Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

Jangkar di ASEAN

610
×

Jangkar di ASEAN

Sebarkan artikel ini
Ari Nurainun, SE (Pemerhati Kebijakan Ekonomi dan Politik)
Ari Nurainun, SE (Pemerhati Kebijakan Ekonomi dan Politik)

TEGAS.CO., NUSANTARA – Menarik mengkritisi perkataan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (Menlu AS) dalam lawatan kenegaraannya di Indonesia. Mike Pompeo menyebut Indonesia sebagai Jangkar di Asia Tenggara.

Ibarat kapal, Nakhoda akan melempar jangkar ke laut, jika sudah berlabuh. Hari ini, di tengah konflik dua negara adidaya kapitalis, AS dan China, ASEAN khususnya Indonesia, masih terombang-ambing di tengah lautan. Belum jelas, di pelabuhan mana hati akan berlabuh. China atau AS.

Lazimnya hubungan antar negara, tentu ada Sekutu dan musuh. Jika menjadi Sekutu, mendapatkan wortel. Sementara musuh mendapatkan tongkat. Hingga detik ini, politik luar negeri bebas aktif yang dianut Indonesia, semakin tak tentu arah. Terlihat mesra dengan China, namun tak menolak di dekati oleh AS. Persis seperti bunga yang sengaja menarik perhatian semua kumbang.

Maka tak ayal, AS sebagai Super power dunia, bertindak agresif mendekati Indonesia. Tujuannya jelas, ingin menancapkan pengaruh yang kuat.

Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia pun mempertanyakan hal ini. ” Di masa pandemi Covid-19 ini dan mendekatnya pelaksanaan Pemilihan Presiden di AS, mengapa para pejabat AS intens berhubungan dengan para mitranya di Indonesia,” ujarnya kepada Tribunnews.com, Senin (26/10/2020).

“AS tentunya berharap Indonesia berada di belakang AS. Permintaan AS untuk mendaratkan pesawat tempur mata-mata dapat diartikan demikian,” kata Hikmahanto. “Di sinilah pentingnya pengambil kebijakan di Indonesia untuk menjaga politik luar negeri bebas aktif baik terhadap Cina, AS, maupun negara manapun.

Sementara itu, Pengamat Politik, Rocky Gerung menilai, kunjungan dan pernyataan Pompeo merupakan reaksi atas ketegangan politik yang berubah menjadi ketegangan militer di Tiongkok Selatan.”Dalam sistem Politik Amerika, Menteri Luar Negeri adalah orang kedua setelah presiden. Oleh karena Itu kehadiran Menlu (AS) secara official ada urgensi untuk meminta kepastian hubungan-hubungan Luar negeri, bilateral maupun non-bilateral, “ujar Rocky, dikutip Portal Jember dari channel YouTube Rocky Gerung Official.

Terkait dengan pidato terbuka Pompeo di hadapan Ansor, Rocky menilai bisa diartikan sebagai bentuk teguran Amerika terhadap Indonesia yang terlalu terbuka dengan Tiongkok.

“Itu artinya, kalkulasi terakhir adalah dengan mengambil risiko untuk menegur Indonesia. Jadi sebetulnya, Amerika menegur Indonesia melalui Ansor, kan itu “pesan-pesan “diplomatiknya,” jelas Rocky.

Menurutnya, ini merupakan strategi Amerika, negara yang dikenal bukan hanya karena perkembangan senjata pemusnah massal yang dimilikinya, tetapi juga keahliannya dalam menerapkan “soft power” dalam upaya mencapai tujuannya.

“Soft power Amerika itu diwujudkan dengan kehadiran Pompeo di Ansor.

Kebijakan Pragmatis

Seperti telah diungkapkan diatas, kebijakan politik Indonesia yang bebas aktif dapat disimpulkan sebagian bentuk pragmatisme pemimpin Negeri ini. Secara Ekonomi, Indonesia telah diikat China dengan sejumlah perjanjian dalam rangka pemulihan Ekonomi. Tentu dengan sejumlah syarat yang telah disepakati bersama.

Termasuk tak mengambil peran sentral dalam Konflik Laut China Selatan. Itulah salah satu sebab, kenapa AS meningkatkan agresivitasnya untuk menjalin hubungan yang mesra dengan Indonesia.

Sensitivitas Umat Islam dalam Isu Komunis, dianggap AS sebagai peluang untuk menekan Indonesia. Apalagi ditengah serbuan TKA Asal China, proyek Negeri tirai bambu serta sikap otoriter rezim, AS seolah bertindak sebagai juru selamat di Negeri Ini

Kebijakan dua kaki ini sangat merugikan Indonesia. Justru semakin membuka peluang, pemanfaatan potensi Negeri ini hanya demi kerakusan negara adidaya. Sebagai negara pengekor, Indonesia hanyalah bagaikan pion di papan catur dunia. Yang siap digerakkan kemana saja.

Jika kesejahteraan yang diharapkan dari kerja sama dengan Negara Adidaya, bagaikan jauh panggang dari api. Karakter penjajah tak akan pernah berubah. Dia akan mengeksploitasi negeri jajahannya hingga tetes terakhir. Berbagai kemitraan strategis yang dijalin selama ini, hanya menjadikan Indonesia sebagai pasar terbuka. Siap dimanfaatkan oleh siapa pun yang menjadi penguasa dunia.

Saatnya Merdeka

Jika kemerdekaan menjadi cita-cita negeri ini, maka berbagai dominasi penjajah harus dihentikan. Baik dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan seluruh aspek kehidupan. Dan yang mampu kemerdekaan negeri Ini hanyalah Islam.

Michael Hart, sejarawan dan penulis buku The 100, bahkan menempatkan Nabi Muhammad di peringkat pertama orang yang memiliki pengaruh besar di dunia. Salah satunya karena Nabi mampu menjadikan Bangsa Arab menjadi bangsa yang diperhitungkan di dunia. Termasuk mendirikan Negara Khilafah dan mewariskannya hingga sepanjang 13 abad. Semua tak lepas dari risalah yang dibawanya. Islam.

Hari ini kita melihat, umat Islam telah tersebar ke seluruh penjuru dunia. Namun, umat Islam masih terbelenggu dengan penjajahan asing dan aseng. Umat masih terbelenggu oleh sekat-sekat negara, yang menjadikannya bagaikan buih di lautan. Umat butuh institusi pemersatu. Yang memimpin dengan kebijaksanaan dan dengan keagungan Ajaran Islam.

Jika penduduk Negeri ingin merdeka, kembalilah ke Islam kaffah. Dalam Institusi Khilafah. Maka, kemerdekaan yang diraih bukan sekedar basa basi. Namun kemerdekaan hakiki. Sejarah telah membuktikan, bagaimana peran Sentral Khilafah sebagai penguasa dunia. Pengayom bagi seluruh Alam.

Sudah saatnya Indonesia menjadi Nakhoda bagi Kapal besar Umat Islam dunia, tak hanya sekedar jangkar di ASEAN.
Wallahu’alam bi showab

Penulis: Ari Nurainun, SE (Pemerhati Kebijakan Ekonomi dan Politik)
Editor: H5P

error: Jangan copy kerjamu bos