Sekolah Untuk Korupsi?

Sekolah Untuk Korupsi?
PENGIRIM: SUPARNO AZNIN


“ . . . Pertama, faktor keterpaksaan. Kedua, faktor struktural. Dan ketiga, faktor pola hidup atau hedonisme. Namun, dari ketiga faktor yang telah disebutkan tadi tentunya masing-masing faktor tidak berdiri sendiri. Ketiganya saling berhubungan dan juga bisa saling menguatkan satu sama lain.”

Pada  kesempatan kali ini – kajian rutin bulanan para kere – Karni punya giliran. Sejak pagi ia belum mendapat ide tentang topik apa yang akan ia sampaikan pada diskusi malam nanti. Ia memutuskan untuk berkeliling kota. Dalam perjalanannya itu ia menyempatkan diri untuk singgah di salah satu angkringan milik mantan kere juga – sahabat mereka – yang sekarang sudah lumayan taraf pencapaian hidupnya. Ia melihat  koran bekas teronggok  di seputaran  bangku  angkringan  sahabatnya  itu.  Lalu,  Karni  memungut  dan segera  membaca  koran  bekas  tersebut.  Di  halaman depan ia  menemukan berita terkini. Yaitu, berita tentang salah seorang tokoh muda, pemimpin partai politik, yang tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) di  salah satu kota di bagian timur pulau Jawa.

Iklan Pemkot Baubau

Setelah  melahap  berita  tersebut,  Karni  senyum-senyum  sendiri  karena  ia telah mendapat ide tulisan untuk dipersembahkan pada diskusi malam nanti. Ia tidak tertarik membahas tentang mengapa orang-orang harus korupsi, tetapi perhatiannya lebih tertuju pada apa sebenarnya penyebab atau latar sehingga orang-orang harus bertindak korup. Perilaku korup ini semacam sudah menjadi budaya. Korupsi sudah menjadi hal wajib bagi seorang pemimpin. Bahkan ada yang mengatakan bahwa bukan pemimpin bila tidak korupsi. Ia sendiri sangat prihatin jangan sampai suatu saat nanti hanya korupsi lah yang bisa kita warikan kepada anak cucu kita kelak.

Karni tidak lama berada di angkringan sahabat lamanya itu. Ia hanya mengambil sepotong tempe goreng kemudian berlalu pergi. Ia berjalan cepat ke markas besar para kere. Sesampainya, ia meraut pensil, mengambil kertas dan mulai menulisi kertas kosong yang ada di hadapannya. Ia berhasil menuliskan ide tersebut dalam 225 kata.

Singkat cerita, Karni telah siap menyampaikan idenya tentang berbagai hal seputar korupsi. Ia mulai membacakan – dengan pelan dan datar – hasil tulisannya di hadapan para kere yang telah berkumpul pada malam itu.

Korupsi. Kata yang sederhana dan singkat. Namun, manusia membutuhkan banyak  tenaga  dan  waktu  yang  tidak  singkat  untuk  melenyapkannya.  Ada yang mengatakan kalau korupsi di negeri ini membutuhkan waktu 200 tahun untuk menghapusnya. Jangka waktu yang tidak singkat tentunya.

Telah banyak bukti dalam sejarah yang kita jumpai bahwa korupsi bisa meruntuhkan kemanusiaan dan efeknya sangatlah lama. Korupsi menjadi semacam makhluk yang menyeramkan. Ia menjajah setiap bangsa di tiap peradaban. Telah banyak cara yang ditelurkan oleh para peneliti tentang bagaimana cara membasmi korupsi. Tetapi, semakin cara itu berkembang, korupsi juga ikut berkembang. Keduanya, nyatanya, berbanding lurus. Ibarat kecepatan, korupsi ialah kendaraan yang lebih laju bila dibandingkan dengan kendaraan  lainnya.  Korupsi  semacam  bertumbuh  seiring  dengan perkembangan kecanggihan teknologi dan informasi.

