Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

900 Juta, Ke Mana Gerangan Perginya Integritas?

993
×

900 Juta, Ke Mana Gerangan Perginya Integritas?

Sebarkan artikel ini
900 Juta, Ke Mana Gerangan Perginya Integritas?
Ummu Zafran

Ada tujuh hal yang akan menghancurkan kita: Kekayaan tanpa kerja; Kenikmatan tanpa nurani; Pengetahuan tanpa karakter; Agama tanpa pengorbanan; Politik tanpa prinsip; Ilmu tanpa kemanusiaan; Bisnis tanpa etika.

Mahatma Gandhi

Menarik kutipan di atas bila direlasikan dengan kondisi terkini. Diketahui, KPK menetapkan Wahyu Setiawan (Komisioner KPU) sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait dengan penetapan PAW anggota DPR 2019-2024 dari PDIP.

Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar menjelaskan Wahyu diduga menerima hadiah terkait dengan penetapan anggota DPR terpilih 2019-2024. Ia diduga meminta uang Rp900 juta untuk membantu politikus PDIP Harun Masiku sebagai pengganti anggota DPR yang meninggal dunia, Nazarudin Kiemas. (cnnindonesia, 14/1/2020).

Publik pun dibuat heboh.  KPU selama ini dikenal berambisi sebagai penyelenggara Pemilu yang berintegritas.Namun dengan peristiwa ini banyak pihak justrumempertanyakan adanya integritas itu.Apalagi kasus ini menyeret nama partai politik pemenang Pemilu lalu.  Padahalharus diakuiperkara ini hanya menambah daftar sebelumnya. Sebelumnya telah banyak politisi dan yang terkait dengan politisi mengalami nasib serupa.  Tak kuasa dihadang godaan  harta benda. Meski entah apakah untuk kepentingan pribadi ataupun partai.

Tak dapat disangkal, budaya korup dan menerima suap sejak lama menggejala. Di segala lini dan lapisan.Tak heran Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan KPK yang lalu, Ranu Wiharja bahkan pernahmenceritakan metamorfosis korupsi,

 “Awalnya korupsi hadir itu untuk mempertahankan hidup, dilakukan PNS pangkat rendahan, namun merambah ke pelaku usaha yang bukan untuk bertahan hidup tetapi serakah. Selanjutnya, korupsi dilakukan oleh politisi untuk mempertahankan kekuasaan,” katanya (kompas.com, 13/12/2018)

Jika sebelum menjadi wakil rakyat seseorang  sudah melakukan suap, bagaimana ia bisa berkhidmat pada kepentingan rakyat?Jujur saja, potret demokrasi di negeri ini kian buram.  Bila diibaratkan bangunan, praktik demokrasi sudah keropos.  Digerogoti rayap secara laten dan simultan.  Mustahil dibasmi sebab melekat pada demokrasi sejak lahirnya.

Demokrasi, biang kerok?

Ya, sebab demokrasi meniscayakan ongkos politik yang mahal. Mengutip dari liputan6.com terkuak modal untuk maju sebagai calon anggota legislatif tidak sedikit. Minimal si calon legislator (caleg) harus merogoh kocek hingga Rp 1 miliar. Seperti yang dikatakan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Golkar, Bambang Soesatyo, “Untuk pemilihan langsung seperti sekarang ini. Kalau caleg itu benar-benar serius dibutuhkan paling sedikit Rp 1 miliar. Kecuali kalau hanya iseng-iseng berhadiah,” singkatnya (23/4/2013). Luar biasa! Untuk apa saja biaya sebesar itu? Masih menurut Bambang, alokasinya antara lain, akomodasi ke daerah pemilihan mencakup transportasi dan penginapan.

Belum lagi biaya kampanye (Logistik atau atribut, seperti kaos, spanduk, kalender, umbul-umbul, baliho, iklan di media lokal). Tak ketinggalan biaya bantuan sosial seperti perbaikan musala, masjid, gereja, jalan desa, dan lain-lain. Juga biaya pengumpulan massa serta biaya saksi di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS). Berkisar Rp 50 ribu – Rp 100 ribu per-orang (liputan6.com)

Demikianlah semata meraih kursi, miliaran melayang. Tak urung bila terpilih, tak sedikit yang mengharap modal kembali. Untuk kasus yang melibatkan  komisioner KPU malah lebih parah lagi.  Mengambil jalan pintas memberi dan menerima suap dengan memanfaatkan salah satu kader yang telah berpulang.  Tidakkah ini sama dengan menghalalkan segala cara demi ambisi dan kuasa?  Miris.

Bila dicermati hal tersebut wajar, sebab demokrasi memang tak kenal halal dan haram. Sekularisme yang menjadi asasnya menolak campur tangan syariat Sang Pencipta. Maka lambat laun perilaku mengambil sesuatu yang bukan hak menjadi hal biasa. Rasa takut karena yakin akan pengadilan di hari kiamat seolah menguap entah ke mana. Layak menyeruak tanya retoris, masihkah bisa berharap pada demokrasi?

Solusi dari Langit

Berbeda dengan demokrasi, Islam mendasarkan segala sesuatunya pada iman. Yaitu keyakinan yang kokoh pada Allah, Rasulullah saw. dan risalah Nabi juga hari perhitungan kelak. Konsekuensinya menuntut selalu tunduk pada syariat. Bukan memperturutkan akal manusia dan hawa nafsu seperti pada demokrasi. Namun semata taat pada syariat Allah yang menghadirkan solusi segala problem kehidupan, termasuk dalam perkara suap menyuap.

Risywah alias suap menurut bahasa dalam kamus al-Mishbahul Munir dan Kitab Muhalla Ibnu Hazm yaitu “Pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau lainnya untuk memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak dibenarkan atau untuk mendapatkan sesuatu yang sesuai dengan kehendaknya.”

Secara istilah rasuah didefinisikandengan

harta yang diberikan kepada setiap pemilik kewenangan (shahibusshalahiyah) untuk mewujudkan suatu kepentingan (Maslahah) yang seharusnya wajib diwujudkan tanpa pemberian harta dari pihak yang berkepentingan. (RawwasQal’ah Jie, MujamLughah Al Fuqoha, him. 171)

Semua jenis suap haram hukumnya, baik sedikit maupun banyak, baik untuk memperoleh manfaat maupun menolak mudharat, baik untuk memperoleh yang hak maupun yang batil, baik untuk menghilangkan kezaliman maupun untuk melakukan kezaliman.

Rasulullah SAW bersabda, “Laknat Allah atas setiap orang yang memberi suap dan yang menerima suap.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

Demikianlahketaatan pada syariat  akan menumbuhkan suasana keimanan di penjuru negeri. Setiap orang akan merasa selalu diawasi oleh Dzat yang Maha Melihat dan tak pernah tidur. Senantiasa sadar bahwa akan ada hisab atas segala amal dan perbuatan manusia. Kelak di hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya. Hanya saja yang demikian bisa terwujud dengan satusyarat, yaitu tegaknya syariah secara kaffah.

Pada saat itu niscaya bakalhadirfigur pejabat yang jujur dan amanah.  Pantang melakukan korupsi apalagi menerima rasuah.Salah satunya, khalifah Umar Bin Abdul Aziz ketika beliau menutup hidungnya saat membagi-bagikan minyak wangi karena khawatir akan mencium sesuatu yang bukan haknya.Subhanallah. Wallaahua’lam.

Ummu Zhafran (Pegiat Opini, member Akademi Menulis Kreatif)

error: Jangan copy kerjamu bos