Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Opini

Rekonstruksi Kebermaknaan Eksistensi Guru di Era Post Truth

606
×

Rekonstruksi Kebermaknaan Eksistensi Guru di Era Post Truth

Sebarkan artikel ini
Agus Sugito, S.Th.I., M.Pd Sekretaris Umum DPD PGMI (Persatuan Guru Madrasah Indonesia) Kota Kendari
Agus Sugito, S.Th.I., M.Pd
Sekretaris Umum DPD PGMI (Persatuan Guru Madrasah Indonesia) Kota Kendari

TEGAS.CO., NUSANTARA- “Museum mengingatkan kita pada dinamika dan fenomena masa lalu, sementara dunia pendidikan mengarahkan pandangan dan gerakan kita ke arah masa depan”

Tidak berlebihan kalimat tersebut menjadi pembuka tulisan ini, terlepas dari peringatan Hari Guru Nasional yang jatuh setiap tanggal 25 November, karena telah menjadi pemahaman mendasar bahwa pendidikan bersifat dinamis, selaras dengan ilmu pengetahuan yang terus mengalami perkembangan sesuai dengan alur dan tantangan zaman.

Masa lalu dan masa depan sangat ditentukan dari pusat pengendalinya yaitu manusia, indikator utama dari manusia sebagai agent of change adalah terletak dari paradigma dan attitude-nya. Ya, cara pandang dan sikap bawaan itulah yang menggerakkan manusia untuk berbuat dan melakukan perubahan dalam hidupnya. Definisi yang lebih sederhana antara paradigma dan attitude adalah akhlak/watak/karakter, dua komponen batiniyah manusia yang menggerakkan watak ini adalah hati nurani dan akal pikiran.

Tiga pakar di bidang akhlak dalam dunia keilmuan Islam, Ibnu Miskawaih, Abu Hamid al-Ghazali dan Ahmad Amin menyatakan bahwa akhlak adalah perangai yang melekat pada diri seseorang, yang dapat memunculkan perbuatan baik tanpa mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu. Artinya, akhlak atau watak merupakan sifat bawaan manusia yang sangat refleks dan responsif dalam menanggapi kondisi sekelilingnya.

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat secara langsung memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa ada campur tangan dari pihak lain, khususnya dalam memenuhi keterbentukan sikap ini, kelemahan setiap manusia dikenal dengan istilah blind spot.

Penulis sepakat dengan apa yang dikemukakan oleh Jusri Pulubuhu (Road Safety Consulting & Driving Training Certification JDDC) bahwa blind spot bukan sekedar titik buta. Namun lebih dari itu, blind spot adalah area visibilitas atau bidang pandang yang tidak terlihat oleh seseorang karena beberapa faktor. Seseorang membutuhkan pengawas untuk melihat hal-hal yang tidak dapat dilihatnya sendiri dalam dirinya, sosok pengawas yang dapat mengingatkan kita seandainya prioritas hidup kita mulai bergeser, sosok tersebut adalah pelatih, pendamping, pembina atau pembimbing, yang tercakup dalam satu kepribadian yaitu guru.

Dunia memasuki Era Post Truth, Beberapa fakta sebenarnya sudah dipahami oleh para pemerhati pendidikan semenjak internet mulai booming khususnya di Indonesia, bahwa sudah sangat terlihat adanya pergeseran style hidup masyarakat modern, yang kian lebih percaya akan kebenaran informasi yang subyektif yang tersaji dari dunia maya, daripada belajar secara langsung dari sumber informasi di dunia nyata yaitu seorang guru.

Penulis mengamini apa yang menjadi penjelasan dari Dr. Alim Roswantoro, S.Ag., M.A., bahwa dunia tengah memasuki era dimana semua orang berani berbicara kebenaran. Padahal dahulu, hanya sedikit orang yang benar-benar ahli di bidangnya yang berani berbicara mengenai kebenaran di media massa, yaitu para tokoh yang benar-benar memahami bidang-bidang itu sendiri.

Berfikir kritis adalah sikap wajib yang harus dimiliki seseorang di era post truth ini. Kebenaran tidak boleh dilandaskan pada sentimental pribadi saja. Akan tetapi, antara emosional dan rasionalitas harus diseimbangkan dalam melihat dan menanggapi sesuatu. Dengan demikian akan muncul sikap yang dewasa yang tidak mudah menghakimi sesuatu.

Kedewasaan seseorang akan terlihat dari sikap mau mendengarkan berbagai perspektif yang berbeda-beda.

Lebih lanjut, Dr. Fahruddin Faiz seolah mengingatkan kita semua masyarakat millennial, bagaimana menyikapi efek dari post truth ini melalui tulisannya Post Truth: Hermeneutika Awareness, bahwa Hermeneutika Awareness penting untuk dimiliki pada era post truth.

Kesadaran tersebut akan menghadirkan sikap hati-hati, terbuka, empati, kesadaran personal dan keterikatan sosial, dan kesediaan untuk berfikir sejenak dalam menyelami setiap situasi, dan tidak langsug menghakami sesuatu dengan pandangan pribadi.

Menjadi Guru Ideal di Era Post Truth
Posisi guru yang dulu sebagai sumber primer pengetahuan, hari ini perannya terasa tergantikan oleh derasnya teknologi dan informasi. Hadirnya internet mau tidak mau menjadi kompetitor terhadap guru. Internet dengan segala kecanggihannya mampu menampilkan keinginan pengguna terhadap aneka konten baik berbentuk naratif, foto, dan video.

