Seorang gadis berinisial RH (23), warga kecamatan Puuwatu, kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) yang merupakan mahasiswi semester akhir di salah satu universitas yang ada di Kendari harus berurusan dengan aparat kepolisian setelah melakukan dugaan tindak pidana kasus pencurian dan penggelepan belasan kendaraan sepeda motor dan laptop, Jum,at sore 5 Juli 2019.
Modus operandi yang dilakukan pelaku dengan cara menyewa motor milik temannya seharga 80 ribu rupiah perhari.
Kemudian menggadaikan ke pada seorang rentinir dengan harga 3 – 4 juta rupiah, begitu pula dengan laptop.
Selain menggelapkan motor temannya, pelaku juga sempat menggelapkan motor milik orang tuanya.
Kapolsek Mandonga AKP Jupen Simanjuntak mengatakan, motif pelaku melakukan penggelapan untuk memenuhi kebutuhan hidup mewah di lingkungan kampus.
“Berfoya-foya bersama teman – temanya,”kata Jupen Simanjuntak dengan singkat.
Sementara itu seorang pengusaha yang menjadi korban pelaku mengaku rugi puluhan juta rupiah.
“Motor yang digadaikan pelaku merupakan motor hasil sewaan dan bukan milik pelaku,”kata Asrul Qory selaku korban.
Untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya pelaku dikenakan pasal 378 dan 372 atas tindak pidana penggelapan dengan ancaman 4 tahun penjara.
Unsur-Unsur Tindak Pidana Penipuan dan Penggelapan
Tindak pidana penipuan dan penggelapan dalam KUHP diatur pada Buku II tentang Kejahatan terhadap Harta Kekayaan, yaitu berupa penyerangan terhadap kepentingan hukum orang atas harta benda yang dimilikinya. Secara umum, unsur-unsur tindak pidana terhadap harta kekayaan ini adalah mencakup unsur obyektif dan unsur subyektif.
Adapun unsur obyektif yang dimaksud adalah berupa hal-hal sebagai berikut :
(1) Unsur perbuatan materiel, seperti perbuatan mengambil (dalam kasus pencurian), memaksa (dalam kasus pemerasan), memiliki / mengklaim (dalam kasus penggelapan, menggerakkan hati / pikiran orang lain (dalam kasus penipuan) dan sebagainya;
(2) Unsur benda / barang;
(3) Unsur keadaan yang menyertai terhadap obyek benda yakni harus merupakan milik orang lain;
(4) Unsur upaya-upaya tertentu yang digunakan dalam melakukan perbuatan yang dilarang;
(5) Unsur akibat konstitutif yang timbul setelah dilakukannya perbuatan yang dilarang.
Sedangkan unsur subyektifnya adalah terdiri atas :
(l) Unsur kesalahan yang dirumuskan dengan kata-kata seperti “dengan maksud”, “dengan sengaja”, “yang diketahuinya / patut diduga olehnya” dan sebagainya; dan
(2) Unsur melawan hukum baik yang ditegaskan eksplisit / tertulis dalam perumusan pasal maupun tidak.
Mengenai Delik Penipuan, KUHP mengaturnya secara luas dan terperinci dalam Buku II Bab XXV dari Pasal 378 s/d Pasal 395 KUHP. Namun ketentuan mengenai delik genus penipuan (tindak pidana pokoknya) terdapat dalam Pasal 378 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling larna 4 (empat) tahun”.
Berdasar bunyi Pasal 378 KUHP diatas, maka secara yuridis delik penipuan harus memenuhi unsur-unsur pokok berupa :
1. Unsur Subyektif Delik berupa kesengajaan pelaku untuk menipu orang lain yang dirumuskan dalam pasal undang-undang dengan kata-kata : “dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum”; dan
2. Unsur Oyektif Delik yang terdiri atas : (a) Unsur barang siapa; (b) Unsur menggerakkan orang lain agar orang lain tersebut menyerahkan suatu benda / memberi hutang / menghapuskan piutang; dan (c) Unsur cara menggerakkan orang lain yakni dengan memakai nama palsu / martabat atau sifat palsu / tipu muslihat / rangkaian kebohongan.
