Jutaan jiwa di Bumi Sumatera, Kalimantan, Singapura, dan Malaysia menderita luar biasa, bernafas di tengah udara beracun akibat asap dari kebakaran hutan dan lahan.
Korban jiwa pun berjatuhan, mulai dari balita, manula bahkan petugas pemadam, mereka meregang nyawa akibat menghirup asap beracun itu.
Tak hanya manusia yang menderita. Sebuah video viral di Twitter, setelah memperlihatkan banyak burung berjatuhan dari langit karena kabut asap.
Akibat kebakaran hutan dan lahan, kehidupan normal dan masyarakat menjadi terganggu. Puluhan penerbangan dihentikan, sekolah-sekolah diliburkan, bahkan beraktivitas di dalam rumahpun terganggu.
Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di pulau Sumatera dan Kalimantan sejak bulan Juli lalu hingga kini belum berhasil dipadamkan. Akibatnya kabut asap pekat yang mengandung racun sangat berbahaya menyelimuti pulau-pulau tersebut. Bahkan sampai ke negara tetangga yaitu Malaysia dan Singapura.
Di Sumatera Selatan, provinsi berkawasan hutan sekitar 3,5 juta hektare, titik api terdeteksi terbanyak di lokasi konsesi, yakni mencapai 160 titik, dan masuk dalam Kawasan Hidrologi Gambut (KHG) Sumsel dengan luas 269.969,12 hektare. Bahkan, dari total 10.842.974,90 ha IUPHHK-HT (HTI) di Indonesia sekitar 2,5 juta ha di antaranya berada di ekosistem gambut dan lebih dari satu juta hektare berada di gambut fungsi lindung. (www.antaranews.com).
Berdasarkan data yang diolah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel, dari citra satelit terdapat peningkatan hotspot (titik panas) signifikan dalam wilayah izin konsesi korporasi dari bulan Juli 2019. Pada Juli tercatat 42 hotspot, kemudian Agustus naik dengan cepat menjadi 203 hotspot, lebih parahnya lagi pada pekan pertama September 2019 mencapai angka yang begitu besar yakni 117 hotspot. (www.republika.co.id).
Sementara itu, diakui ahli dan pengamat lingkungan, pemberian hak konsesi menjadi penyebab kerusakan gambut yang semakin parah. Kepala Departemen Advokasi Walhi, Zenzi Suhadi menyatakan, ekosistem gambut di Riau dan Kalimantan Tengah, rusak sejak pemerintah memberikan konsesi lahan kepada para pengusaha. Sebab, para pengusaha kerap mengeringkan kanal di lahan gambut.
Kanal yang berisi air tersebut sedianya dibutuhkan untuk menjaga lahan gambut tetap basah agar tak mudah terbakar. Karena sekarang sebagian besar kanal mengering, maka karhutla mudah terjadi dan terus meluas. (nasional.kompas.com)
Berdasar fakta di atas hak konsesi yang diberikan oleh negara terhadap perusahaan memiliki andil besar bagi terjadinya kebakaran hutan.
Berdasarkan hasil penelitian World Agroforestry Center Sumatera Utara, lahan gambut mempunyai daya menahan air yang tinggi sehingga berfungsi sebagai penyangga hidrologi areal sekelilingnya, mencegah terjadinya banjir dan kekeringan.
Tidak hanya itu lahan gambut menyimpan karbon (C) dalam jumlah besar. Lahan gambut berfungsi sebagai penambat (sequeater), menyerap dan menyimpan karbon sehingga berkontribusi dalam perubahan iklim.
Sayangnya lahan gambut yang memiliki banyak fungsi penting tersebut telah rusak ditangan pemilik hak konsesi.
Dengan konsesi, pemilik hak konsesi diberi kewenangan begitu luas. Tidak saja menghalangi individu lain memanfaatkan lahan dan hutan yang berada dalam kawasan konsesi, namun juga negara tidak dibenarkan melakukan intervensi apapun.
Inilah akar persoalan kebakaran hutan dan lahan. Kewenangan yang begitu luas yang diberikan kepada pemilik hak konsesi membuat mereka memanfaatkan lahan demi keuntungan sendiri tanpa memperhatikan kelestarian eko sistem yang ada. Dengan memanfaatkan lahan semaunya, baik untuk perkebunan sawit atau lainnya mereka merusak hutan dan lahan gambut.
Ini adalah buah pahit dari penerapan sistem demokrasi sekuler dan sistem ekonomi kapitalis yang mengakui adanya hak konsesi.
Karenanya dibutuhkan solusi sistemik yang berkarakter menjaga kelestarian alam. Sistem yang jika diterapkan akan membawa rahmat bagi alam semesta, menjaga kelestarian hutan dan mengembalikan fungsi hutan dan lahan gambut sebagaimana mestinya. Sistem tersebut adalah sistem Islam.
Allah SWT. Menciptakan sesuatu dengan kadar dan karakter alamiah pada makhluk CiptaanNya. Termasuk hutan dan lahan gambut. Dalam Qur’an surat al A’la ayat 3 Allah berfirman yang artinya
“Dan yang menentukan kadar (masing-masing ciptaan-Nya). Allah juga melarang manusia merusak nya. “….agar kamu jangan merusak keseimbangan itu” (TQS ar-Rahman ayat 8).
Dalam sistem Islam pada hutan dan lahan gambut melekat karakter harta milik umum. Rasul bersabda yang artinya “Kaum Muslimin berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput/hutan, air dan api”. (HR.Abu Dawud).
Negara bertanggungjawab penuh untuk menjaga kelestarian fungsi hutan dan lahan gambut yang merupakan harta milik umum tersebut dengan menyediakan anggaran mutlak.
Negara bertanggungjawab mengelola langsung dalam pemanfaatan hutan dan lahan gambut. Termasuk pemulihan lahan yang sudah rusak dengan menyiapkan sarana prasarana yang memadahi.
Negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan hutan dan lahan gambut kepada pihak lain semisal swasta apalagi asing. Islam tidak mengenal hak konsesi. Pemanfaatan hak istimewa (hak pemanfaatan khusus) hanyalah pada negara dengan tujuan untuk kemaslahatan manusia.
Demikianlah Islam mengatur tentang pengelolaan hutan. Ketika manusia melanggar aturan tersebut maka bencanalah yang terjadi sebagaimana yang terjadi saat ini.
Lalu …masihkah kita pertahankan sistem yang rusak dan merusak ini ? atau beralih pada sistem yang berasal dari wahyu Illahi? Wallahu a’lam bi showab.
IRIANTI AMINATUN