Menimbang Keadilan Dalam Kasus Novel Baswedan

ILUSTRASI

Publik, terutama jagat Twitter dibuat meronta pada pekan lalu dengan tagar #TidakSengaja. Tagar yang sempat merajai trending twitter tersebut diakibatkan penjatuhan hukuman yang dinilai kurang adil. Dengan dalih dan anggapan sebagai perbuatan yang tidak disengaja, kedua pelaku “berhasil” dituntut selama satu tahun penjara oleh jaksa penuntut umum.
Dalam pertimbangan surat tuntutan yang dibacakan jaksa penuntut umum di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jalan Gajah Mada, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (11/6/2020), jaksa menyebut kedua terdakwa tidak sengaja menyiramkan air keras ke bagian wajah Novel. Menurut jaksa, kedua terdakwa hanya ingin menyiramkan cairan keras ke badan Novel. (detik.com, 11 Juni 2020).

Tuntutan hukuman ini lantas menjadi tidak seimbang jika dibandingkan dengan kasus-kasus lain yang sama-sama menggunakan air keras. Misalnya, pada Juni 2018, penyiraman air keras Ruslam terhadap istri serta mertuanya membuatnya diganjar 10 tahun penjara.
Selanjutnya, terjadi pada Oktober 2018, yaitu penyiraman air keras Rika Sonata terhadap suaminya. Ia dituntut jaksa dengan pidana 10 tahun penjara. Namun, Majelis Hakim memberikan vonis lebih berat, yakni 12 tahun penjara.

Iklan KPU Sultra

Terkini, penyiraman air keras Heriyanto terhadap istrinya hingga meninggal dunia pada 12 Juli 2019. Jaksa menuntut Heriyanto dengan pidana 20 tahun penjara. Tuntutan itu dikabulkan Majelis Hakim PN Bengkulu.
Tak hanya netizen, namun babak baru kasus ini turut “diserang” tanda tanya yang hadir dari politikus seperti Rocky Gerung, yang berpendapat bahwa tuntutan satu tahun oleh JPU dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara terhadap terdakwa pelaku merupakan tuntutan yang irasional. Untuk itu, pihaknya menggalang gerakan dengan menamai sebagai ‘New KPK’ untuk menghalangi mata publik dibutakan oleh air keras kekuasaan. (vivanews.com, 14 Juni 2020).

Kasus ini pun semakin menggeliat, pasalnya seorang komedian, Bintang Emon turut bertutur, “Katanya enggak sengaja, tapi kok bisa, sih, kena muka? Kan, kita tinggal di bumi, gravitasi pasti ke bawah. Nyiram badan enggak mungkin meleset muka,” dalam videonya.

Hanya saja, hal yang bertolak belakang justru lahir dari Novel Baswedan sendiri, yang seakan sudah lelah menanggapi kasus yang menimpanya. Bahkan ia sempat mengatakan di akun Twitter-nya agar pelaku penyiraman air keras terhadap dirinya dibebaskan. Ia tidak yakin bahwa Ronny Bugis dan Rahmat Kadir adalah pelaku penyiraman air keras ke wajahnya pada 2017 silam.

Sikap “menyerah” yang ditampakkan oleh Novel sebetulnya cukup beralasan. Pasalnya, pengacara tersangka, dari Divisi Hukum Polri yang diketuai Irjen Rudy Heriyanto Adi Nugroho menuding kebutaan permanen mata Novel karena kesalahan penanganan medis bukan disebabkan terkena air keras yang disiram.

Begitulah, babak baru drama penyiraman air keras ini memang baru kembali digelar setelah sebelumnya mandeg. Bila mencermati kembali pernyataan Jaksa, kasus Novel seolah membongkar nalar kita bahwa hukum di negeri ini masih ditimbang dalam sebuah timbangan hukum yang seolah berat sebelah. Alasannya, kasus-kasus penyiraman air keras yang terjadi sebelumnya melahirkan tuntutan sampai 10 tahun lebih masa kurungan. Namun dalam kasus ini, air keras yang berhasil membutakan sebelah mata manusia hanya dihargai tuntutan masa kurungan selama satu tahun saja.

Melihat kasus di atas, Novel Baswedan sebagai rakyat seolah tak mendapat haknya di sistem demokrasi yang merajai negeri ini. Jargon dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat seolah menjadi pemanis saja karena ternyata tidak semua rakyat mendapat pembelaan yang sama.

Ketidakadilan ini lagi-lagi menjadi bukti bahwa satu manusia belum tentu mampu mengatur manusia yang lain. Setiap manusia pasti punya kepentingan, dan mereka berjalan di atas kepentingan mereka masing-masing. Sehingga bak mendirikan benang basah, rakyat hanya mampu menelan kecewa saat harus bergantung pada keadilan sistem hukum yang dibuat manusia.

Hal ini jelas akan berbeda jika manusia mampu menggantungkan semua aturan dalam kehidupannya pada sistem hakiki buatan Allah swt. Allah swt merupakan Khaliq, sang pencipta. Manusia diciptakan oleh Allah swt, sehingga Allah swt pasti tahu mengenai segala hal yang baik untuk mengatur hamba-Nya. Allah swt tahu mana hukum yang baik atau buruk bagi ciptaannya, sehingga saat makhluknya mau diatur oleh aturan Allah swt, mereka tak akan kecewa.
Menilai hukum bagi kasus Novel Baswedan yang menyederai mata beliau, dalam pandangan Islam akan dikenai sanksi jinayat. Dalam hal ini, jinayat yang dimaksud ialah wajib membayar diyat (denda) sesuai dengan batas yang ditetapkan berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah.

Untuk satu biji mata dikenakan ½ diyat. Ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw., “Pada dua biji mata dikenakan diyat.” Dalam riwayat Imam Malik dalam Muwattha’, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga besabda, “Pada satu biji mata, diyat-nya 50 ekor unta.”
Harga satu ekor unta biasa pada tahun 2018 sekitar Rp 20-50 juta. Maka harga denda bagi satu mata saja dalam pandangan Islam sekitar Rp 1-5 Milyar. Ini merupakan harga yang fantastis, yang menandakan bahwa hukum buatan Allah swt tidak pernah memandang murah akan adanya tindak kedzaliman pada makhluk ciptaan-Nya. Sehingga seorang hamba akan berpikir ratusan kali untuk mendzalimi hamba yang lain.

Selain itu, sistem persanksian dalam Islam mengandung dua tujuan. Yang pertama, adalah zawajir yakni mampu mencegah orang lain untuk melakukan tindakan kriminal serupa. Kemudian yang terakhir adalah jawabir yakni menjadi penebus dosa atas siksaan pelaku di akhirat kelak.
Begitulah bagaimana Islam mampu memberi keadilan yang tak berujung kecewa bagi umat-Nya. Sementara jika kita sebagai umat muslim masih menimbang keadilan dalam hukum dengan timbangan miring saat ini, pasti hanya akan berpangkal kecewa. Kiranya, firman Allah swt ini cukup relevan untuk diambil hikmahnya, “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS. Al-Ma’idah Ayat 50)
Wallahu’alam bish shawab.

Oleh: Dyah Pitaloka, S.Hum
(Aktivis Muslimah Rindu Surga, Media Enthusiast)