun permasalahan kesenjangan miskin kaya yang menjulang tinggi dan menjadi penyebab munculnya masalah sosial seperti gepeng, perlu keterlibatan berbagai pihak dalam menyelesaikannya. Secara pribadi, konseling psikososial tetap dijalankan oleh Pekerja Sosial bersama Psikolog dan profesi pertolongan lainnya yang diperlukan. Namun karena masalah gepeng adalah masalah sistem, maka solusi sistem yang melibatkan berbagai unsur, penting untuk ditempuh. Sama pentingnya dengan menghadirkan solusi ideologis religius dalam solusi tersebut.

Pertama, Individu bertakwa. Individu yang bertakwa tentu saja tidak akan melakukan perbuatan atau aktivitas yang melanggar perintah Allah SWT. Sebab, dipahami bahwa hal tersebut akan menjadi dosa baginya. Pemahaman mengenai ar-rizqu minallah akan terpatri kuat sehingga seorang individu bertakwa akan berupaya mencari pekerjaan halal meskipun gajinya sedikit, namun tetap berkah. Demikian pula bahwa seorang ibu atau ayah tidak akan mengeksploitasi anaknya dengan sengaja demi keuntungan materi.

Kedua, masyarakat yang bertakwa. Ketakwaan tidak boleh hanya dimiliki oleh individu, namun juga oleh masyarakat. Kepedulian masyarakat akan nasib anggota masyarakat lainnya akan melahirkan ukhuwah dan apa yang disebut sebagai kesetiakawanan sosial. Pemahaman akan peran masyarakat dalam ketahanan keluarga yang dilandasi nilai Islam, misalnya, akan menumbuhkan upaya tolong menolong dalam pekerjaan, pencarian nafkah atau pengasuhan. Masyarakat akan bertindak untuk membantu atau bahkan melaporkan ke pihak pemerintah, jika ada tindakan eksploitasi atau penyimpangan nilai dan norma dalam lingkungan mereka. Kungkungan individualisme akan ditinggalkan, berganti rasa peduli yang diformalkan.

Ketiga, negara yang bertakwa. Individu dan masyarakat yang bertakwa harus dipimpin dengan pemerintahan yang bertakwa. Yang merangkum dan melaksanakan aturan dengan dasar ketakwaan pada Allah SWT. Aktivitas razia misalnya, didasari dengan kasih sayang kepada sesama manusia, dilakukan dengan persuasif. Walaupun akhirnya bertindak lebih “keras”, bukan karena benci, tetapi bertujuan untuk mendidik (ta’dib).

Pemberian keterampilan vokasional didasarkan pada kebutuhan dan kemampuan klien agar ilmu bisa lebih aplikatif. Demikian pula bantuan stimulannya. Begitupula aktivitas pelayanan di rumah singgah, konseling psikologis atau bimbingan lanjut, dilengkapi ketersediaan operasionalnya dan tentunya dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Dalam Islam, Imam laksana perisai, Rasulullah bersabda: “ Sesungguhnya Imam itu (laksana) perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaannya). Jika seorang Imam memerintahkan supaya takwa kepada Allah dan berlaku adil, maka ia mendapatkan pahala karenanya, dan jika ia memerintahkan selain itu, maka ia akan mendapatkan siksa.” (HR. Bukhari, Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad). Wallahu a’lam Bishawwab.

Oleh: Wulan Amalia Putri, S.S.T
(Pekerja Sosial di Kolaka)