Di awal tahun ini, tepatnya 10 Januari lalu saya berkomunikasi dengan teman tentang berita apa yang hangat di Kendari khususnya dan Sulawesi Tenggara umumnya, dari sedikit berita yang menonjol ada satu yang menarik katanya yaitu, “Pelantikan gubernur Ali Mazi yang belum genap 100 hari kerja telah melantik 42 eselon III dan IV sebelumnya juga sudah melantik eselon II”.
Pergantian sebanyak 42 pejabat eselon III dan IV dalam satu provinsi, mungkin saja dianggap suatu tindakan radikal dan revolusioner, bahkan dapat dianggap badai yang menerpa, tetapi itu tuntutan reformasi birokrasi.
Tetapi jangan lupa, bahwa pergantian personil adalah suatu tututan dari pemilihan umum lima tahunan, sesuai dengan tuntutan pembangunan serta strategi penyelenggaraan pemerintahan yang tujuannya adalah untuk efektifitas dan efisiensi aparatur pemerintah daerah.
Di Amerika Serikat ada yang disebut spoil system, yaitu suatu system pergantian aparatur yang terjadi setelah pergantian presiden. Sebagaimana diketahui di sana hanya ada dua partai yaitu Republik dan Demokrat, dan apabila terjadi pergantian Presiden yang berasal dari satu partai ke partai yang satunya, maka Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan yang baru menyesuaikan strategi pemerintahannya sehingga pergantian personil juga terjadi, bahkan dianggap otomatis akan terjadi.
Kita tidak tahu apakah itu yang diikuti gubernur baru atau tidak, tetapi yang jelas semua upaya itu dilakukan untuk lancarnya pemenuhan tugas, fungsi dan tanggung jawab Gubernur yaitu meningkatkan kesejahteraan harkat dan martabat masyarakat Sulawesi Tenggara.
Dan kalau ada yang tidak setuju, jalur hukum terbuka untuk memperbaiki kebijakan itu dan tentunya Gubernur telah mempertimbangkannya, sehingga setiap pergantian aparatur pemerintahan tujuannya hanya satu adalah untuk kebaikan dan perbaikan, yang hanya dapat dicapai melalui perubahan langgam kerja serta semangat kerja.
Kalau di Amerika hanya dua partai, tidak begitu menimbulkan gejolak apabila pergantian aparatur terjadi, dan menurut sejarahnya, semua pihak mahfum pergantian seperti itu, apalagi seseorang yang dari partai lain biasa saja kurang berkenan menjabat di bawah partai rivalnya.
Nah, di Indonesia sekarang ini berapa banyak partai terutama partai pendukung sewaktu mencalonkan diri sebagai gubernur, tentu perlu juga tetap jadi pendukung terutama menyangkut APBD dan Laporan Gubernur, apalagi partai yang memiliki kursi di DPRD, jadi pertimbangannya banyak, sehingga bagi sang pemimpin semakin sulit untuk memilih antara kemampuan dan penjatahan, dan semoga bukan karena KKN tentunya.
Mungkin yang lebih baik untuk menghindari kritik dan memperoleh objektivitas, perlu mengupayakan gaya Ahok, mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama, dengan melelang jabatan melalui test kemampuan, tetapi dengan konsekwensi, kalau tidak cocok, copot.
Pemerintahan kita belakangan ini, sejak beberapa waktu lalu telah berupaya semaksimal mungkin untuk meningkatkan kemampuan dan pelayanan pegawai negeri sipil yang sekarang menjadi aparatur negara sipil, sehingga ada Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.
Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business prosess) dan sumber daya manusia aparatur.
Oleh karenanya, maksud dan tujuan dari pergantian pejabat eselon III dan IV di Sultra tersebut yang menurut teman itu menjadi topik hangat di Kendari, adalah suatu hal yang tidak perlu dirisaukan masyarakat, tentu menjadi pertanyaan dari yang terkena dari pergantian itu apalagi ditarik-tarik ke politik akan semakin riuh.
Tidak banyak provinsi seperti Sulawesi Tenggara diterpa kasus korupsi seperti Sumatera Utara, Riau dan Bengkulu. Memperbaiki penyelenggaraan pemerintahan harus ada perubahan dan pembaharuan melalui revolusi mental agar pola pikir dan langgam kerja mampu mengikuti kemajuan teknologi dan informasi.
Daerah jangan menjadi sarang korupsi melalui perijinan dan pelayanan publik. Kalau bisa dipermudah mengapa dipersulit, kalau bisa dipercepat mengapa harus diperlambat?
Upaya perbaikan sering dianggap “memakan korban”, tetapi itu alamiah, karena kemampuan manusia amat terbatas serta dimakan usia. Sepanjang tidak dibuktikan bertentangan, semua kebijakan harus dianggap sesuai hukum dan peraturan. Selamat bekerja kepada para pejabat baru.***
Bachtiar Sitanggang
Penulis adalah wartawan Senior dan Advokat berdomisili di Jakarta.
PUBLISHER: MAS’UD
Komentar