Mencari Gubernur yang Pro-Rakyat

Setiap warga negara yang memenuhi syarat dapat mencalonkan diri jadi Gubernur dan Wakil Gubernur di setiap provinsi di seluruh Indonesia. Karenanya lumrah kalau banyak putra-putri bangsa yang merasa layak dan mampu sehingga ingin turut berkompetisi, kadangkala tanpa menakar kemampuannya mensejahterakan rakyat daerah, hanya ingin kuasa bahkan jadi pencari kerja.

Mencari Gubernur yang Pro-Rakyat
Mencari Gubernur yang Pro-Rakyat FOTO : INT

Banyaknya para peminat sering didorong berbagai pihak menampilkan seorang figur sebagai kandidat, kemudian “ditangkap” partai politik atau gabungan patai politik untuk mengusungnya seorang calon sesuai UU.

Iklan KPU Sultra

Parpol sendiri sering telah mengelus-elus pengurus atau kadernya. Periode lalu sering kita dengar adanya “mahar” antara bakal cagub/cawagub dengan parpol. Mudah-mudahan tidak ada lagi “mahar-mahar”-an itu, sebab akan menjadi salah satu faktor pendorong untuk koruptif di kemudian hari setelah terpilih.

Gaya Surya Paloh

Peranan parpol dominan dalam pencalonan kepala daerah di Indonesia, karena calon independen masih sulit tampil, kesadaran rakyat masih tipis untuk itu atau bisa saja tidak diberikan peluang oleh parpol.

Kader parpol dengan mudah tampil dengan terpenuhinya ambang batas kursinya di DPRD, atau gabungan partai. Belajar dari pengalaman bahwa kader parpol lebih mudah tersandung masalah korupsi seperti Ratu Atut Chosiah di Banten dan Gatot Pudjonugroho di Sumatera Utara, mungkin masih ada yang antri berhubungan dengan KPK.

Dalam menjaring cagub perlu diperhatikan gaya Ketua Umum Partai Nasional Demokrasi (Nasdem) Surya Paloh dengan mencalonkan seseorang jadi gubernur dengan melihat kiprah, kinerja seseorang serta dharma bhaktinya meningkatkan kesejahteraan rakyat, tanpa memungut mahar.

Nasdem mencalonkan Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) di DKI Jakarta bukan kader Partai Nasdem dan tidak ada mahar. Murni karena kinerja dan kerja keras, kejujurannya pro-rakyat dengan meningkatkan kesejahteraan, harkat dan martabatnya.

Jakarta yang dulu disebut kampung kumuh ditata menjadi kota bersih dan tertatarapi, dulu Kali Ciliwung disebut jamban (WC) terpanjang dan sering merendam rumah-rumah kumuh, sekarang menjadi sungai yang rapi dan bersih.

Surya Paloh meminangnya terlepas dari sekat-sekat formal dan non-formal, dan kemudian parpol-parpol lain mengikutinya. Kalau tidak terpilih adalah persoalan lain, kita bicara dalam rangka mencasi.

Hal yang sama juga dilakukan Surya Paloh untuk Jawa Barat dengan mengelus-elus Walikota Bandung, Mochammad Ridwan Kamil. Dan ada lagi yang unik dari gaya Surya Paloh, selain bukan kader partai Nasdem, sang tokoh disarankan juga agar kalau terpilih jadi Gubernur tetap tidak berpartai. Surya khawatir kalau berpartai akan tergoda atau digoda partai sehingga mengurangi perhatiannya kepada rakyatnya.

Perlu diketahui hanya sedikit kepala daerah yang mendapat perhatian masyarakat sebagai yang pro-rakyat mungkin yang sering disebut beberapa gubernur seperti Ganjar Pranowo (Jateng), Muhammad Zainul Majdi (NTB). Beberapa  Bupati seperti Abdullah Azwar Anas (Banywangi), Dedy Mulyadi (Purwakarta) dan beberapa Walikota: M. Ridwan Kamil (Bandung), Risma Harini (Surabaya) yang di mata umum sebagai pejabat yang pro-rakyat.

Bagaimana di Sultra?

Waktu satu tahun menjadi cagub/cawagub sudah sangat singkat menjelang tahun 2018 sehingga sudah banyak yang kasak-kusuk mencari calon atau untuk dicalonkan. Sejumlah orang merasa mampu mulai menampakkan diri adalah wajar, namanya mencari simpati sekaligus “menjajal lawan”.

Mencari balon gub/wagub, sebaiknya masyarakat umum (di luar parpol) ikut berperan aktif dalam mencari yang terbaik dari semua yang baik balon-balon itu, apakah pro rakyat atau tidak?

Alim ulama, tokoh masyarakat, cendekiawan perguruan tinggi, Organisasi pemuda dan organisasi wanita harus berperan terutama generasi muda untuk meneliti secara konstruktif dan komprehensif  kepribadian, kemampuan dan kemauan para balon-balon, apakah pro rakyat atau tidak, sesuai dengan kebutuhan masyarakat Sulawesi Tenggara.

Jangan membeli kucing dalam karung, tidak ada gunanya ribut setelah terpilih memperoleh suara terbanyak. Saat para balon bermunculan mulailah melakukan pengecekan ke instansi-instansi resmi apakah seseorang balon itu bersih dari masalah hukum terutama dugaan tindak pidana korupsi, melalui Polri, Kejaksaan dan KPK. Masalah ijazah mungkin sudah tidak ada kecurigaan lagi.

Tidak Jamannya Etnis Kedaerahan

Tidak bisa diabaikan masalah dugaan korupsi, sebab peristiwa puluhan tahun lalu bisa saja diungkap KPK tahun depan, telah banyak contoh kasus.

Yang sering mengganjal adalah masalah etnis dan kedaerahan. Menjelang 72 tahun Indonesia Merdeka, tidak jamannya lagi memilih seseorang berdasarkan etnis kesukuan dan kedaerahan, sebab premordialis akan menyeret tidak berlaku adil yang akhirnya menggiring perlakuan curang dan tindak pidana.

Jangan berikan perangkap kepada seseorang untuk tidak berbuat adil atau memperhatikan yang satu dan mengabaikan yang lain. Apabila itu terjadi dia akan menginjak ranjau peraturan perundang-undangan.

Di negara demokrasi ini hendaknya semua pihak menjunjung tinggi profesionalisme, kejujuran dan kapabilitas seseorang tidak lagi sektoral berpikiran sempit.

Sebab apabila salah memilih kemajuan suatu daerah akan terbengkalai selama lima tahun dan akan berakibat ketertinggalan dari daerah lain sehingga kehisupan masyarakat akan semakin sulit, di saat semua sudah berlomba-loba go-internasional. Masa depan masyarakat Sultra ditentukan oleh rakyat Sultra dan bukan ditangan orang lain. Semoga Sultra dipimpin gubernur yang pro-rakyat.***

Bachtiar Sitanggang SH

Wartawan Senior dan Advokat di Jakarta

PUBLISHER : MAS’UD

Komentar