Tidak sedikit pula para ahli yang mencoba mengungkap sebab-sebab praktik korupsi  yang  telah  mengakar.  Ada  yang menyatakan  kalau  korupsi  adalah persoalan moral. Ada juga yang menyatakan kalau korupsi itu tidak hanya persoalan moral saja tetapi juga persoalan sosial dan kebijakan. Pokoknya ada banyak   pendapat.   Masing-masing   pendapat   memang   tidak   sama   tetapi memiliki titik potong satu sama lain.

Terlepas  dari  itu  semua,  penulis  mengira  setidaknya  terdapat  tiga  faktor utama penyebab korupsi. Pertama, faktor keterpaksaan. Kedua, faktor struktural. Dan ketiga, faktor pola hidup atau hedonisme. Namun, dari ketiga faktor yang telah disebutkan tadi tentunya masing-masing faktor tidak berdiri sendiri. Ketiganya saling berhubungan dan bahkan cenderung bisa saling menguatkan satu sama lainnya.”

Semua yang hadir pada malam itu semacam terbakar oleh topik yang dibawakan oleh Karni. Pasalnya, pandangan mereka tidak seperti biasanya. Mereka semacam telah banyak menyimpan tanggapan dan pertanyaan tentang korupsi di negeri ini. Korupsi yang semakin populer dan mengakar dari hari ke hari.

Arno memulai dengan tanggapan ringan.

“Ini topik menarik. Sangat menarik. Negeri kita sekarang sedang disiksa oleh makhluk laknat bernama korupsi. Lagipula, orang-orang juga sedang ramai- ramainya  membicarakan  tokoh  parpol  yang  terjaring  kasus  korupsi.  Jadi, klop dan kontekstual.”

Ia menutup komentar singkatnya. “Saya tidak ingin menyalahkan pelaku korupsi karena memang mereka pada dasarnya sudah salah. Saya lebih tertarik pada api ketimbang asap. Kasus korupsi akhir-akhir ini itu hanya akibat. Lalu, sebenarnya apa penyebabnya? Sepertinya telah dipaparkan oleh saudara Karni bahwa terdapat tiga faktor utama sebagaimana telah disebutkan  tadi.  Akan  tetapi,  kami  butuh  penjelasan  lebih  detail.  Bisakah kamu terangkan segampang mungkin Kar?”

“Menurut saya”, sergap Karni menanggapi, “sebenarnya mungkin saja tidak hanya tiga faktor. Bisa jadi ada sangat banyak. Itu hanya pendapat saya. Pertama, keterpaksaan. Keterpaksaan saya anggap sebagai sebab karena “terpaksa” itu sendiri telah mendorong si pelaku untuk melakukan tindak pidana korupsi. “Terpaksa” di sini juga dilatarbelakangi oleh kebutuhan ekonomi. Misalnya, seseorang terjepit hutang banyak sehingga ia menggunakan jabatannya untuk menggaet uang sebanyak mungkin  dalam rangka melunasi hutangnya tersebut. Atau, ia juga terpaksa harus korupsi karena harus membiayai kebutuhan keluarga dan biaya sekolah anak- anaknya.  Dan,  kesemua  itu  tentunya  tidak  dapat  ditunda  lagi.  Intinya,  si pelaku korupsi tidak memiliki jalan lain selain berlaku korup. ”

Faktor kedua?”, kejar karib kere lainnya.

“Faktor  struktural.  Maksudnya,  regulasi  yang  ada  dalam  suatu  instansi sengaja   dirancang   oleh   pihak-pihak   yang   berkepentingan   sedemikian sehingga mau tidak mau orang-orang yang ada di dalam sistem itu harus berlalku korup. Faktor kedua ini secara tidak langsung membuat orang- oarang  di  dalamnya  melakukan  korupsi  tetapi  mereka  tidak  menyadari bahwa itu adalah korupsi. Karena korupsi sudah menjadi kegiatan sehari- hari. Lagipula, masyarakat juga sudah biasa dengan hal semacam itu. Bukan masalah lagi bahkan dianggap hal lumrah.”

“Contohnya?”, tanya kembali kere yang bertanya.

“Pungli atau pungutan liar. Saya tidak ingin bicara terlalu jauh tentang ini. Saya tidak ingin dituduh menfitnah dan akhirnya masuk bui.”

