Sekarang menjelang Pemilu 17 April 2019, sudah ada 16 parpol di tingkat nasional dan empat parpol lokal di NAD, untuk memperebutkan 575 kursi di DPR RI dan sejumlah kursi DPRD Provinsi, Kabupaten dan Kota di seluruh Indonesia.
Beraneka ragam motivasi seseorang menjadi caleg, dan juga calon eksekutif (caleks) tetapi mungkin lebih banyak sebagai pencari kerja, akan tetapi mungkin sekali untuk lebih meningkatkan taraf hidup dengan penghasilan yang lebih besar dan tidak sedikit untuk memperoleh kehormatan sebagai wakil rakyat serta menjadi pemimpin di daerah, bak raja-raja kecil.
Semua upaya untuk jadi anggota dewan yang terhormat maupun gubenur, bupati dan wali kota bahkan calon presiden itu sah-sah saja sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan semakin banyak calon sebenarnya semakin baik bagi rakyat untuk memilih calon yang terbaik sesuai dengan kebutuhan warga dan daerahnya.
Yang menjadi soal adalah mudahnya perpindahan kader dari satu partai ke partai lain seolah seenaknya saja, bagaikan lagu, “kau datang dan pergi, sesuka hatimu, kejamnya…..”.
Hal itu kita singgung sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Wakatobi, ternyata sejak pendaftaran caleg 4 Juli 2018 lalu sampai sekarang, ternyata ada 7 (tujuh) orang anggota DPRD Kabupaten Wakatobi yang pindah partai, artinya ke-7 orang itu “pindah” dari partainya yang sekarang, partai mana yang membawa dia duduk di DPRD.
Misalnya, menurut berita Tegas.co September 2018 lalu, lima orang semula Partai Amanat Nasional (PAN) kemudian pada Pemilu tahun 2019 ini menjadi caleg dari Partai Golongan Karya (Partai Golkar), sedang dua orang lagi, satu orang dari PDI-P dari Partai Golkar pindah dan mencalonkan diri dari PKS.
Ada beberapa hal yang menjadi permasalahan, pertama, apakah ke-7 orang yang telah pindah partai itu masih menerima gaji dalam jabatannya sebagai anggota dewan yang terhormat dari partai yang telah ditinggalkannya? Kalau masih menerima di manakah moralnya, menerima yang bukan haknya, apakah itu bukan korupsi, karena merugikan keuangan negara, dengan memakan gaji tanpa hak? Karena menurut beberapa sumber, sampai saat ini belum ada pergantian anggota antar waktu (PAW) karena hambatan administrasi.
Selama mereka tidak melaksanakan tugasnya lagi karena sudah pindah partai, di manakah moral mereka sesuai dengan sumpahnya, di mana mereka selama jangka waktu lima tahun akan menampung dan memperjuangkan aspirasi konstituennya dan dapilnya? Sehingga selain merugikan partai yang ditingggalkannya, “caleg-caleg kutu loncat” juga merugikan masyarakat tidak hanya keuangan negara.
Tetapi bagi mereka-mereka caleg yang berpindah partai itu harus diacungkan jempol, sebab mereka percaya diri berpindah partai tanpa gentar di tinggal konstiuennya, atau memang para pemilihnya yang tidak punya hati nurani dipermainkan sehingga mau memilih orang seperti itu? Sebab sungguh tidak bertanggungjawab mempermainkan partai, hanya kedele yang baik pada pagi dan hari dan tempe dan tahu sore hari.
Dengan mudahnya mendirikan partai baru, di alam demokrasi ini kelihatannya sudah perlu diadakan Kode Etik partai politik yang mengatur siapa, mengapa dan bagaimana anggota partai, hubungan antar dengan partai, antar anggota partai yang satu dengan partai yang satunya termasuk hubungan antar anggota partai.
Dengan kode etik partai akan semakin berwibawa dan tangguh sehingga para politisi menjadi negarawan-negarawan handal dan pengabdi negara yang sejati.
Di panggung per-politik-an nasional juga terjadi pindah partai atau mendirikan partai baru, tetapi tidak berhubungan dengan pemilih keuangan negara. Dengan Kode Etik partai-partai itu akan semakin berwibawa dan tidak dijadikan bagaikan mainan oleh petualang politik, sebab dengan mudahnya keluar masuk anggota partai, apalagi yang sudah jadi angggota dewan bila pindah partai akan merugikan masyarakat dan keuangan negara.***
Bachtiar Sitanggang SH
Penulis adalah wartawan senior dan advokat berdomisili di Jakarta
PUBLISHER: MAS’UD
Komentar