Sehingga keserbacanggihannya mampu memanjakan peserta didik untuk kemudian lebih percaya hasil informasi di internet dari pada informasi guru. Alhasil, guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa akan selamanya menjadi merek paten yang jasa kepahlawanannya tidak dikenang dan mudah lapuk diingatan peserta didik.

Di era teknologi dan informasi, cita-cita menjadi guru yang berjasa di zaman now adalah suatu keniscayaan. Penulis berani berpendapat, bahwa hakikat dan martabat guru sekarang ini harus direkonstruksi ulang sehingga keberadaannya menjadi bermakna bagi peserta didik. Kebermaknaan itu, tidak hanya saat terjadinya kegiatan belajar mengajar (KBM) melainkan pasca purna belajar, sehingga tutur kata, sikap dan perilaku guru menjadi motivasi abadi tidak sekedar cukup dikenang, tidak terlupakan oleh mereka untuk diteladani sampai kapan pun.

Guna meneguhkan guru sebagai pahlawan yang berjasa, bagi penulis ada hal berikut yang perlu dilakukan. Pertama, memiliki profesionalisme tinggi. Artinya, guru dengan gelar akademik yang dimiliki perlu punya jiwa haus akan pengetahuan sebagai bekal mendewasakan bentuk tranformasi pengetahuan yang adaptif. Bisa dengan menambah jenjang strata pendidikan, atau memiliki jiwa literasi yang tinggi baik terhadap diri sendiri maupun sosial.

Sehingga keberadaan intelektualitas guru sebanding dengan kuantitas informasi yang cukup searching di dunia maya.
Dengan semakin profesional guru dari sisi akademik, peserta didik tentu akan sangat memuliakannya sebab kekayaan pengetahuan yang dimiliki. Oleh karena itu, membaca, meneliti (membuat PTK) dan mengikuti pelatihan, seminar, workshop, diklat, lokakarya dan berbagai kegiatan untuk meningkatkan kompetensi dan kapasitas keilmuan lainnya bagi guru mutlak dilakukan, seiring dengan kecanggihan teknologi dan informasi yang terus berkembang.

Tidak lain agar keberadaan guru tetap melekat di hati peserta didik sebagai sarana transformasi pengetahuan yang humanis.
Kedua, memiliki kompetensi tambahan atau soft skill. Artinya guru dituntut untuk mempunyai kompetensi (kemampuan atau kecakapan) tambahan di luar tugas sebagai tenaga pendidik maupun kependidikan. Adapun kompetensi yang sebidang dengan dunia pendidikan yang relevan salah satunya adalah kompetensi literasi.

Bila guru memiliki kompetensi tambahan semisal menulis tentu secara martabat akan bertambah statusnya, dari guru biasa menjadi guru penulis. Meminjam bahasa Uhar Suharsaputra (2013:153) guru yang demikian memiliki skill mengorganisir pengetahuan (learning organization), yakni kemampuan menerjemahkan pengetahuan yang dipelajari menjadi informasi sederhana yang bisa diaplikasikan kepada orang lain.

Mempertegas kompetensi menulis ini, kuncinya guru harus meluangkan waktu. Jee Luvina membahasakan bahwa “tugas kita bukan menulis di waktu luang, tapi luangkan waktu untuk menulis.”

Agar guru bisa memiliki kompetensi menulis, yang harus dilakukan adalah punya kepekaan untuk segera mencatat bila sewaktu-waktu ide menulis itu muncul. Terlebih, era digital ini banyak persoalan yang terjadi dan menjadi sumber tulisan yang mudah didapat dari ruang privasi, kemudian dikembangkan dalam prespektif pendidikan. Tujuannya, selain menangkap ide menulis, juga sebagai jasa bhakti guru untuk ikut mengurai berbagai persoalan kebangsaan dan terminologi pendidikan.

Berkaitan dengan literasi yang menjadi salah satu indikator pokok maju kembangnya pendidikan sebuah negara, berdasarkan hasil dari rilis PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2018, program yang digagas oleh OECD (Organization for Economic Co-operation and Development), menyatakan bahwa Indonesia menempati posisi di urutan 72 dari 77 negara.

Data tersebut menunjukkan betapa memprihatinkannya kondisi pengelolaan mutu pendidikan nasional, kunci untuk menaikkan grade mutu pendidikan negara kita adalah dengan melakukan revolusi yang serius pada beberapa domain akademik, mengacu pada instrumen dan parameter platform OECD, diantaranya adalah : 1). Mengembangkan Literasi nasional baik yang bersifat oral, konvensional maupun digital. 2). Memperkuat Numerasi di lembaga pendidikan, dan 3). Mempertajam kualitas Sains guru dan peserta didik.

Ketiga, guru perlu memiliki karya. Karya itu bisa berupa inovasi pembelajaran hingga kemudian berhasil menjuarai perlombaan, hingga karya cetak dalam bentuk buku, PTK, artikel populer, puisi, cerpen, yang tayang di media cetak atau online. Termasuk karya di luar bidang pendidikan, selagi masih dalam koridor karya yang postif dan memberikan nilai manfaat untuk masyarakat. Karya tersebut juga sebagai bukti bahwa profesi guru yang diemban tidak stagnan, melainkan dioptimalkan guna melahirkan karya inovatif untuk kemajuan pendidikan di Indonesia.

Penulis : Agus Sugito, S.Th.I., M.Pd

Editor : YA

Terima kasih