Pola Pikir Sekuler, Menjauhkan Umat dari Syariat

Mantra sekulerisme telah menjangkiti pemikiran sebagaian besar masyarakat di negeri ini. Mulai dari para pemangku tahta, hingga rakyat biasa. Sistem ini telah  membawa manusia pada pemikiran dan perilaku hidup tak islami yang jauh dari tatanan syariat. Kekuasaan pun jadi legitimasi untuk menekan siapa saja yang tak sejalan. Sehingga Kenetralan penguasa semakin dipertanyakan lewat banyaknya aksi-aksi kriminalisasi terhadap pihak oposisi.

Beberapa waktu yang lalu Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Rudiantara menyindir salah satu aparatur sipil negara (ASN) atau pegawai negeri sipil (PNS) di kementeriannya yang memilih pasangan calon nomor urut 02 di Pilpres 2019, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Iklan ARS

Kejadian itu bermula saat Rudiantara meminta ratusan pegawai Kemenkominfo memilih stiker sosialisasi Pemilu 2019 yang akan ditempel di komplek kementerian tersebut. Ada dua desain stiker. Stiker pertama berwarna dasar merah, Rudiantara menamainya nomor satu. Sementara desain kedua berwarna dominan putih, ia menamainya nomor 2.  “Preferensi teman-teman memilih nomor satu atau nomor dua?”tanya Rudiantara dalam acara Kominfo Next di Hall Basket Senayan, Jakarta, Kamis (31/1).

Menteri Rudiantara kemudian menunjuk dua orang perwakilan pegawai yang memilih desain nomor satu dan dua. Selanjutnya beliau memanggil ke atas panggung perempuan  pemilih desain nomor dua untuk ditanyakan alasannya memilih desain nomor dua. Di luar dugaan ternyata jawabannya menjurus ke arah pemilihan presiden  2019.  “Bismillahirrahmanirrahim, mungkin terkait keyakinan saja, Pak. Keyakinan atas visi-misi yang disampaikan nomor dua, yakin saja,” ucap pegawai tersebut lugas.

Saat pegawai pemilih desain nomor dua berjalan ke tempat duduk, Rudiantara berteriak memanggilnya lagi. “Bu! Bu! Yang bayar gaji ibu siapa sekarang? Pemerintah atau siapa? Hah?” ujar Rudiantara dengan suara meninggi. (CNN Indonesia)

Pola Pikir Sekuler, Menjauhkan Umat dari Syariat
SARTINAH (PEMERHATI MUSLIMAH DAN UMAT)

Pernyataan Menkominfo tersebut sontak saja menuai banyak kritikan, diantaranya dari Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini yang mengkritisi  pernyataan Menteri Rudiantara, dengan mengatakan bahwa pejabat negara seharusnya berhati-hati dalam bertindak di tahun politik, dan tidak melakukan aktivitas yang mengarah kepada konstestasi politik. Hal itu, menurutnya, bisa membuat masyarakat makin terpolarisasi jelang Pilpres 2019. (Tempo.co)

Setali tiga uang dengan pernyataan Titi, kritikan juga diberikan oleh  Ahli hukum tatanegara Dr A Irmanputra Sidin yang membahasnya dari sisi konstitusional terkait pertanyaan “Yang gaji kamu siapa”. Dalam tulisannya, aparatur negara yang notabene adalah petugas yang menjalankan negara dibayar oleh rakyat, yang secara konstitusional adalah pihak yang membayar mereka.

Irmanputra menjelaskan, gaji ASN berasal dari keuangan negara (Pasal 23 UUD 1945) yang bersumber dari pajak yang dibayar rakyat, baik kaya maupun miskin. Sebab menurutnya, uang negara bukan milik pemerintah atau presiden. Pemerintah hanya diberi mandat untuk mengelola dan menyalurkan untuk kepentingan rakyat.

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa pola sikap dan pola pikirnya tak bisa dilepaskan dari sistem sekuler saat ini. Dimana, akal manusia yang sangat lemah namun didaulat sebagai pembuat aturan. Hingga yang tampak kemudian adalah merajalelanya pemikiran-pemikiran sekuleris yang diemban para pengusung sistem ini. Lihatlah bagaimana para punggawa negeri ini menganggap bahwa  aparatur sipil negara (ASN) digaji oleh negara, yang menjadikan mereka seolah tidak berhak memiliki kemerdekaan berpendapat. Cara pandang yang demikian  menjelaskan bahwa para pemangku kuasa telah menafikan Allah SWT sebagai Zat yang memberi rizki.

