Example floating
Example floating
Iklan ramadhan 2024 arkam
Berita UtamaJakarta

Karyono Wibowo : HTI Jangan Berlindung Dibalik Kemerdekaan Berserikat

1616
×

Karyono Wibowo : HTI Jangan Berlindung Dibalik Kemerdekaan Berserikat

Sebarkan artikel ini

tegas.co., JAKARTA – Direktur Ekskutif The Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo menilai putusan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang menolak gugatan Hizbut Tahir Indonesia (HTI) untuk seluruhnya merupakan putusan tepat demi penyelamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia 1945.

Lanjut, pertimbangan majelis hakim dalam mengeluarkan putusan sudah on the track, antara lain didasarkan pada keterangan para saksi yang selama ini telah menyampaikan pandangan dalam persidangan.

Karyono Wibowo : HTI Jangan Berlindung Dibalik Kemerdekaan BerserikatSelain itu, putusan majelis hakim sangat beralasan karena didasarkan pada aturan yang berlaku, dimana telah ditegaskan bahwa ormas dapat dibubarkan apabila ada upaya untuk mengganti dasar negara Pancasila.

“HTI telah terbukti menyebarkan dan memperjuangkan paham khilafah untuk mengganti dasar negara dan sistem pemerintahan sebagaimana terekam dalam video kegiatan Muktamar HTI tahun 2013 silam,” tegas dia.

Menurut Karyono, dalam sistem demokrasi pemikiran khilafah sepanjang masih dalam sebatas konsep masih bisa dimaklumi, namun bila sudah diwujudkan dalam aksi yang berupaya mengganti Pancasila maka hal itu dinilai dapat berpotensi menimbulkan perpecahan bangsa.

Dikatakannya, ormas apapun jika berupaya menyebarkan komunisme atau paham lain untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara maka ormas tersebut harus dibubarkan. Terkait dengan putusan PTUN yang menolak gugatan HTI, maka setiap warga negara harus menerima dan menghormati putusan tersebut.

“Putusan PTUN yang menolak gugatan HTI telah menguatkan Surat Keputusan Menkumham Nomor AHU-30.AH.01.08 Tahun 2017 tentang Pencabutan Status Badan Hukum HTI,” tuturnya.

Dengan demikian, HTI sebagai organisasi massa (ormas) secara sah telah dibubarkan karena organisasi seperti HTI bukan organisasi yang bebas “nilai” tetapi organisasi yang memiliki doktrin ideologi yang sangat kuat.

Selain itu, organisasi trans nasional seperti HTI telah terafiliasi dan terhubung dengan organisasi yang memiliki plat form perjuangan yang sama di sejumlah negara. Organisasi militan seperti HTI nampaknya tidak mudah melunak, karena bagi kader HTI, ideologi tidak pernah mati (idelogy never dies).

Gejala tersebut masih nampak jelas. Pasca Putusan PTUN sejumlah kader HTI masih melakukan perlawanan. Mereka menggunakan tameng Pasal 28 UUD 1945 tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul.

Dalam konteks ini kata peneliti senior IPI ini, HTI menggunakan sepenggal pasal sekadar untuk tameng. Bahwa benar UUD 1945 menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul. Tetapi, pasal 28 UUD 1945 juga menyebutkan bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul tersebut diatur dengan undang-undang.

Pasalnya, di satu sisi HTI menilai sistem pemerintahan thogut tapi di sisi lain mereka gunakan sebagian pasal untuk kepentingannya.

“Hendaknya, HTI jangan hanya menggunakan pasal tentang kebebasan berserikat sebagai tameng untuk melindungi kepentingannya,”ujarnya.

Tidak hanya menggunakan sepenggal pasal tentang kemerdekaan berserikat sebagai tameng, ada kecenderungan HTI juga menggunakan umat sebagai tameng dengan membuat propaganda dengan membuat tagar provokatif yang bertujuan untuk membangkitkan ghirah agama. Hal itu bisa diamati dari sejumlah tagar yang menjadi viral di media sosial. Tagar tersebut antara lain adalah #HTI layak menang, #Dukung HTI untuk Islam, #Dukung HTI Untuk Umat, #Dukung HTI Untuk dakwah dan Khilafah.

Nampaknya, HTI masih ingin mencoba menunjukkan eksistensinya dengan mengabaikan produk hukum. Situasi yang perlu diwaspadai adalah jika kekuatan politik oposisi ikut memanfaatkan serta berada di balik perlawanan HTI dengan menempuh cara ekstra parlemen atau melalui cara cara inkonstitusional.

“Di tahun politik sekarang ini, apalagi di tengah pertarungan politik yang miskin etika dan minus kenegarawanan maka segala kemungkinan bisa saja terjadi. Oleh karenanya, publik juga perlu memahami masalah ini agar tidak terprovokasi dan terpengaruh oleh propaganda politik yang kerap menggunakan agama sebagai tameng. Padahal, dibalik itu sesungguhnya hanyalah syahwat kekuasaan,” tutupnya.

REPORTER: ANTO

PUBLISHER: MAS’UD

Terima kasih

error: Jangan copy kerjamu bos