Dugaan Tindak Pidana Pemilu, Kini Nasib Laode Rafiun Ditangan Hakim

Dugaan Tindak Pidana Pemilu, Kini Nasib Laode Rafiun Ditangan Hakim
Terlihat Ketua DPRD Buton duduk dihadapan 3 hakim, saat sidang di pengadilan Negeri Pasarwajo, Buton, Rabu (23/1/2019). FOTO: SUPARMAN

tegas.co., BUTON, SULTRA – Akibat dugaan kasus tindak pidana pemilu yang dilakukan terdakwa ketua DPRD Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara (Sultra), La Ode Rafiun, kini nasibnya ada ditangan hakim pengadilan Negeri Buton.

Dimana terdakwa lantaran merangkap jabatan sebagai Ketua DPRD Buton serta anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Kancinaa, Kecamatan Pasarwajo, sekaligus calon anggota DPRD kabupaten Buton fraksi PAN pada Pilcaleg 2019 ini.

Dugaan kasus tindak pidana pemilu dengan terlapor La Ode Rafiun sudah tiga kali disidangkan.

Sidang pertama pembacaan dakwaan dan sidang mendengarkan keterangan saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut umum (JPU) Kejaksaan Negeri Buton. Dan hari ini sidang ketiga keterangan saksi dari terdakwa.

Informasi yang dihimpun Tegas.co, temuan dugaan kasus tindak pidana dengan terlapor La Ode Rafiun bermula dari laporan masyarakat terkait La Ode Rafiun sebagai calon anggota DPRD tidak memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai calon legislatif oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Buton. Lantaran Politisi PAN ini selain menjabat sebagai Ketua DPRD Buton juga masih aktif sebagai anggota BPD Desa Kancinaa.

Hasil pantauan media ini, pada Selasa (23/1/2019) kemarin, saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Buton, yakni Kepala Desa (Kades) Kancinaa, Ketua BPD, Bendahara Desa, Sekertaris Desa, Ketua KPU, anggota Bawaslu dan ahli. Dimana pernyataan mereka memberatkan terdakwa.

Kades Kancinaa, Zainuddin dalam kesaksiannya mengakui bahwa La Ode Rafiun masih menjabat sebagai anggota BPD Desa Kancinaa periode 2013 sampai 26 Januari 2019. Pengangkatan anggota BPD dilaksanakan melalui musyawarah kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan (SK) Bupati Buton Nomor 56 tahun 2013.

“Terdakwa pernah satu kali mengikuti rapat saat 2017, selain itu tidak pernah mengikuti rapat lagi. terkait penolakan hasil Musrembang desa, persoalan jalan usaha tani. Saat itu terdakwa diundang masih sebagai anggota BPD,”kata Zainuddin, saat bersaksi dihadapan majelis hakim pengadilan Negeri Pasarwajo, Selasa (22/1/2019).

Lanjut kata dia, sejak 2014 hingga 2018 terdakwa masih menerima tunjangan sebagai anggota BPD. Dan terdakwa pernah menyampaikan di kantor Desa Kancinaa secara lisan, dimana pihaknya mau mengundurkan diri sebagai anggota BPD, namun tidak dilihatkan surat pemberhentian dari Bupati Buton. Sehingga menurutnya terdakwa masih sah menjabat sebagai anggota BPD, sebab sampai saat ini belum ada penggantinya.

Senada juga disampaikan saksi Ketua BPD Desa Kancinaa, Sarifuddin, dalam kesaksiannya, dimana dirinya membenarkan bahwa La Ode Rafiun (terdakwa) masih sebagai anggota BPD Desa Kancinaa berdasarkan Surat keputusan (SK) Bupati Buton 56 tahun 2013 tentang pengangkatan anggota BPD Desa Kancinaa.

Ia juga menuturkan pihaknya bersama 5 anggota BPD tidak pernah melakukan rapat internal, terkecuali rapat bersama pemerintah Desa. Namun, terdakwa masih menerima gaji sebagai anggota, hanya saja yang bersangkutan tidak pernah sama sekali tanda tangan setiap bukti penerimaan tunjangan/gaji.

“Setiap pembayaran gaji atau honorarium BPD sering bendahara desa dikasih sama saya, nanti saya berikan kepada keempat anggotaku. Namun hanya terdakwa tidak mau tanda tangan. Dari 2013 sampai 2015, saya selalu berikan di rumahnya terdakwa,”ungkapnya.

Kemudian sekretaris desa Waode Nursia, menuturkan pada 2015 dirinya menjabat bendahara desa dan saat itu besaran tunjangan/honorium BPD bervariasi, diantaranya, Ketua BPD RP 800 ribu, wakil ketua Rp 750 ribu, dan anggota 650 ribu. Namun, dari semua anggota, hanya terdakwa yang tidak menandatangani bukti penerimaan tunjangan.

Sama halnya dengan keterangan Bendahara desa 2016 -2019, Yeni mengatakan, mulai 2016 gaji anggota BPD diserahkan langsung kepada Ketua BPD. Ketua BPD yang membagikan kepada anggotanya. Termasuk di 2017 gaji terdakwa diserahkan langsung oleh Ketua BPD. Selanjutnya di 2018 pada tahap pertama penerimaan tunjangan, istri pertama yang ambil tunjangan terdakwa kemudian tahap dua diambil ipar terdakwa tidak lain perangkat desa Kancinaa.