Terlebih, hal itu seolah dilakukan sebagai  penekanan, bahwa siapapun yang bergelar ASN wajib meyakini bahwa negara adalah pemberi rizki. Pandangan tersebut telah mengisyaratkan bahwa Allah SWT bukan satu-satunya Zat yang memberi rizki. Cara pikir seperti inilah yang menghalangi   umat untuk tunduk pada syariat Allah, sehingga terjerumus pada kehidupan yang rusak dan jauh dari keberkahan.

Semua berawal ketika sistem Kapitalisme liberal yang menjadikan sekulerisme sebagai asasnya masih diemban dan diagungkan. Sebagaimana diketahui bahwa Sekulerisme menjadi pangkal segala kerusakan yang terjadi hari ini. Sebab, Sekulerisme adalah paham yang memisahkan agama dari negara. Agama hanya boleh mengatur urusan individu dan Penciptanya dalam  ruang lingkup ibadah, sementara dalam urusan  kehidupan, agama tak diberi hak sama sekali untuk mengaturnya.

Akhirnya, manusia menjadi satu-satunya yang paling berhak untuk  mengatur kehidupannya. Dan patut diketahui, jika sebuah aturan hidup telah diserahkan pada tangan-tangan manusia untuk mengaturnya, niscaya akan cenderung didominasi oleh hawa nafsu dan Ideologi yang diembannya. Alhasil, tampaklah kelemahan dan kerusakan di dalamnya, baik dalam hal pengaturan apalagi dalam memahami hakekat hidup dan bagaimana menjalani kehidupan.

Dikotomi antara agama dan kehidupan dalam sistem sekuler telah merampas hak Allah SWT sebagai pembuat hukum. Dan tampak terang-benderang disegala bidang potret Sekulerisme akut telah menjangkiti pola pikir para pejabat negara, bahkan sebagian besar kaum muslim. Hingga telah tampak dipermukaan, kekaburan dalam memahami tentang hidup yang sahih karena meninggalkan hukum Allah SWT.

Akibatnya, negara seolah hanya milik penguasa, hingga mereka merasa bebas berbuat apapun sesuai kehendakya, termasuk menekan orang-orang yang berada di bawahnya. Hukum pun layaknya pisau dapur yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Pun demikian dengan netralitas para pejabat negara yang tak lagi bisa dipercaya karena lebih condong pada penguasa.  Serta kerusakan  lainnya yang akan terus terjadi jika masih  melanggengkan sistem sekulerisme liberal tersebut.

Hal ini sangat bertolak belakang dengan pola asuh Islam dalam mengajarkan manusia memahami hidup, dan bagaimana seharusnya kehidupan ini dijalani. Sebab Islam adalah agama yang diturunkan Allah SWT dan sangat konprehensif  dalam mengatur aktivitas manusia, baik dalam urusan dunia maupun akhirat. 

Islam tidak mengenal adanya  dikotomi antara pengaturan urusan kehidupan dengan pengaturan urusan akhirat. Sebab, keduanya  didasarkan  pada syariat Islam untuk mengaturnya. Manusia hanya wajib menjadikan  aqidah Islam sebagai landasan dalam kehidupan, dan menjadikan Allah SWT sebagai satu-satunya Pengatur. Yang pasti, menjadikan aturan Islam sebagai way of life adalah suatu hal yang tidak bisa ditawar-tawar apalagi dikompromikan.

Sesungguhnya hidup adalah nikmat yang berikan Allah SWT. Namun manusia tak boleh hanya sekadar hidup dan memilih menggunakan  aturannya sendiri, sebab Allah SWT  menciptakan manusia untuk beribadah. Olehnya itu tak layak seorang manusia hidup di bumi-Nya dengan jumawa dan mengabaikan segala titah Sang Pencipta hanya demi bongkahan materi dan magnet kekuasaan yang semakin kuat menarik.

Saatnya umat kembali kepada Islam sebagai wujud ketundukan dan ketaatan kepada Allah SWT dengan menerapkan seluruh aturannya dalam kehidupan. Karena hanya dengan diterapkannya sistem Islam, kemuliaan sebagai khairu ummah dan ummatan wahidah akan  dikembalikan. Yang tak kalah penting, penerapan syariat Islam dalam kehidupan akan menjadi jalan terwujudnya rahmat bagi seluruh alam. Wallahu a’lam bish shawwab

PENULIS: SARTINAH (PEMERHATI MUSLIMAH DAN UMAT)

PUBLISHER: MAS’UD

Komentar