Solusi Stunting Menurut Prof Atja
Statistik ini mulai berubah dalam rentang 2013-2018 dimana prevalensi stunting berkurang secara drastis hingga 6,4%, dari angka 37,2% (2013) menjadi hanya 30,8% (2018).
“Ini merupakan sebuah prestasi tersendiri mengingat stunting sebagai sebuah problem serius bagi bangsa ini”, kata Prof Atja, pakar gizi kesehatan masyarakat dari Universitas Hasanuddin, Makassar.
Stunting adalah sebuah kondisi di mana tinggi badan seseorang jauh lebih pendek dibandingkan tinggi badan orang seusianya. Penyebab utamanya adalah kekurangan gizi kronis sejak bayi dalam kandungan hingga masa awal anak lahir, biasanya tampak setelah anak berusia 2 tahun.
Hanya saja, tambah Prof Atja, penurunan prevalensi stunting tersebut ternyata tidak diikuti dengan perbaikan indikator lain yang berpengaruh terhadap stunting.
Data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2018 menunjukkan peningkatan prevalensi anemia pada ibu hamil dari 37,1% (2013) menjadi 48,9% (2018). Selain itu, proporsi risiko kurang energi kronik (KEK) pada wanita usia subur, termasuk ibu hamil tidak mengalami perbaikan, bahkan pada kelompok usia 15-24 tahun justru mengalami kenaikan.
“Ibu hamil yang mendapatkan PMT (Pemberian Makanan Tambahan – Red) hanya 22,6%, dan 92% hanya mendapat 0-30 bungkus dari seharusnya 90 bungkus. Yang dapat lebih dari 90 bungkus PMT hanya 2,1%, jadi efektifitas program PMT hanya sekitar 2,1% saja”, imbuh Prof Atja.
Indikator lain yang tidak mendukung perbaikan stunting menurut Prof Atja adalah proporsi ibu hamil yang memperoleh tablet tambah darah (TTD).
“Proporsi ibu hamil yang peroleh TTD hanya 73,2%. Dari jumlah itu tidak semua mengkonsumsi TTD dalam jumlah yang cukup. Singkatnya, proporsi ibu hamil dari total ibu hamil yang mengkonsumsi TTD hanya berkisar 6,7%. Ini masih sangat rendah”, jelas Prof Atja.
Yang tidak kalah memprihatinkan adalah jumlah balita yang mendapatkan PMT. Menurut data RISKESDAS 2018 sebagaimana dijelaskan Prof Atja, balita yang memperoleh PMT hanya 23,9%, atau sebanyak 58,3% dari 41% balita yang memperoleh PMT.
“Efektifitas PMT untuk balita hanya 0,9% saja. Ini tentu sangat rentan kembali meningkatkan angka stunting. Belum lagi kita bicara cakupan pemberian kapsul Vitamin A yang hanya 53,5%, cakupan ASI eksklusif yang hanya 37,3% dan sebagainya”, ujar mantan Dekan FKM Unhas ini.
Dengan demikian, capaian prevalensi stunting tahun 2018 yang hanya 30,8% tidak akan bermanfaat jika indikator-indikator pendukungnya tidak diselesaikan. Karena itu, Prof Atja mengutarakan sejumlah rekomendasi sebagai solusi agar angka stunting tidak lagi meningkat di masa-masa mendatang.
“Kita tetap optimis bahwa penurunan prevalensi stunting dapat dicapai lebih cepat dari capaian 2013-2018 melalui komitmen penyelamatan 1000 hari pertama kehidupan untuk mencapai sejumlah target yang sudah ditetapkan”, kata Prof Atja.
Lebih lanjut Prof Atja menjelaskan bahwa salah satu target yang harus dicapai adalah kondisi “zero stunting” dari bayi baru lahir dengan cara melakukan intervensi dimulai sejak fase pra-konsepsi. Selain itu, juga perlu digalakkan pemeriksaan anemia dan LILA (lingkar lengan bagian atas) pada setiap calon pengantin wanita.
Target berikutnya adalah mencegah peningkatan prevalensi stunting pada bayi dan balita dengan cara memastikan pemberian ASI dengan benar, mengubah MP-ASI atau PMT Balita dari bentuk pabrikan ke bahan makanan sumber daya lokal.
“Yang tidak kalah penting adalah mencegah bayi dan balita terjangkit infeksi terutama diare dan ISPA melalui cakupan 100% air bersih dan sanitasi lingkungan”, jelas Prof Atja.
Rekomendasi Prof Atja berikutnya adalah memastikan komitmen dan dukungan berkelanjutan dari pimpinan daerah (kota/kabupaten). Menurutnya, stunting hanya dapat dikurangi jika terwujud integrasi intervensi terhadap program gizi spesifik melalui pendekatan multisektor yang efektif.
Selain itu, pendidikan gizi dan kesehatan juga perlu digalakkan kepada setiap lapisan masyarakat. Targetnya adalah adanya perubahan perilaku hidup sehat di masyarakat. Juga perlu disusun program yang berbasis pada keluarga sehingga sasarannya lebih spesifik.
“Semua sektor harus berperan. Inilah mengapa saya selalu katakan bahwa bicara derajat kesehatan sesungguhnya bukan hanya ditentukan oleh sektor kesehatan saja, tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh sektor non-kesehatan”, tutup Prof Atja.
Sebagai informasi, Prof Atja adalah Caleg DPR-RI di Dapil Sulsel 1 yang meliputi daerah Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng dan Selayar. Ia maju menggunakan Partai PDI Perjuangan dengan nomor urut 2. [*]
PENGIRIM: Media Center Prof Atja (
Prof. Dr. dr. Abdul Razak Thaha, M.Sc, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Hasanuddin Makassar)
T I M