Seekor semut menemukan seonggok madu, dan semut itu aman untuk berbuat apapun terhadap madu tersebut. Sebagaimana perumpamaan, di mana ada gula di situ ada semut, artinya semut itu selalu mencari yang manis yaitu gula dan juga madu.
Demikian juga manusia selalu mencari kesempatan untuk mendapat yang “manis” dalam hidupnya yaitu “kekuasaan dengan kewenangan” yang besar dan luas untuk meraih kenimatan dari yang manis itu. Sama seperti semut di atas, dimana ada kekuasaan (dengan segala kemewahannya dan kegemerlapannya) di situ pasti ada penggemarnya.
Hanya saja semut mencari gula tidak seperti manusia yang sering menggunakan segala cara (halal-haram) untuk memperolehnya, bahkan membunuh – jaman dahulu dan sekarng dengan sogok-menyogok, dengan kata lain semut hanya menelusuri seberapa panjang yang bisa dijalani, dan kalau sudah ditemukan gula, lalu ya memberitahukan ke temannya semut lain, lalu bergotong royong untuk mengangkutnya ke tempat penyimpanan bersama.
Dan semut itu memiliki cara tersendiri dalam mengambil madu tersebut, yaitu dengan menjaga agar tidak terkena jerat gula atau madu itu. Apabila sang semut memakan gula dengan lahapnya serta dengan serakah serta tidak “tahu diri”, maka semut itu akan terperangkap pada onggokan madu itu, yaitu apabila dia serakah, sula semut akan semakin tertusuk ke dalam madu, dan pada saat dia menggunakan kakinya untuk menarik sulanya dan memaksakan kakinya menekan madu, justru kaki semakin tertusuk ke dalam madu dan lama kelamaan kepalanya juga akan tertanam, dan di situlah akhir dari hidup semut, semakin bergerak semakin tenggelam.
Demikian jugalah kira-kira kejadian yang “menelan” beberapa petinggi masyarakat dan bangsa ini, para tokoh yang telah mendapat berkat Tuhan duduk sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi, Menteri, Ketua Fraksi, Gubernur, Bupati/Walikota dan pejabat negara lainnya tentu dengan berbagai uapaya dan usaha termasuk pendidikan dan keahlian lainnya, akhirnya beroleh kedudukan dengan gaji tinggi dan fasilitas yang memadai serta kehormatan formal dan non-formal, tetapi karena serakah ya akhirnya lupa diri dan terpaksa turun dari singgasana kekuasaan dan kehormatan itu terpaksa mendekam di bui.
Berbagai kejadian belakangan ini membuat kita terhentak dengan berbagai perasaan dan tanggapan dengan banyaknya para petinggi Republik ini turun dari singgasana kekuasaan masuk ke balik jeruji besi akibat perbuatan melanggar hukum dan merugikan keuangan negara. Dengan menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi. Artinya, tanpa menyalahgunakan kedudukan kekuasaan/kewenangan) tidaklah mungkin melakukan kedua perbuatan tindak pidana.
Selama kita tidak merasa puas dan mensyukuri berkat Tuhan berupa jabatan dan kewenangan yang sudah ada serta tidak digunakan dengan baik dan benar secara bertanggung jawab serta terukur dengan penuh etika dan moral, maka para pejabat dan tokoh bangsa kita akan tetap ada yang akan mengakhiri karier pengabdiannya di balik jeruji besi.
Kita juga berharap kepada generasi muda, yang kebetulan beruntung punya orang tua yang telah sukses membina karier di bidang pemerintahan dan politik untuk tidak tergiur dengan “kecemerlangan dan kemilauan” sang ayah, oom dan tante sehingga pembinaan dinasti yang sangat berbahaya itu perlu dihindari, kalaupun tidak diikuti sebaiknya tidak dijadikan untuk “kehebatan” sendiri, meraih sesuatu dengan jalan belakang, sebab telah banyak yang menjadi contoh.
Gunakanlah yang sudah di tangan itu mencari yang lebih baik dan lebih bermartabat, tidak justru meneruskannya yang tidak bermartabat, sebab walaupun tidak dirasakan melawan hukum dan kepatutan, harus disadari bahwa tidak semua “keberadaan” orangtua itu untuk diwarisi apalagi jabatan dan prestasi public, sebab mereka memperoleh itu juga belum tentu “asli” bisa saja karena kecelakaan sejarah.
Ya, kalau merasa “tidak sakit” seperti apa yang terjadi apalagi sejak ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di mana telah berduyun-duyun tokoh kita masuk ke Lapas Sukamiskin dan laps-lapas lainnya, mari kita berpikir panjang.
Walaupun harus diakui, bahwa tidak semua yang diputus sebagai koruptor itu karena memakan uang negara, tidak sedikit dari mereka karena keteledoran administrasi, pendek kata belum tentu kita lebih bersih dari mereka, hanya saja mereka yang sudah tertangkap dan mudah-mudahan tidak ada lagi menyusul mereka.
Walaupun kita terus menggerutu dan mengumpat KPK seolah KPK itu sumber bencana dan penyebab seseorang harus mengakhiri pengabdiannya di bui, bisa saja. Tetapi lebih penting dari situ adalah perlunya koreksi diri dan perenungan atas apa yang kita alami syukur-syukur ada pengakuan atas pengenalan diri sendiri serta menyesali perbuatan.
Bagi mereka-mereka yang ingin meraih suskses dalam jabatan public dengan perjuangan pembinaan karier, hendaknya hati-hati dalam upaya pencarian itu, apakah sesuai hukum, etika dan moral? Dan setelah duduk di singgasana kekuasaan itu, hati-hati janganlah seperti semut yang rakus terhadap madu, sebab apabila tidak terukur dan tahu diri, maka anda akan terjerat lalu tenggelam dalam madu itu, dan singgasana atau kenikmatan akan tergantikan dengan jeruji besi.
Berkat Tuhan itu tidak untuk dihambur-hamburkan seenaknya, melainkan harus digunakan untuk kemuliaan namaNya dan untuk kebaikan ciptaanya. Tidak untuk kesejahteraan umat manusia tetapi juga melestarikan lingkungan bagi kehidupan.***
Bachtiar Sitanggang-Jakarta
PUBLISHER: MAS’UD
Komentar