Saat TKA Berlabuh, Saat Kartu Prakerja Bermasalah

Ummu Zhafran

(Praktisi Pendidikan, Komunitas AMK)
Sebanyak 105 Tenaga Kerja Asing (TKA) asal China kembali mendarat di Bandara Halu Oleo Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) kemarin. (kompas.com, 30/6/2020)
Di saat yang hampir bersamaan, KPK merilis temuan masalah dalam program Kartu Prakerja. Antara lain, pertama, pendaftar tak sesuai dengan target yang disasar. Kedua, kemitraan dengan delapan perusahaan platform berbasis digital ternyata tidak melalui mekanisme pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Ketiga, KPK juga menemukan bahwa kurasi materi pelatihan tidak dilakukan dengan kompetensi yang memadai. Keempat, metode pelatihan yang dilaksanakan secara daring berpotensi fiktif, tidak efektif, dan merugikan keuangan negara. ( tempo.co, 28/6/2020).

Iklan KPU Sultra

Duh, memprihatinkan! Padahal Kartu Prakerja konon ditujukan untuk menopang angkatan kerja anak negeri yang belum beruntung. Nyatanya bagai bom waktu, berpotensi meledakkan sejuta masalah.
Di sisi lain tenaga kerja asing dibiarkan melenggang. Siap mencaplok peluang kerja yang idealnya disediakan untuk generasi ibu pertiwi. Meminjam bahasa milenial untuk menggambarkan kondisi kini, sakitnya tuh di sini.

Saat Main Mata Terjadi ..
Siapa? Ya, kartu Prakerja dan TKA boleh saja berbeda topik namun menandakan hal yang sama. Main mata antara birokrat dan korporasi yang notabene pemilik kapital tak malu-malu lagi dipertontonkan. Temuan KPK atas berbagai kejanggalan dalam urusan kartu Prakerja di atas mengirim sinyal akan hal tersebut. Platform yang menjalin kemitraan seluruhnya merupakan korporasi startup yang telah menggurita macam Tokopedia, Ruangguru, Mau Belajar Apa, Bukalapak, Pintaria, Pijar Mahir, dan Sekolahmu.

Demikian pula TKA. Publik dapat menilai sendiri, di balik keukeuhnya pemerintah menerima kedatangan pekerja asing, apa lagi yang tersisa selain kesepakatan yang terjadi di belakang layar antara pemegang kebijakan dengan tuan pemilik modal. Adalah PT Virtue Dragon Nickel Industry VDNI (VDNI) dan PT Obsidian Stainless Steel (OSS) di Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe yang telah teken kontrak dengan nilai investasi mencapai US$ 1 miliar atau sekitar Rp 14 triliun. (kompas.com, 25/2/2019)

Maklum jika kesan yang ditangkap masyarakat bahwa pemerintah tidak serius mengurusi hajat hidup masyarakat dalam hal menyediakan lapangan kerja. Ditambah minim empati akan kesulitan hidup yang terdampak pandemi. Lebih berpihak pada pemilik kapital asing dan Aseng ketimbang berdiri di atas kepentingan warga negara sendiri.

Sejumput tanya mengemuka, adakah udang di balik batu? Entah, namun salah satunya seperti yang diwanti-wanti lembaga anti rasuah. Meski tak merinci dugaan korupsi, lima dari delapan perusahaan penyedia platform prakerja tersebut dinilai KPK memiliki konflik kepentingan yang berpotensi mengarah ke tindakan korup. Rekomendasi pun dikeluarkan kepada pemerintah agar menunda pelaksanaan program kartu prakerja sampai ada perbaikan. (kontan.co.id, 21/6/2020).

Demikianlah, aroma perselingkuhan antara penguasa dan korporasi bukan rahasia lagi dalam sistem demokrasi kapitalisme yang kini berlaku. Tak lain karena modal untuk menjadi penguasa di sistem ini kelewat mahal. Begitu mahal hingga kehormatan dan integritas diri tak jarang ikut tergadai. Semua demi kekuasaan dan ambisi pribadi. Di level selanjutnya, bahkan dimungkinkan korporat adalah penguasa itu sendiri atau sebaliknya, penguasa merangkap pemilik modalnya sendiri.

Imbasnya, relasi penguasa dan rakyat tak lagi berbasis melayani tapi berganti bagai antara penjual dan pembeli. Tandanya? Nyaris tiada lagi yang gratis dengan dicabutnya segala subsidi. Seolah berlaku konsep hitung-hitungan untung dan rugi di mana rakyat dianggap beban jika masih terus didanai dari kas negara.

Benang merah dari penjelasan di atas, dapat dikatakan selama demokrasi kapitalisme masih dibiarkan bercokol di bumi zamrud khatulistiwa bukan tak mungkin kondisi seperti sekarang ini akan terus berulang. Rakyat dibiarkan berjuang sendiri memenuhi hajat diri. Alih-alih menyediakan lapangan kerja yang memadai, yang ada malah diberikan pada tenaga kerja dari luar negeri. Butuh solusi tepat yang dapat memecahkan problem ini tuntas dari akarnya hingga selesai.

Saat Islam Menjamin Lapangan Kerja
Konsekuensi iman menuntut kita untuk tak pernah ragu akan kebenaran Islam dan sedia menaati seluruh yang datang dengannya. Dalam Islam hal yang ada relasinya dengan kemaslahatan masyarakat merupakan tanggung jawab negara.

Tampak dalam hal pekerjaan, Islam memberi mandat pada negara, dalam hal ini Khalifah untuk menyediakan lapangan kerja yang memadai bagi warga negaranya. Khususnya bagi setiap laki-laki yang wajib bekerja dan menafkahi keluarganya. Histori mencatat bahwa setiap orang yang memiliki status kewarganegaraan dan memenuhi kualifikasi, baik laki-laki maupun perempuan, muslim maupun non muslim boleh menjadi pegawai di bidang pemerintahan misalnya baik departemen, jawatan, atau unit-unit yang ada.

Sejumlah lapangan kerja lain yang dapat menggerakkan roda ekonomi secara real pun tak ketinggalan bakal dijamin tersedia dan menanti untuk diisi. Di bawah kepemimpinan yang tegas dalam ketaatan pada syariat kaffah, masalah ketenagakerjaan akan siap diatasi.

Khalifah Umar ra. pernah menegur orang-orang yang berdiam di masjid pada jam kerja dengan alasan sedang bertawakal pada Ilahi. Saat itu beliau berkata, “Kalian adalah orang-orang yang malas bekerja, padahal kalian tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak.” Kemudian khalifah mengusir mereka dari masjid dan memberi cuma-cuma setakar biji-bijian untuk ditanam agar kelak bisa dipetik hasilnya sendiri.
Sudah tentu jika ingin meniru Khalifah Umar ra. harus meneladani teladan terbaik yang diutus Allah untuk umat manusia hingga akhir zaman. Siapa lagi selain Rasulullah saw.?

Sedang Rasul saw. telah bersabda, “Imam/Khalifah adalah pemelihara urusan rakyat; ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Wallaahu a’lam.

Oleh : Ummu Zhafran