Dari kesaksian Kades dan Ketua BPD, Sekretaris desa dan Bendahara desa mengaku belum pernah menerima surat pemberhentian secara langsung dari  terdakwa maupun dari Pemda Buton (Bupati Buton) yang mengeluarkan SK  pemberhentian sebagai anggota BPD.

Di tempat sama, saksi ahli yang dihadirkan JPU, Doktor Sabaruddin Sinapoy SH, MH, mengungkapkan pemberhentian anggota BPD harus melalui musyawarah anggota BPD baru melahirkan suatu keputusan.

Kemudian keputusan BPD tersebut diajukan kepada Bupati atau Pejabat Tata Usaha Negara (PTUN) untuk mengeluarkan SK pemberhentian. Hal itu sesuai dengan peraturan pemerintah nomor 43 tahun 2014 maupun Peraturan Daerah Kabupaten Buton Nomor 3 tahun 2008.

“Secara otomatis konteksnya sama apakah meninggal dunia maupun permberhentian sendiri atau diberhentikan, harus dirapatkan melalui badan musyawarah BPD, kemudian melahirkan suatu keputusan untuk diajukan kepada Bupati untuk mengeluarkan surat keputusan pemberhentian. Artinya harus memenuhi persyaratan prosedural,” jelasnya.

Berkaitan dengan surat pemberhentian yang dikeluarkan Bupati Buton pada 2015 atas permintaan sendiri oleh terdakwa, menurut saksi ahli, surat tersebut hanya berbentuk surat pengajuan biasa yang diajukan kepada Bupati. Seyogyanya, lanjut dia, surat pemberhentian yang dikeluarkan oleh pejabat tata usaha negara tersebut harus ditindaklanjuti dengan surat keputusan.

“Misalnya, pada saat dilantik menjadi anggota BPD format atau bentuknya surat keputusan, terdiri dari beberapa hal ada konsiderannya, seperti menimbang, mengingat dan lain-lainnya. Artinya diberhentikan pun harus sama sesuai dengan aturan awal saat dilantik, tidak boleh berbeda,”tuturnya.

Lanjut Sabaruddin, sepanjang belum diterbitkan surat pemberhentian berdasarkan surat keputusan, maka sepanjang itu juga yang bersangkutan dianggap masih menjabat sebagai anggota BPD walaupun tidak melakukan kewajibannya. “Berarti dianggap masih aktif, karena tidak diterbitkan surat keputusan sebagaimana yang harus dikeluarkan oleh pejabat tata usaha negara,” tegasnya.

Sementara itu, saksi ahli yang dihadirkan terdakwa Dr Kamarudin Djafar SH. MH,  menuturkan terhadap persoalan La Ode Rafiun terdapat 2 aspek, yakni, administratif dan dugaan tindak pidana.

Contoh dalam aspek administratif, berhenti atas permintaan sendiri tidak mesti membutuhkan surat keputusan. Untuk status berhenti tidak mesti membutuhkan pemberhentian karena berhenti itu kehendak, bentuknya dibentuk oleh personalitasnya itu sendiri, jadi dia tidak membutuhkan surat keputusan. Yang membutuhkan keputusan adalah pemberhentian. Sebab berhenti dan pemberhentian itu berbeda.

Kemudian terkait dengan aspek dugaan tindak pidana Pemilu, Dosen Fakultas Hukum Universitas Haluoleo ini mengungkapkan, tindak pidana harus  membutuhkan fakta hukum. Hal ini merujuk pada Undang-undang Pemilu nomor 7 tahun 2017 pasal 280 ayat 3.

“Sementara belum ada fakta hukumnya yang ditunjuk itu adalah kegiatan kampanye. Kampanyenya belum jalan lantas dikatakan ikut serta bagaimana bisa, sementara kampanye belum masuk,” tegasnya.

“Pemberhentian itu tidak harus ada surat keputusan karena normanya yang mengatur begitu. Jadi kalau normanya mengatur seperti itu, terus lantas kita mau menafsirnya bagaimana. Jadi tafsirnya itu duduk pada aturan. Kalau kita mau itu harus surat keputusan maka rubah dulu aturannya. Terus kenapa aturan seperti itu, karena kalau dilaksanakan pemberhentian itu bisa saja terjadi kekosongan hukum. Kalau saya melihat status tersangka sudah jatuh ketika dia mengundurkan diri. Adapun SK nomor 56 tahun 2013 lalu terlebih dahulu harus dibuktikan dulu keabsahannya,”paparnya.

Kendati demikian, SK nomor 56 tahun 2013 tentang pengangkatan La Ode Rafiun sebagai anggota BPD tetap sah, namun khusus bagi yang bersangkutan tidak lagi.

“Jadi seharusnya ada perubahan karena perubahan status kepada yang bersangkutan tidak dimasukan lagi. Sehingga pengunduran dirinya itulah dasar untuk dilakukan perubahan. Surat pengunduran Rafiun itulah yang menjadi dasar untuk merubah, harus ada PAW. Jadi tidak ada urusan lagi bagi yang mengundurkan diri. Jadi seharusnya Bupati Buton yang menindaklanjutinya,”katanya.

REPORTER: SUPARMAN

PUBLISHER: MAS’UD

Terlihat Ketua DPRD Buton duduk dihadapan 3 hakim, saat sidang di pengadilan Negeri Pasarwajo, Buton, Rabu (23/1/2019). FOTO: SUPARMAN

Komentar