Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Berita UtamaOpini

Politik di Persimpangan Jalan

889
×

Politik di Persimpangan Jalan

Sebarkan artikel ini
Politik di Persimpangan Jalan
Ahmad Takbir Abadi

Rod Hauge menuliskan bahwa barang ini menyangkut semua yang bernyali besar. Politik dituangkan dalam nuansa kebersamaan dimana tujuan utamanya adalah keputusan yang real dan kolektif.

Rod Hauge, Martin Harrop dan John R Cormix menyimpulkan bahwa politik adalah ruang pembeda, dimana sesuatu yang berbeda menjadi sebuah warna kebersamaan dan pada akhir kesimpulannya politik adalah usaha untuk mendamaikan perbedaan. Seperti meredam konflik yang berlarut-larut adanya.

Saya ingin menyampaikan cerita seorang anak biasa yang mampu mengubah Turki dengan kuasanya. Anak yang lahir di pesisir Turki besar pada sebuah pelabuhan di Istanbul dekat laut hitam tempat kapal berlalu lalang.

Erdogan datang seperti angin segar di Turki. Ia mampu melahirkan kembali ruh Turki yang dibumi hanguskan oleh sekuler.

Anak-anak kembali bisa membaca Qur’an, ibu bisa mengenakan jilbab, laki-laki bisa mengisi ruang-ruang adzan pada setiap masjid yang ada di Turki.

Datangnya Erdogan merupakan langkah politik yang kolektif sebab mampu mengantarkan pada kebebasan ummat dalam menentukan sikapnya.

Pada perjalanan politiknya dalam 15 tahun terakhir sejak partainya berkuasa, Erdogan ambil bagian dalam 14 pemilihan, yakni enam pemilihan legislatif, tiga referendum, tiga pemilihan lokal, dan dua pilpres. Erdogan memenangkan semuanya.

Langkah seorang Erdogan tak begitu mulus. Dirinya nyaris lengah, saat kemunduran terjadi pemilihan legislatif Juni 2015. Saat itu, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang dipimpin Erdogan gagal meraih suara mayoritas untuk pertama kalinya.

Namun Integritas yang dimilikinya dalam waktu singkat, dia mengubahnya . Dalam pemilihan kedua beberapa bulan kemudian, AKP meraih kembali suara yang hilang sehingga menjadi mayoritas di parlemen lagi.

Keterlibatan penuh Erdogan di arus politik di Turki mampu mendesak konstitusi baru yang menghapuskan jabatan perdana menteri.

Lebih luas di daratan bumi ini, Erdogan jadi tokoh yang paling berani menantang Tramp dan sekutu. Di hadapan petinggi negara Erdogan dengan berani mengecam tindakan Amerika dan Israel terkait pengklaiman Duta besar Amerika di Wilayah Palistina.

Erdogan muncul sebagai orator ulung, yang memantik jiwa jiwa jihad di setiap negara muslim. Dia menguakkan keyakinan persaudaraan sesama ummat muslim. Dan muncullah Erdogan sebagai tokoh politik dunia yang mampu menantang negara adidaya.

Saya ingin memperjelas keadaannya, bahwa politik jugalah yang menentukan hutang-hutang kita, kemampuan ekonomi kita, masa depan kita, ruang-ruang gerak kita, cara makan, takaran kopi, harga gula, harga baju, dan semua sendi kehidupan.

Saya kira ruang-ruang WhatsApp kita sudah di perjelas dengan narasi Berthold Brecht (1898 – 1956), seorang penyair Jerman, yang juga dramawan, sutradara teater, dan marxis, nasehatnya penting kita renungkan

“Buta yang terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang yang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional yang menguras kekayaan negeri

Seperti itulah kira-kira gunanya orang masuk Politik. Politik tak selamanya berapa banyak nilai yang ada di rekeningnya kita, berapa pengikut kita, atau sudah berapa kah buku kita tulis.

Saya lebih suka jika politik di arahkan ke ruang-ruang untuk memanusiakan manusia. Barang ini adalah ruang pengabdian, bukan untuk saling menjatuhkan.

Robert Louis Stevenson hari ini sudah keliru bahwa Politik barangkali menjadi satu-satunya profesi yang tidak membutuhkan persiapan pemikiran yang memadai.

Kita mesti punya narasi, punya tawaran pikiran untuk ditawarkan kepada masyarakat. Jangan lagi seperti dahulu, ujung-ujungnya uang, ujung-ujungnya materi.

Alangkah menyedihkannya. Jika kita masih di persimpangan jalan, berbicara dengan nada keras tanpa solusi yang solutif.

Sudah saatnya, kita bangun narasi positif kita. Mari bantu segala kebaikan untuk masuk ke hati masyarakat.

Kepada seluruh politis, majulah tanpa menjatuhkan.

Penulis: Ahmad Takbir Abadi (Pendiri Forum Pelajar Pengamat Politik Dasar Indonesia)

error: Jangan copy kerjamu bos