Pejabat yang Dibenci Rakyat

Pejabat yang Dibenci Rakyat
FOTO: ILUSTRASI

Kabupaten Cianjur adalah tempat wisata di Jawa Barat antara Jakarta dan Bandung sebagai kawasan peristrahatan di kaki gunung Gede-Pangrango. Sekarang disebut Bogor, Puncak Cianjur dengan singkatan Bopunjur.

Dengan hawanya yang dingin, pemandangan pegunungan yang indah menyeabkan tempat itu dulu jadi pusat perhatian untuk tamasya mulai dari anak-anak sekolah hingga keluarga, walaupun sekarang sudah hampir menjemukan karena sering macet dan setiap saat bisa jalur kendaraan buka-tutup karena padatnya kendaraan.

Selain tempat wisata, di sana ada juga hutan Taman Nasional Cibodas, Gunung Gede Pangrango serta Istana Presiden membuat kawasan itu terkenal. Di penghujung tahun 1960-an seorang penyanyi Alfian Harahap mengalunkan beberapa lagu salah satunya : Semalam di Cianjur, dengan suara lembut menawan, membuat Cianjur itu dulu lekat di hati muda-mudi. Kurang begitu jelas latar belakang lirik lagu tersebut serta cerita terciptanya, namun siapa yang mau coba dengar, silahkan dengarkan via youtube.

Cianjur itu tiba-tiba menjadi terkenal lagi dengan terkena Operasi Tangkap Tangannya (OTT) Bupatinya, Irvan Rivano Muchtar Rabu, 12 Desember 2018 lalu oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasusnya, sang Bupati diduga memeras para Kepala SMP dengan memotong Dana Alokasi Khusus (DAK) yang diperuntukkan kepada 140 SMP dengan total nilai Rp46,8 M, dan dari jumlah itu dipotong 14,5 % atau senilai Rp6,786 M dan khusus untuk sang bupati 7 % yaitu sebesar Rp3,2 M dan saat diOTT turut juga tertangkap uang sebesar Rp1.556.700.

Itu menurut keterangan Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan dalam keterangan persnya Kamis 13 Desember lalu, dan atas perbuatannya itu Bupati Irvan Rivano Muchtar dijadikan tersangka bersama tiga orang lainnya yaitu Disdik Cecep Sobandi dan Kabid SMP DisdikRosidin dan kakak ipar Bupati Tubagus Cepy Sethiadi yang kemudian menyerahkan diri ke KPK dan telah ditahan.

Anehnya masyarakat Cianjur ternyata merasaka bahwa mereka dapat hadiah bagaikan durian runtuh dri KPK, sehingga perlu mengadakan syukuran di alun-alun dengan menyediakan nasi liwet untuk seribuan orang, nasi itu ditaruh di lapangan untuk disantap bersama.

Para supir angkotpun tidak ketinggalan menggratiskan angkotnya bagi masyarakat sebagai rasa syukur atas dikerangkengnya si bupati. Sejumlah orang mencari tukang pangkas untuk menggunduli kepalanya juga sebagai ucapan syukur. Dan gerakan bersama itu katanya berkembang melalui media social, jadi anggota masyarakat berduyun-duyung dari berbagai desa tumplek ke kota Cianjut.

Rasa syukur itu sebagai ungkapan hati masyarakat, karena sang bupati memerintah kontroversial dengan segala tindakannya yang tidak memenuhi aspirasi rakyat, malah sering menghilangkan hak-hak masyarakatnya.

Sebenarnya, ketidak adilan itu bukan hanya pada kepemimpinan Irvan Rivano Muchtar tetap sebelumnya juga sejak kepemimpinan ayahnya Tjetjep Muchtar Soleh, bupati dua periode yang kemudian dilanjutkan anaknya.

Selama kegiatan syukuran masyarkat atas ter-OTTnya bupati tersebut, sering berkumandang atau meneriakkan : ”Hidup KPK, Hidup KPK”.

Dari “peristiwa Cianjur” ini, kita sebut saja “peristiwa”, karena rakyatnya bersuka-cita karena bupatinya ditangkap KPK, aneh dan unik. Mengapa? Kalau kekurang-baikan itu ada sejak Tjetjep Muchtar Soleh, mengapa sampai dua periode? Kalau ayahnya sudah tidak mensejahterakan rakyat mengapa anaknya dipilih? Berarti salah satu bukti bahwa system pemilihan Kepala Daerah yang sekarang perlu diperbaiki, sistemnyakah atau rakyatnya yang tidak tahu diri? Mengapa mau membeli kucing dalam karung.

Juga mengapa partai-partai mendukung dan mencalonkan orang-orang seperti itu? Khusus kepada tokoh masyarakat, baik politisi maupun akademisi yang keberatan dengan adanya OTT oleh KPK, hendaknya tidak menutup mata terhadap masih maraknya korupsi. Memang tugas KPK tidak hanya penindakan tetapi juga pencegahan. OTT itu perlu dilanjutkan, agar orang-orang takut korupsi, kalau cukup bukti harus di OTT sesuai aturan hukum.

Jangan salahkan KPK kalau melakukan OTT, dan para pengkritikm tersebut seharusnya kampanye agar tidak ada yang korupsi merugikan keuangan negara dengan memperkaya diri sendiri dan atau orang lain atau suatu korporasi, jangan buruk muka cermin dibelah.

Peristiwa Cianjur tersebut hendaknya menjadi cermin bagi para pejabat, ternyata pejabat itu tidak selalu disukai masyarakat, terbukti di Cianjur. Olehkarena itu para pejabat, keluarga anak-isteri, sadar dan hati-hatilah, masyarakat tahu hak-haknya yang dikebiri atau digelapkan, Cuma mereka tidak mampu bersuara. Rakyat itu tahu kok bahwa di sekitarnya ada korupsi, kolusi dan nepotisme. Para intelektual juga seharusnya sadar dan tahu itu.

Oleh: Bachtiar Sitanggang, penulis adalah Wartawan Senior dan Advokat berdomisili di Jakarta