Dengan demikian untuk dapat menyatakan seseorang sebagai pelaku kejahatan penipuan, Majelis Hakim Pengadilan harus melakukan pemeriksaan dan membuktikan secara sah dan meyakinkan apakah benar pada diri dan perbuatan orang tersebut telah terbukti unsur-unsur tindak pidana penipuan, baik unsur subyektif maupun unsur obyektifnya. Hal ini berarti, dalam konteks pembuktian unsur subyektif misalnya, karena pengertian kesengajaan pelaku penipuan (opzet) secara teori adalah mencakup makna willen en witens (menghendaki dan atau mengetahui), maka harus dapat dibuktikan bahwa terdakwa memang benar telah :
a. bermaksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum
b. “menghendaki” atau setidaknya “’mengetahui / menyadari” bahwa perbuatannya sejak semula memang ditujukan untuk menggerakkan orang lain agar orang lain tersebut menyerahkan suatu benda / memberi hutang / menghapuskan piutang kepadanya (pelaku delik).
c. “mengetahui / menyadari” bahwa yang ia pergunakan untuk menggerakkan orang lain, sehingga menyerahkan suatu benda / memberi hutang / menghapuskan piutang kepadanya itu adalah dengan memakai nama palsu, martabat palsu atau sifat palsu, tipu muslihat atau rangkaian kebohongan.
Unsur delik subyektif di atas, dalam praktek peradilan sesungguhnya tidak mudah untuk ditemukan fakta hukumnya. Terlebih lagi jika antara “pelaku” dengan “korban”penipuan semula memang meletakkan dasar tindakan hukumnya pada koridor suatu perjanjian murni. Oleh karena itu, tidak bisa secara sederhana dinyatakan bahwa seseorang telah memenuhi unsur subyektif delik penipuan ini hanya karena ia telah menyampaikan informasi bisnis prospektif kepada seseorang kemudian orang tersebut tergerak ingin menyertakan modal dalam usaha bisnis tersebut. Karena pengadilan tetap harus membuktikan bahwa ketika orang tersebut menyampaikan informasi bisnis prospektif kepada orang lain tadi, harus ditemukan fakta hukum pula bahwa ia sejak semula memang bermaksud agar orang yang diberi informasi tadi tergerak menyerahkan benda / hartanya dan seterusnya, informasi bisnis tersebut adalah palsu / bohong dan ia dengan semua itu memang bermaksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Di samping itu, karena sifat / kualifikasi tindak pidana penipuan adalah merupakan delik formil – materiel, maka secara yuridis teoritis juga diperlukan pembuktian bahwa korban penipuan dalam menyerahkan suatu benda dan seterusnya kepada pelaku tersebut, haruslah benar-benar kausaliteit (berhubungan dan disebabkan oleh cara-cara pelaku penipuan) sebagaimana ditentukan dalam pasal 378 KUHP. Dan hal demikian ini tentu tidak sederhana dalam praktek pembuktian di Pengadilan. Oleh karenanya pula realitas suatu kasus wan prestasi pun seharusnya tidak bisa secara simplifistik (sederhana) ditarik dan dikualifikasikan sebagai kejahatan penipuan.
Selanjutnya mengenai Tindak Pidana Penggelapan, KUHP telah mengaturnya dalam Buku II Bab XXIV yang secara keselurahan ada dalam 6 (enam) pasal yaitu dari Pasal 372 s/d Pasal 377 KUHP. Namun ketentuan mengenai delik genus dari penggelapan (tindak pidana pokoknya) terdapat pada Pasal 372 KUHP yang berbunyi sebagai berikut : “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukam memiliki suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp.900,-“
Berdasar bunyi Pasal 372 KUHP diatas, diketahui bahwa secara yuridis delik penggelapan harus memenuhi unsur-unsur pokok berupa :
Berupa kesengajaan petaku untuk menggelapkan barang milik orang lain yang dirumuskan dalam pasal undang-undang melalui kata : “dengan sengaja”; dan
2. Unsur Oyektif Delik yang terdiri atas :
(a) Unsur barang siapa;
(b) Unsur menguasai secara melawan hukum;
(c) Unsur suatu benda;
(d) Unsur sebagian atau seluruhnya milik orang lain; dan
(e) Unsur benda tersebut ada padanya bukan karena kejahatan. SUMBER
TM14
Komentar