“Kere kok takut masuk bui? Asal tahu saja, di bui kita bisa makan gratis”,

sambar kere yang baru bergabung. Tawa para kere meledak sejadinya.

“Faktor ketiga?”, desak kere lainnya lagi setelah tawa mereka reda.

“Hedonisme. Ini terkait pola hidup atau gaya hidup. Gaya hidup hedon yang bermewah-mewah telah menjadi hal wajib di kalangan tertentu. Dan, yang pasti   hedonisme   tidak   dianut   oleh   kalangan   kere.   Dengan   kata   lain, hedonisme sudah menjadi pola hidup kaum elit tertentu yang pada akhirnya mendorong para hedonis untuk terus mempertahankan pola hidup semacam itu. Hal semacam ini juga berkaitan dengan kedudukan sosial dalam masyarakat. Ia telah menjadi kebutuhan primer. Jadi, pola hidup hedon membutuhkan biaya yang tidak sedikit alias besar jumlahnya. Biaya inilah yang harus dibayar oleh penganut hedonisme sebagai konsekuensi logisnya. Salah satu caranya instannya adalah dengan korupsi.”

Semua yang hadir pada malam itu semacam puas dengan jawaban-jawaban yang dipaparkan. Hal itu terlihat dari gerak kepala mereka yang cenderung mangangguk-ngangguk.

“Saya masih aga terganggu dengan statement terakhirmu tadi Kar, yaitu dari ketiga faktor yang telah disebutkan tadi tentunya masing-masing faktor tidak berdiri sendiri. Ketiganya saling berhubungan dan bahkan cenderung bisa saling menguatkan satu sama lainnya. Apa maksudnya?”, Lantip kebingungan.

“Saya pernah membaca sebuah buku. Dulu sekali. Judulnya ‘Korupsi’. Dalam buku itu diceritakan bahwa ada seorang pegawai negeri yang gajinya tidak mencukupi biaya hidup keluarganya.  Ia terpaksa harus korupsi untuk itu. Korupsi ini terus berlanjut. Hingga akhirnya, atasannya mengetahui bahwa pejabat tersebut melakukan korupsi. Atasan tersebut tidak menindak si bawahan. Ia menjadikan data korupsi bawahannya tersebut sebagai senjata untuk mempertahankan  kepentingannya.  Kemudian,  atasan  yang  lebih  di atas lagi melakukan hal yang sama seperti atasan yang pertama tadi. Hal inilah  yang  membudaya  dalam  suatu  lingkup  kerja.  Intinya,  saya  untung, kamu untung dan kita semua aman.”

“Maksudmu korupsi itu tidak dilakukan oleh satu orang saja? Ia dilakukan secara berjamaah karena melibatkan sistem?”, sambar kere senior dengan mata terbelalak.

“Bisa jadi seperti itu. Soalnya, tidak mungkin satu orang bisa membereskan satu sistem yang melibatkan banyak pihak”, jawab Karni santai.

Hening sejenak. Mereka dikuasai oleh statement Karni barusan. Ini semacam pengetahuan baru di kalangan kere. Kemudian, suara Lantip membelah kesunyian.

“Tunggu dulu! Ada yang terlewat. Yang korupsi ‘kan para pejabat. Sementara mereka   semua   itu   adalah   orang-orang   berpendidikan.   Gelar   akademik mereka bertaburan di depan dan belakang nama mereka. Kok masih korupsi? Apakah  tingkat  pendidikan  bukan  jaminan  untuk  bebas  dari  perbuata n korup? Atau jangan-jangan pendidikan dimaksudkan untuk korupsi? Sekolah untuk korupsi?”

“Jawab sendiri pertanyaanmu itu. Dasar kere”, sambar kere tertua.

Para kere tertawa terbahak-bahak. Mereka semua bersyukur tidak menjadi pejabat karena terhindar dari perbuatan korup. “Kere itu miskin tapi bebas dari   perbuatan   korupsi”   adalah   salah   satu   slogan   mereka.   Lagipula, keterlaluan kalau kere korupsi.

PENGIRIM: SUPARNO AZNIN

Komentar